tirto.id - Berhubungan badan antara suami istri adalah kebutuhan biologis yang menjadi fitrah setiap manusia dan dapat menjadi amalan ibadah dalam Islam.
Meski dapat dilakukan sewaktu-waktu di luar masa haid istri, namun pelaksanaannya dibatasi ketika bulan Ramadhan tiba. Berjima' atau bersenggama suami-istri tidak diperbolehkan dilakukan pada siang hari ketika masa berpuasa masih berlangsung, sekali pun tidak mengeluarkan air mani.
Apabila melanggar aturan tersebut, maka pelakunya mendapatkan dosa dan wajib melakukan kafarat atau denda atas dosa yang telah dilakukannya itu. Selain itu, puasa pun akan menjadi batal di hari itu.
Ulama tafsir Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah, seperti dikutip dari Antara News, menyampaikan bahwa berjimak (bersenggama) saat sedang puasa Ramadan tidak dilakukan dalam kondisi jiwa yang tenang. Pasangan yang melakukannya justru bisa menerima dampak negatif.
Kapan Waktu yang Tepat Berjima' saat bulan Ramadhan?
Dalam kitab Mirah Al Mafatih Syarhu Misykah Al Mashabih Juz IV karya Abu Al Hasan Al Mubarakfuri, Ibnu Hajar mengatakan jika mengakhirkan hubungan badan sampai akhir malam itu lebih utama. Sementara itu, menurut ijma' para ulama, jika bersenggama dilakukan dengan kondisi pikiran tidak tenang dapat menimbulkan dampak negatif.
Dalam konteks bersenggama di bulan Ramadan menurut pendapat Ibnu Hajar tersebut, memberikan petunjuk bahwa jimak sebaiknya dilakukan menjelang sahur dan setelah istirahat tidur malam. Setelah itu dilanjutkan dengan mandi wajib, lalu bersantap sahur.
Kendati demikian selama Ramadhan, jimak dapat dilakukan semenjak dimulainya waktu berbuka sampai jelang waktu subuh yang menjadi tanda dimulai puasa sehari. Satu hal yang pasti, haram hukumnya untuk melakukan jimak ketika sedang berpuasa yang justru membuat puasa batal dan wajib membayar kafarat.
Kafarat berhubungan badan saat puasa Ramadan
Dilansir dari NU Online, orang yang melakukan hubungan badan saat puasa Ramadan termasuk menyengaja merusak ibadah puasanya. Dia wajib untuk menjalankan kafarat bear (kirah "udhma). Kafarat ini terdiri dari tiga jenis yang secara berurutan sebagai berikut:
1. Memerdekakan hamba sahaya perempuan yang beriman dan tidak boleh yang lain. Hamba saya tersebut juga mesti bebas dari kekurangan atau cacat yang dapat mengganggu pekerjaannya.
2. Apabila tidak mampu memerdekakan hamba saya perempuan, maka dapat menggantinya dengan berpuasa dua bulan secara berturut-turut. Puasa ini di luar puasa Ramadan.
3. Jika tidak mampu membebaskan hamba saya perempuan dan berpuasa dua bulan berturut-turut, maka dapat membayar kafarat dengan memberik makan 60 orang miskin dengan takaran satu mud.
Ketiga jenis kafarat tadi merujuk pada dalil hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wassalam berikut:
Abu Hurairah meriwayatkan, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam lantas berkata, “Celakalah aku! Aku mencampuri istriku (siang hari) di bulan Ramadhan. Beliau bersabda, “Merdekakanlah seorang hamba sahaya perempuan.”
Dijawab oleh laki-laki itu, “Aku tidak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berpuasalah selama dua bulan berturut-turut.” Dijawab lagi oleh laki-laki itu, “Aku tak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berikanlah makanan kepada enam puluh orang miskin.” (HR Bukhari).
Selain membayar kafarat, pelaku senggama saat puasa Ramadan juga wajib mengganti puasa yang dibatalkannya di hari lain. Kendati demikian, mengutip laman Al Manhaj, apabila pasangan yang bersenggama dalam keadaan lupa bahwa dirinya sedang berpuasa Ramadan atau lupa di hari Ramadan maka puasanya tidak batal dan tidak terkena kafarat.
Hal tersebut merujuk pada keumuman dalil dari firman Allah, “(Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah” (QS Al Baqarah: 286). Lalu , dalil diperkuat dengan hadits,“Sesungguhnya Allah mengampuni dari umatku, kesalahan, kelupaan dan keterpaksaan”. (HR Ibnu Majah).
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Yulaika Ramadhani