tirto.id - Peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Marsha Maharani memaparkan data penelitian IJRS yang didapatkan dari analisis 735 putusan kasus kekerasan seksual sepanjang 2021. Salah satu hasil penelitian IJRS menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual masih minim ajukan restitusi.
"Hanya ada 0,1 persen korban kekerasan seksual yang mengajukan restitusi. Hal ini mengindikasikan minimnya pengetahuan akan hak atas pemulihan korban kekerasan seksual," kata Marsha dalam Talkshow bertajuk "Esa Hilang Dua Terbilang: Menguji Kolaborasi Payung Hukum Penanganan Kekerasan Seksual di Indonesia" yang disiarkan melalui IJRS TV, Jumat, (27/5/2022).
Dalam penelitian yang sama, IJRS menemukan bahwa 99,6 persen korban kekerasan seksual dalam putusan pengadilan adalah perempuan.
Mayoritas korban atau sebanyak 76,9 persen mengalami kekerasan seksual berulang kali oleh pelaku sebelum akhirnya melaporkan kekerasan seksual yang mereka alami.
Marsha mengatakan, ada beberapa sebab korban enggan untuk segera melapor mulai dari rasa takut terhadap aparat penegak hukum, rasa tidak percaya, hingga memendam rasa malu atas kekerasan seksual yang menimpanya.
Untuk meminimalisir hal tersebut, Marsha menyebut bahwa pasal 42 UU TPKS (Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) yang mengatur tentang perlindungan sementara, dapat dioptimalkan.
"Kepolisian itu berwenang ya membatasi gerak pelaku dengan tujuan agar tidak terulangnya kekerasan atau intimidasi dilakukan kepada korban," jelas Marsha.
Namun demikian, Marsha menuturkan bahwa hingga saat ini belum ada aturan dari kepolisian yang mengatur teknis perlindungan sementara tersebut. "Padahal ini sangat penting karena tidak sedikit korban yang mencabut laporannya karena mengalami intimidasi dari pelaku," imbuhnya.
Terkait hak restitusi korban, UU TPKS dengan tegas mengatur bahwa korban berhak atas restitusi melalui Pasal 30. Menurut Marsha, hal tersebut mengafirmasi kebutuhan korban akan penanggulangan dampak dari kekerasan seksual yang menimpa mereka.
Ia menjelaskan bahwa restitusi dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti penggantian perawatan medis atau psikologis dan penggantian atas kerugian lain yang diderita korban akibat kekerasan seksual.
Dalam praktiknya, pemenuhan hak restitusi kerap bermasalah. Mulai dari aparat penegak hukum yang kurang kooperatif menginformasikan hak atas pemulihan korban, serta adanya anggapan bahwa restitusi adalah upaya korban untuk memeras pelaku.
"Nah, dengan diatur dalam UU TPKS secara komprehensif diharapkan masyarakat mengetahui hak atas restitusi sebagai pemulihan jika seseorang mengalami tindak pidana kekerasan seksual," pungkas Marsha.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Fahreza Rizky