tirto.id - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susan Yembise menegaskan pelaku kejahatan terhadap anak bisa dihukum mati atau penjara seumur hidup. Pernyataan yang sudah kesekian kalinya digaungkan Yohana itu diucapkan di Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (7/11).
"Pelaku kejahatan terhadap anak dan perempuan harus ditindak tegas untuk menekan angka kekerasan terhadap mereka. Kami terus berupaya melakukan berbagai cara untuk melindungi hingga memberdayakan korban," kata Yohana seperti diberitakan Antara.
Ultimatum Yohana sebenarnya bukan gertak sambal. Pasal 89 UU Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak mengatur pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. Yohana mendukung penuh penerapan UU ini karena dianggap bisa memberi efek jera.
Pemerintahan Joko Widodo memang sudah memberi ruang lebih luas untuk hukuman tersebut sejak 2016. Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Perlindungan Anak, pelaku pidana kekerasan mendapat pemberatan lebih.
Selain mendapat ancaman hukuman sepertiga lebih banyak dan ancaman pidana, pidana mati, dan seumur hidup, mereka akan mendapat hukuman penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun penjara.
"Perppu ini dimaksudkan untuk mengatasi kegentingan yang diakibatkan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak yang semakin meningkat secara signifikan," kata Jokowi di Istana Merdeka, Mei 2016.
Menurut Jokowi, masalah kejahatan pada anak sudah adalah kejahatan luar biasa. Oleh sebab itu, penanganan yang luar biasa dianggap wajar untuk masalah ini.
Mengurangi Bertambahnya Korban?
Tahun 2018, kejahatan pada anak belum juga berhenti. Beberapa kasus kekerasan seksual bahkan berujung pada pembunuhan. Apakah seruan Yohana soal hukuman mati bisa diterima, mengingat kerasnya resistensi dari pembela hak asasi manusia?
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Bidang Kesehatan dan NAPZA, Sitty Hikmawatty, mengatakan ia setuju dengan wacana hukuman mati, terutama untuk kasus kejahatan seksual yang terbilang sadistis. Akan tetapi, ia juga mereka sikap kontra yang patut dijadikan pertimbangan. Salah satunya adalah soal pelaku kejahatan yang juga anak-anak.
Sitty mencontohkan kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun di Bengkulu. Pelaku sebanyak 14 orang tersebut masih berumur di bawah 20 tahun. Hanya satu di antara mereka yang sudah menginjak umur 23.
“Jika pelaku kejahatan tersebut adalah anak, maka jika dilakukan hukuman mati tentu bertentangan dengan prinsip restorative justice,” ucapnya lagi.
Dilema terhadap kasus kekerasan pada anak juga kerap muncul apabila pelaku merupakan orangtua kandung atau saudara yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga korban.
Bila orangtua korban dipenjara seumur hidup atau dihukum mati, anak yang menjadi korban dan masih berada di bawah umur belum tentu mendapat penghidupan yang layak. Menurut Sitty, negara hingga saat ini belum sanggup merawat anak-anak yang kehilangan orangtua karena masalah pidana.
Sitty juga mencatat sampai sekarang belum ada hukuman mati kepada pelaku kejahatan terhadap anak selain kepada Baekuni, terpidana hukuman mati yang membunuh 14 anak laki-laki di bawah umur. Namun, sampai sekarang penerapan hukuman mati terhadap pria yang kerap disapa Babe itu belum terealisasi.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menolak penerapan hukuman mati. Dia menilai hukuman mati secara umum tidak menimbulkan efek jera.
Beka masih percaya pada sistem restorative justice terkait kemungkinan perbaikan kehidupan seseorang di masa mendatang. Baginya, hak hidup sangat penting karena tidak bisa diulang lagi.
"Tapi kalau ditanya hukuman selama ini terhadap pelaku kejahatan anak efektif atau tidak efektif, tentu tidak efektif," kata Beka kepada reporter Tirto, Kamis (8/11).
Menurut Beka, efektif atau tidaknya hukuman itu bergantung kepada masalah pendidikan dan penegak hukum melakukan pengawasan lebih ketat. Meskipun hukuman mati diterapkan, bila orang tidak sadar ihwal masalah pidana, tentu saja masalah akan kembali berulang.
Beka lebih setuju untuk menerapkan hukuman maksimal bagi para pelaku kejahatan ini. “Apa hukuman mati itu menghentikan kasus? Kan tidak juga,” tegasnya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Dieqy Hasbi Widhana & Maulida Sri Handayani