tirto.id - Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani Rotinsulu menilai, sejauh ini aparat hukum di Indonesia belum proaktif dalam memberikan akses dari segi fasilitas maupun informasi bagi penyandang disabilitas terutama saat pendampingan dan bantuan hukum.
Bahkan, menurut dia, belum ada pergerakan yang signifikan dari aparat penegak hukum sejak adanya Undang-undang No 8 tahun 2016 mengenai penyandang disabilitas.
Sepanjang 2017, melalui penelitian yang dilakukan oleh HWDI, Lembaga Bantuan Hukum Apik (LBH Apik) pusat, dan pusat studi hukun dan kebijakan indonesia (PSHK), mencatat bahwa kasus kekerasan pelecehan seksual yang menimpa perempuan, dan anak perempuan disabilitas adalah kasus yang paling banyak belum terselesaikan.
"Itu ada di 4 daerah, DKI Jakarta, Riau, Makassar, dan salah satu di kabupaten Sulawesi Selatan" kata Maulani saat menghadiri Semiloka di Hotel Aryaduta, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (24/9).
Terlebih menurut Maulani, percepatan proses hukum yang sering kali berjalan memakan waktu cukup lama, bahkan kebanyakan diarahkan dengan mediasi.
Ia berharap ke depannya ada peraturan di kepolisian terkait dengan aksesibilitas atau penyediaan akomodasi yang harus disiapkan oleh Polri agar penyandang disabilitas bisa berproses hukum dengan adil.
"Harus ada layanan pendukung agar penyandang disabilitas ini dapat menyampaikan apa yang ingin disampaikannya (saat proses hukum)," kata Maulani.
Penulis: Atik Soraya
Editor: Alexander Haryanto