Menuju konten utama

ICRJ: UU Terorisme Berpotensi Legalkan Penyiksaan

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengritik keras UU Terorisme terkait adanya praktik penahanan incommunicado

ICRJ: UU Terorisme Berpotensi Legalkan Penyiksaan
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyimak pembacaan pandangan fraksi dalam rapat kerja dengan Pansus RUU perubahan pemberantasan tindak pidana terorisme di komplek parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (27/4). Rapat tersebut di antaranya membahas pandangan fraksi-fraksi dan pengesahan mekanisme perubahan RUU tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Antara foto/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik keras RUU Revisi UU Terorisme terkait adanya praktik penahanan incommunicado [kondisi tanpa komunikasi dengan pihak manapun]. ICRJ juga berpendapat rentang waktu penangkapan selama 7 x 24 jam yang termaktub dalam revisi UU tersebut berpotensi menimbulkan praktik penyiksaan.

Direktur Eksekutif ICRJ Supriyadi W. Eddyono dalam keterangan pers yang diterima Tirto.id di Jakarta, Senin (2/5/2016) mengatakan bahwa dalam RUU Revisi UU Terorisme (RUU Terorisme) yang saat ini sedang dibahas di DPR secara terang-terangan memberikan kewenangan bagi penyidik dan aparat penegak hukum untuk menempatkan seseorang tanpa status jelas pada suatu tempat yang juga tidak diketahui.

Secara eksplisit, ini merupakan praktik legal dari penahanan incommunicado di Indonesia,” jelas Supriyadi.

Terkait penangkapan dalam Pasal 28 RUU Terorisme Supriyadi menjelaskan dengan pasal ini, maka rentang waktu penangkapan akan bertambah 23 hari dari ketentuan sebelumnya sebanyak 7 hari.

Supriyadi menilai penangkapan dalam jangka waktu 30 hari selain tidak wajar juga berpotensi terjadinya unfair trial yang berujung pada penyiksaan atau perbuatan lain. Hal itu juga berpotensi pelanggaran hak asasi manusia dari tersangka.

Menurut ICJR, penangkapan hanya boleh berdasarkan syarat khusus di KUHAP karena itu penangkapan selama 30 hari jadi tidak berdasar karena syarat-syarat pra penangkapan berarti tidak terpenuhi.

Selain itu, ICRJ menjelaskan ada pasal berbahaya lain dalam ketentuan perubahan Pasal 43 UU Terorisme huruf A, yang berbunyi ‘’Dalam rangka penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, penyidik atau penuntut umum dapat melakukan pencegahan terhadap Setiap orang tertentu yang diduga akan melakukan Tindak Pidana Terorisme untuk dibawa atau ditempatkan pada tempat tertentu yang menjadi wilayah hukum penyidik atau penuntut umum dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan’’.

“Ini adalah pasal yang dapat membawa praktik penjara Guantanamo ke Indonesia, karena pasal ini sama sekali tidak merujuk pada ketentuan hukum acara pidana yang ada di Indonesia, baik peristilahan ataupun prinsip pengaturannya,” tegas Supriyadi.

ICJR memprediksi bahwa pasal ini akan membuka ruang masalah baru dalam penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia, selain secara nyata bertentangan dengan prinsip dasar hak asasi manusia, pengaturan ini juga jelas tidak memenuhi pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

ICJR merekomendasikan agar dua pasal yang berhubungan erat dengan penyiksaan dan penahanan sewenang-wenang ini dihapuskan.

Baca juga artikel terkait REVISI UU TERORISME atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Hukum
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH