Menuju konten utama
Analisis

Hubungan Ruwet Jokowi, RRC, dan Peranakan Tionghoa

Jokowi adalah Presiden RI era Reformasi yang paling sering kena tuduhan rasis: pro-Cina sekaligus pro-cukong Tionghoa.

Hubungan Ruwet Jokowi, RRC, dan Peranakan Tionghoa
Presiden Joko Widodo menghadiri perayaan Imlek Nasional 2020 di ICE BSD City, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten (FOTO/HO Panitia Nasional Imlek)

tirto.id - Soeharto melarang perayaan tahun baru Imlek dengan dalih asimilasi keturunan Tionghoa Indonesia. Habibie menghentikan penggunaan kata pribumi dan nonpribumi dalam pemerintahan. Gus Dur memperbolehkan orang Tionghoa melestarikan kebudayaan dengan merayakan tahun baru Imlek. Jokowi, sementara itu, diserang isu rasial di masa kampanye pilpres.

Bahkan sejak Pilkada DKI 2012 Jokowi sebenarnya sudah rentan diserang dengan isu SARA. Ketika itu Jokowi yang berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (BTP, saat masih dipanggil Ahok) melawan pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli (Nara).

Di masa kampanye, banyak orang mendapat pesan berantai yang isinya memojokkan Ahok karena etnisnya dan menuduh Jokowi beragama Kristen. Sentimen seperti ini dimainkan setelah Pilkada Jakarta 2012 putaran pertama ketika hasil penghitungan menunjukkan Jokowi-BTP unggul. Namun "kampanye hitam" ini tidak berhasil secara elektoral.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) bersama Tempo melakukan jajak pendapat pada 2-7 September 2012 berjudul Pilkada DKI Jakarta, Protes Kelas Menengah. Di dalamnya, LSI menemukan populasi DKI Jakarta 85% memang beragama Islam, hanya saja, itu tidak mampu membuat Foke-Nara bisa mengkapitalisasi isu SARA melawan Jokowi-BTP.

Sebabnya, penduduk DKI Jakarta termasuk kaum sekuler dalam politik. Hidayat Nur Wahid yang merupakan tokoh partai Islam, PKS, justru kalah dalam putaran pertama. Pada Pilkada 2007, PKS juga tidak bisa memenangkan Pilkada DKI Jakarta.

"Mereka [penduduk Jakarta] membedakan antara perilaku personal (misalnya shalat dan puasa) dan sosial-keagamaan (pengajian misalnya) dengan kehidupan politik," catat LSI.

Isu SARA dianggap baru berhasil di Jakarta saat Pilkada 2017. Ketika itu Anies Baswedan-Sandiaga Uno menang melawan BTP-Djarot Saiful Hidayat.

Tapi isu SARA tidak berhenti sampai Pilkada Jakarta bagi Jokowi. Ketika maju sebagai presiden di Pilpres 2014, Jokowi kembali didera isu serupa.

Tionghoa Tak Sama dengan RRC

Jokowi punya beragam tudingan waktu Pilpres 2014. Tudingan yang paling lumrah, ayah dan ibu Jokowi adalah keturunan Tionghoa. Isu ini diangkat oleh Obor Rakyat dalam beberapa terbitannya. Beberapa di antaranya: "Jokowi Anak Tionghoa", "Putra Cina asal Solo", "Ayah Jokowi adalah Oey Hong Liong", "Status Perkawinan ibunda Jokowi dengan Pey Hong Liong?"

Jokowi tidak terima dan melaporkan Obor Rakyat. Kendati Obor Rakyat mengaku sebagai media massa, proses hukumnya tetap melalui pengadilan pidana. Pemimpin Redaksi Obor Rakyat Setiyardi Budiono akhirnya disidang dan mendekam di penjara.

Adam Tyson dan Budi Purnomo dalam artikel "President Jokowi and The 2014 Obor Rakyat Controversy in Indonesia" (2016) juga mencatat Jokowi dikaitkan dengan cukong (pengusaha Tionghoa) dan agama Nasrani. Jokowi dianggap tersandera oleh dua golongan tersebut. Padahal, menurut Tyson dan Purnomo, tudingan ini lebih tepat mengarah kepada lawannya, Prabowo Subianto.

“Ini adalah satu yang tidak biasa dan aspek ironis dari kampanye hitam pada 2014 bahwa Jokowi digambarkan lebih bersalah dan secara politis dikompromikan oleh asosiasinya dengan cukong daripada Prabowo, terlepas dari fakta bahwa Prabowo memiliki hubungan bisnis yang lebih dalam dengan cukong dan militer dan dia berasal dari keluarga multiagama,” catat Tyson dan Purnomo.

Pada Pilpres 2019, Jokowi juga diterpa isu serupa. Kali ini cakupannya lebih luas. Dalam salah satu berita, Jokowi dituding menginginkan warga Republik Rakyat Cina datang ke Indonesia. Salah satu berita yang sudah dimanipulasi menyebut “Atas Keinginan Jokowi, China Segera Kirim 3 Juta Warganya ke Indonesia.”

Ada pula tudingan 10 juta TKA masuk ke Indonesia dan dibiarkan oleh Jokowi. Dalam keterangannya, Jokowi menyebut hanya 23 ribu TKA dari RRC yang masuk. Mereka merupakan tenaga kerja yang memang tidak tergantikan karena buruh Indonesia belum bisa memenuhi bidang pekerjaan mereka. Misalnya memasang turbin di tempat yang sulit.

Jeffrey Hutton, wartawan SCMP, menuliskan dengan baik bagaimana dilema Jokowi dalam pembangunan dan pemilu. "Untuk memenangkan suara, pemimpin Indonesia membutuhkan uang [Republik Rakyat] Cina guna membangun kereta api dan pelabuhan. Untuk membangun kereta api dan pelabuhan itu, dia perlu menerima pekerja Cina yang bisa bikin dia kehilangan suara."

Setelah pilpres selesai, tudingan Jokowi menguntungkan RRC masih berlanjut, misalnya soal UU Cipta Kerja. Ada yang menganggap bahwa aturan ini memang ditujukan agar RRC mudah menaruh investasi di Indonesia. Pemerintah kemudian berdalih bahwa bukan hanya investor RRC yang akan ditarik, tapi juga investor dari negara lain.

Ahli etnologi dari University of California, Ling-chi Wang, seperti dikutip Thung Ju Lan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam penelitian berjudul "Orang Indonesia Keturunan Tionghoa dan Hubungan Indonesia-Tiongkok: Penjajaran Antara Identitas dan Politik" (2016), menyatakan persepsi yang menganggap semua orang Tiongkok di manapun mereka berada adalah satu komunitas agak bermasalah. Perspektif semacam itu mengabaikan “keunikan, perbedaan, kepentingan dan kesejahteraan dari pengalaman orang China [di luar RRC] di setiap negara dan beragam peran yang mereka lakoni.”

Ini pula yang terjadi di Indonesia. Diplomasi yang dilakukan antara Indonesia dengan RRC selalu disangkutpautkan dengan etnis Tionghoa di Indonesia. Lan mencatat orang-orang Tiongkok di luar negeri akan selalu berada dalam posisi genting di antara “China” dan “negara tempat dia tinggal” dan mengindikasikan bagaimana kesulitan orang keturunan Tionghoa “me(re)konstruksi identitas diaspora mereka.”

Pada peristiwa kerusuhan 1998, misalnya, etnis Tionghoa Indonesia kena getahnya. Mereka dianggap sebagai biang kerok atas krisis ekonomi terburuk yang melanda Indonesia. Yang masih lebih beruntung mendapati toko atau rumah mereka dijarah. Yang lebih parah harus menanggung penderitaan diperkosa oleh orang tak dikenal. Sebagian ada yang diberi pisau oleh keluarganya untuk bunuh diri.

Cina, sebagai negara, lepas tangan sama sekali dengan situasi ini. Indonesia dan RRC masih menjalin hubungan baik secara bilateral. RRC berulang kali memberikan sinyal bahwa kerusuhan 1998, yang juga membuat keturunan Tionghoa sebagai korban, adalah urusan internal Indonesia.

"Bagaimanapun, tidak diketahui dengan pasti betapa perubahan kebijakan Indonesia terhadap China mempengaruhi posisi keturunan Tionghoa, karena di dunia, dan juga di Indonesia, isu Sinofobia atau anti-Cina tetap jadi masalah," catat Lan lagi.

Jika merujuk kepada orang-orang Tionghoa di Indonesia, beberapa dari mereka, utamanya pebisnis, justru tidak menyukai Jokowi. Leo Suryadinata dalam tulisannya berjudul Which Presidential Candidate will Chinese Indonesians Vote for in 2019? (2019, PDF) mencatat tindakan Jokowi dalam memberantas korupsi tidak kondusif untuk berbisnis karena tanpa adanya gratifikasi atau semacamnya, izin usaha cenderung sulit dikeluarkan.

Namun orang-orang yang gemar menebar hoaks dan mengolah rasisme dalam politik sering mencampuradukkan hal ini. Kebencian terhadap RRC juga diarahkan kepada etnis Tionghoa yang sudah ratusan tahun tinggal di Indonesia dan merupakan warga negara Indonesia. Beberapa kalangan menggunakan istilah rasialis 'aseng' untuk dua entitas sekaligus: RRC dan peranakan Tionghoa.

Kebencian terhadap orang Tionghoa ini memang bukan hal yang baru. Sejak ratusan tahun lalu, sejarah kita mencatat berbagai peristiwa yang menunjukkan bahwa ketegangan rasial mudah terjadi di Indonesia, terutama di Jawa. Orang Jawa mempunyai stereotip tersendiri bahwa orang Tionghoa mata duitan dan pemeras karena profesi mereka sebagai pedagang atau pemungut pajak di masa kolonial. Kolonialisme yang menyebabkannya muncul memang sudah binasa, tapi stereotip itu tetap bertahan hingga hari ini.

Ketika saya masih mahasiswa, misalnya, karena banyak teman yang percaya stereotip "orang Tionghoa pandai menghitung", mereka memilih salah satu dari kami, seorang keturunan Tionghoa, sebagai bendahara pada sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa. Dalam konteks ini, apa yang dilakukan teman-teman saya memang bisa dianggap sebagai guyon agar kami sama-sama aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Dan teman saya merasa tidak sakit hati. Tapi jika ditilik lebih jauh dalam masa lampau Indonesia, guyonan itu sebenarnya berakar dari sejarah yang pahit.

Infografik Jokowi dan Isu Cina

Infografik Jokowi & Isu Cina. tirto.id/Rangga

Tidak Relevan Mengaitkan Jokowi dengan Tionghoa

Jokowi mengucapkan selamat tahun baru Imlek setiap tahunnya. Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pun sama. SBY bahkan 10 tahun merayakan Imlek dengan warga Tionghoa dan mereka yang beragama Konghucu. Tidak satu kali pun tudingan "antek Tionghoa" atau "keturunan Tionghoa" menyasar kepada SBY.

Padahal, Jokowi tidak seperti Habibie, tidak juga seperti Gus Dur. Habibie mengeluarkan Inpres No. 26/1998 yang membatalkan aturan-aturan diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa dengan menghilangkan penyebutan pribumi dan nonpribumi di pemerintahan.

Sedangkan Gus Dur mengeluarkan Keppres No. 9/2001 dan menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional. Dengan kebijakan Gus Dur, orang Tionghoa bisa kembali melestarikan kebudayaannya, termasuk yang dinikmati sampai sekarang, berkumpul bersama dengan keluarga memakai baju berwarna merah dan sembahyang untuk menghormati leluhur. Gus Dur memandang Tionghoa adalah sesama dengan menyebutnya sebagai "orang" bukan sekadar "suku".

Gus Dur, seperti dilansir Kompas, bahkan sempat berceloteh: "Saya ini China tulen sebenarnya, tetapi ya sudah nyampurlah dengan Arab, India." Atas jasanya, Gus Dur sering disebut publik sebagai 'Bapak Orang Tionghoa'.

Tapi tidak ada satu pun yang sampai sekarang mendebat, menuding, menyudutkan, melakukan black campaign bahwa mantan Ketua Umum PBNU itu sebagai keturunan Tionghoa. Tudingan justru menyasar kepada Jokowi yang hanya dianggap berpihak kepada orang Tionghoa.

Nyatanya, tidak ada kebijakan besar Jokowi yang secara spesifik ditujukan untuk melindungi kaum minoritas. Ben Bland dalam tulisannya berjudul "Politics in Indonesia: Resilient Elections, Defective Democracy" (2019) justru memandang perlindungan pada kaum minoritas kian lemah di bawah Jokowi. Apalagi Jokowi juga menunjuk Ma'ruf Amin sebagai wakil presiden. Bekas pemimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu adalah salah satu tokoh kunci yang menggulingkan Basuki Tjahaja Purnama dalam Pilkada Jakarta 2017 dengan isu SARA. Jokowi dinilai melanggengkan politik identitas dan berpotensi tidak menghasilkan keputusan yang melindungi kaum minoritas.

Betapapun lawan politik menuduh Jokowi sangat akrab dengan etnis Tionghoa, sesungguhnya Jokowi tidak sedekat itu dengan mereka. Sayangnya, minoritas harus tetap memilih, kendati pilihan mereka saat Pilpres 2019 adalah yang "sedikit buruk dari yang terburuk", bukan karena Jokowi benar-benar berpihak kepada mereka.

Baca juga artikel terkait IMLEK 2021 atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan