Menuju konten utama

Hikayat Air Ledeng

Dari waterleiding (jaringan pipa air) pada zaman Hindia Belanda, lahirlah istilah air ledeng.

Hikayat Air Ledeng
Menara air di kota Medan. FOTO/Istimewa

tirto.id - Dalam autobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (1969) yang disusun Cindy Adam, Sukarno yang anak guru priyayi mengaku: “Masa kanak-kanakku tidak berbeda dengan David Copperfield. Aku dilahirkan di tengah-tengah kemiskinan dan dibesarkan dalam kemiskinan [...] Aku mandi tidak dalam air yang keluar dari keran.”

Saat Sukarno melewatkan masa kecilnya, miskin tidaknya seseorang tak bisa dilihat dari air yang dipakainya untuk mandi. Pada kurun waktu 1900 hingga 1920, jaringan pipa air alias waterleiding—yang biasanya dikelola sebuah perusahaan atau jawatan—jauh lebih terbatas dibanding sekarang. Orang yang kaya-raya belum tentu berlangganan waterleiding. Banyak orang mendatangi dari sumur atau sungai untuk mandi atau ambil air minum.

Waterleiding hadir sebagai solusi penyedia air bersih di zaman kolonial, termasuk keperluan air bersih untuk minum. Ratusan tahun sebelumnya, menurut penelusuran Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin, sejak lama orang di Asia Tenggara memenuhi kebutuhan air bersih dengan mengendapkan air sungai cukup lama agar jernih. Orang Siam (Thailand) bahkan harus mengendapkannya selama tiga minggu sampai satu bulan di dalam gentong atau kendi.

Pemerintah kolonial yang punya kepentingan akan air bersih pun mengurusi banyak mata air dan membangun banyak menara air di beberapa kota di Indonesia. Contohnya di alun-alun kota Magelang, di lokasi yang kini menjadi kantor Walikota Palembang. Mata air dan menara air itu terkait pula dengan waterleiding, jawatan penyedia air bersih via pipa yang baru marak di Hindia Belanda pada awal abad ke-20.

Di masa itu, air bersih sudah dirasa jadi masalah yang harus diselesaikan di Jakarta. Menurut catatan Mona Lohanda dalam Sejarah Sosial DKI Jakarta Raya (1984), air bersih untuk Gemeente Batavia (Kotapraja Jakarta) berada di Ciomas, dekat Bogor.

Air itu disalurkan lewat waterleiding. Pembangunannya sudah disetujui oleh sidang Gemeente pada 21 Oktober 1918 dan dikerjakan dalam waktu empat tahun. Waterleiding itu diresmikan pada tanggal 23 Desember 1922. Belakangan, seperti terpacak pada situs PAM JAYA, tanggal ini dijadikan hari ulang tahun Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM-Jaya).

Baca Juga: Badan Pengawas PAM Jaya Klaim DKI Belum Siap Stop Swastanisasi

Infografik Waterleiding ke air ledeng

Tentu saja tak hanya Jakarta saja yang punya waterleiding. Koto Gadang, sebuah daerah di Sumatera Barat, juga sudah mempunyainya sebelum Indonesia merdeka. Menurut catatan Azizah Etek, dkk dalam Koto Gadang Masa Kolonial (2007), penggagasnya adalah seorang Minang yang cukup disegani dan pernah jadi anggota dewan rakyat Volksraad, Yahya Datuk Koyo. Ia adalah ayah Gubernur Militer Jakarta tahun 1950, Daan Yahya. Gagasan pengadaan waterleiding ini dikemukakan dalam Rapat Nagari, 9 Juli 1918.

Kala itu, Yahya Datuk Kayo adalah Demang Payakumbuh. Usulan ini disambut baik oleh ahli mata dokter Syaaf. Menurutnya, air yang biasa digunakan masyarakat kurang baik bagi kesehatan, termasuk kesehatan mata. Namun, pembangunan tidak bisa langsung dilakukan karena besarnya dana yang diperlukan. Pembangunan baru terlaksana pada 1932 dan diresmikan 30 Januari 1933.

Di Surabaya, menurut De Waterstaats Ingenieur Volume 7 (1919) dan Dukut Imam Widodo dalam Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe (2008), pemasangan pipa-pipa waterleiding oleh NV Biernie dianggap sudah selesai pada 1903 dan resmi dipakai pada 8 Oktober 1903. Pelanggannya di Surabaya tahun 1906 sudah mencapai 1.588 dengan volume air yang terpakai 9.000 m3 tiap harinya.

Saat ini, di tiap daerah ada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang memasok air bersih ke masyarakat melalui jaringan pipa waterleiding seperti zaman kolonial dulu. Jangkauan jaringan pipanya lebih banyak ketimbang waterleiding kolonial. Meski tak lagi dianggap kemewahan, hingga kini tak semua orang Indonesia mandi dari air waterleiding atau pipa-pipa PDAM. Itulah sebabnya air sumur dan pompa air populer.

Baca Juga: Kenapa Sanyo Melekat Sebagai Pompa Air

Di zaman kolonial, Waterleiding terkait dengan jawatan bernama Burgeiljke Openbare Werken (BOW) alias Pekerjaan Umum. Perlahan, istilah waterleiding—yang masih dipakai pada zaman Sukarno—pun berganti sebagai PAM (singkatan dari Perusahaan Air Minum).

Namun, istilah "air ledeng" masih ada dan bersanding dengan PAM. Orang-orang di Surabaya menyebutnya banyu ledeng (air ledeng). Di Bandung, terdapat kawasan dan terminal dengan nama Ledeng, dan di situ pula terdapat pipa-pipa air warisan waterleiding zaman Hindia Belanda.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani