tirto.id - Hukuman penjara bagi narapidana bukan solusi terbaik untuk mengikis maraknya angka kejahatan di Jakarta, karena mayoritas tindak kejahatan di Jakarta merupakan tindak pidana ringan.
Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FH UI Dio Ashar Wicaksana mengatakan hukuman penjara tidak memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana ringan. Dio mencontohkan, data dari putusan MA, ada 45,5 persen kasus tindak pidana pencurian di Jakarta.
“Artinya ini tindak pidana ringan. Sedangkan, menurut penelitian kami pemenjaraan tidak menunjukkan efek jera," kata Dio dalam diskusi yang diselenggarakan MaPPI FH UI di Jakarta Pusat, Rabu (21/6/2017).
Menurut dia, tidak adanya efek jera itu terjadi karena nilai pidana tidak sebanding dengan barang yang dicuri, karena dalam tindak pidana ringan hanya dikenakan pidana denda maksimal hanya Rp75 ribu.
"Sekarang uang segitu tidak ada nilainya dibandingkan benda yang dicuri. Dari penelitian kami, alat elektronik seperti HP dan laptop paling banyak dicuri, sampai 34,7% angkanya," katanya.
Selain itu, menurut Dio, tidak efektifnya pemenjaraan juga terlihat dari sumber pelaku kejahatan itu sendiri. Menurut data mereka, 90,8 persen pelaku kejahatan di Jakarta adalah pelaku baru.
"Ini artinya ada sumber lain bagi munculnya tidak kejahatan," katanya.
Dari 90,8 persen pelaku kejahatan tersebut, kata dia, mayoritas adalah berpendidikan rendah dan mempunyai tingkat perekonomian yang rendah.
"Pendidikan tingkat SD sampai SMA sebanyak 51,7 persen. Pelaku pencurian 36,7 persen tidak punya pekerjaan," katanya.
Cegah Kejahatan Dengan Pembinaan
Menurut Dio yang mesti dilakukan untuk mengurangi kejahatan di DKI Jakarta adalah dengan melakukan pembinaan kepada masyarakat.
"Penegak hukum kan juga punya fungsi untuk mengayomi. Bukan hanya menghukum. Ini yang menurut saya belum dilakukan secara maksimal," katanya.
Sementara itu, Bestha Inastan yang juga merupakan peneliti MaPPI FH UI, dalam kesempatan yang sama menyampaikan yang diperlukan penegak hukum dalam meminimalisasi kejahatan adalah dengan merapikan data tindak kejahatan di Jakarta.
"Sekarang ini penegak hukum tidak punya data yang valid atas tindak kejahatan. Misalnya soal latar belakang pelaku," katanya.
Pernyataan tersebut juga dibenarkan oleh Evandri. Menurut penelitian MaPPI yang disampaikannya, banyak pencatatan tindak pidana yang tidak sinkron di Jakarta.
"Ada sampai 60 persen. Ada di Panitera banyak pengadilan yang tidak mencatat jenis dakwaannya. Langsung berupa amarnya saja. Ini adalah sebuah evaluasi," katanya dalam kesempatan yang sama.
Sedangkan, menurutnya, dengan tidak lengkapnya data tersebut, maka akan menghambat proses penegakan hukum di Jakarta.
"Sekali lagi, tergantung dengan penegak hukumnya. Mau atau tidak merapikan datanya," kata Evandri.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Alexander Haryanto