Menuju konten utama

Hyukoh Hingga 3rd Line Butterfly: Mengenal Musik Independen Korea

Ada banyak band Korea Selatan dengan musik memikat.

Hyukoh Hingga 3rd Line Butterfly: Mengenal Musik Independen Korea
Ilustrasi Indie Korea Selatan. tirto.id/fiz

tirto.id - Ada yang menarik dari daftar musisi Korea Selatan yang akan tampil pada festival musik Coachella 2019. Ini bukan tentang girlband Blackpink, melainkan Hyukoh.

Blackpink memang sudah mencetak sejarah sebagai girlband Korea pertama yang tampil di festival musik bergengsi di Amerika Serikat itu. Namun, dengan kepopulerannya di seantero dunia, rasanya memang tinggal menunggu waktu saja hingga mereka memulai debutnya di festival-festival musik ternama di Amerika Serikat.

Sebaliknya, Hyukoh bisa dibilang adalah band baru, pun berangkat dari label musik independen. Maka kehadiran mereka di Coachella bisa dibilang lebih mengejutkan, pun lebih menarik untuk dibicarakan. Penampilan mereka menandakan bahwa semesta musik di Korea Selatan lebih luas dan kaya dibandingkan yang selama ini dibicarakan.

Fenomena Bernama Hyukoh

Terbentuk pada 2014, Hyukoh didirikan oleh Oh Hyuk. Dan ya, nama Hyukoh diambil dari penggalan nama Oh Hyuk yang dibalik. Hyuk, yang dijuluki baldy karena kepalanya yang gundul, tinggal di Cina sejak usia 5 bulan karena orang tuanya yang berprofesi sebagai dosen mengajar di beberapa kota, termasuk Beijing.

Pada 2012, Hyuk yang berusia 18 tahun dan baru lulus SMA, memutuskan pergi ke Seoul untuk mengejar karier di bidang musik. Di tengah perjuangannya, Hyuk menolak tawaran dari tiga label musik utama Korea: YG, SM, dan JYP Entertainment. Setelah membentuk Hyukoh sebagai band dengan satu orang personel, band ini akhirnya menjadi kuartet.

Dilansir South Cina Morning Post (SCMP), musik-musik Hyukoh kerap menabrak norma-norma sosial di masyarakat. Video musik dari single mereka yang berjudul "Love Ya", misalnya, menunjukkan manusia dengan beragam etnis dan orientasi seksual menyambut kegembiraan cinta, sebuah anomali di tengah masyarakat Korea Selatan yang cenderung konservatif.

“Saya pernah mencoba untuk menulis sesuatu yang dapat memuaskan pendengar, tapi kupikir hal itu tidak ada gunanya, jadi saya berhenti melakukannya. Sekarang saya hanya akan menulis hal yang saya sukai,” tutur Hyuk dalam wawancara bersama Dazed.

Kepopuleran Hyukoh tidak datang dari ruang hampa. Sebelum namanya meroket, mereka mengawali segalanya dari sebuah distrik kecil di Seoul bernama Hongdae.

Bukan kebetulan Hyukoh besar dari Hongdae. Distrik tersebut memang telah lama dikenal sebagai muara dari skena indie di Korea Selatan. Crystal Tai dari SCMP menuliskan bahwa Hongdae memang merupakan Mekkah bagi musisi-musisi indie Korsel. Hampir setiap malam, tulis Crystal, puluhan band-band kecil yang belum memiliki nama tampil di sejumlah panggung kecil yang tersebar di daerah tersebut.

Dalam setidaknya tiga dekade terakhir, Hongdae berubah dari distrik sunyi menjadi kawasan yang riuh oleh geliat seni dan hiburan. Mark Russell, penulis buku K-Pop Now! The Korean Music Revolution, menyebut distrik Hongdae ini lahir karena represi yang dilakukan oleh Presiden Chun Doo-hwan yang memerintah dari 1980 hingga 1988.

"Di bawah pemerintahan militer, penerbit-penerbit kiri di Chungmoro (distrik yang dihuni banyak intelektual dan aktivis kebudayaan) dibredel, dan banyak dari mereka pindah ke area Hongdae. Di sana, mereka membuat pondasi kuat bagi gerakan budaya tandingan," ujar Russell pada SCMP.

Hyunjoon Shin dalam studinya yang berjudul “The Success of Hopelessness: The Evolution of Korean Music” menulis: pada pertengahan 1990-an, skena musik di Hongdae mulai tumbuh. Masa itu bertepatan pula dengan mulai bangkitnya musik K-Pop yang diawali oleh ledakan popularitas Seo Taiji and Boys pada 1992.

Layaknya punk rock yang menjalar di Manhattan era 1970, punk rock mulai merambat di Hongdae di awal 1990-an. Selain itu, ada pula band-band ska seperti Crying Nuts dan No Brain. Mereka pula yang dianggap menjadi pelopor kancah musik Hongdae yang penuh gairah di era 1995.

Band-band ini bermain di banyak tempat yang tersebar di Hongdae. Dulu ada Drug dan Blue Devil. Dua klub itu lantas merger dan menjadi DGBD --selain singkatan inisial, ini tentu plesetan dari CBGB di New York yang menjadi rumah bagi banyak band punk di era keemasan punk rock era 70. Tempat lain adalah Club FF yang mulai dibuka pada 2003.

Hubungan Dinamis dengan K-Pop

Kendati musik rock bawah tanah dan K-Pop kerap dianggap bagai minyak dan air, banyak musisi Korea melihat bahwa kepopuleran K-Pop di penjuru dunia amatlah membantu kancah musik independen dalam negeri.

"Terima kasih, K-Pop. Karena kepopuleran mereka, kini orang lebih tertarik pada musik Korea. Jadi sekarang kami punya lebih banyak penggemar internasional," ujar bassist 3rd Line Butterfly, Kim Nam Yoon.

3rd Line Butterfly termasuk band Korea yang sedang naik daun. Bersama dua band Korea lain, Gonne Choi dan Billy Carter, mereka sempat tampil dalam acara K-Music Showcase 2018 yang dihelat di London, Inggris. Ketiga band ini punya gagrak berbeda. Gonne Choi terpengaruh musik tradisional Korea, 3rd Line Butterfly memainkan musik lo-fi, sedangkan Billy Carter memainkan musik rock yang dipengaruhi sedikit blues--lengkap dengan slide dan liukan harmonika yang lincah di sana-sini.

Infografik Tongkrongan Anak Indie

Infografik Tongkrongan Anak Indie (Korea) Selatan

Di sisi lain, Oh Hyuk menggambarkan hubungan K-Pop dan bandnya sebagai hal yang dinamis. Kadang K-Pop bisa membantu ataupun memberi inspirasi, kadang juga tidak. Satu yang diinginkan Hyuk adalah Hyukoh tetap eksis andaipun gelombang K-Pop kelak surut.

“Saya pikir K-Pop sangat menarik dan menyenangkan untuk ditonton. Karena itu, saya pikir dalam beberapa aspek kami mendapat manfaat dari K-Pop. Tapi tidak ada yang abadi. Akan ada titik K-pop tidak akan sepopuler seperti sekarang. Tetapi karena kami bukan K-Pop, saya harap kami tetap populer jika kelak K-pop tidak lagi populer,” kata Hyuk.

Baca juga artikel terkait MUSIK INDIE atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Musik
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nuran Wibisono