tirto.id - “Jangan pakai jari-jemarimu,” kata guru les saksofon Adam. “Tempelkan agak lebih masuk ke mulutmu, tutup gigimu pakai bibir, dan tiup keras! Ya, gitu! Ya!”
Kemudian, nada sumbang mencelat dari ujung saksofon yang dipegang Adam. Nada yang dideskripsikannya sebagai ratapan melengking perusak ketenangan pagi hari.
Selain lari pagi dan bersepeda motor, Adam memang punya hobi baru: ia suka main saksofon, dan memutuskan serius mempelajari alat musik pencipta nada sensual itu.
Tiga hobinya membawa relaksasi yang beda-beda bagi Adam. Lari membuat tubuh dan jiwanya jadi lebih ringan, membawa waktu yang lebih luang untuk berpikir. Sementara bersepeda motor sangat menyerap perhatian, yang akhirnya menciptakan distraksi dari berpikir berlebihan dan khawatir sepanjang waktu.
Saksofon memang pelepas stres. Memainkannya bikin Adam tenang dan senang.
Omong-omong, Adam ini bukan saya. Ia seorang duda yang baru ditinggal mati istrinya, dan menuliskan pengalaman-pengalaman hidup setelah kejadian itu di The Guardian. Dalam kolom tetap Widower of the Parish, ia sempat berbagi tentang bagaimana kesenangan bermain saksofon membantunya teralihkan dari kesedihan dan perasaan was-was.
Memainkan musik memang terbukti secara ilmiah bisa mereduksi stres manusia. Penulis kesehatan senior Fred Cicetti pernah menulis hal itu di situs kesehatan Live Science. “Memainkan alat musik tampaknya bisa meningkatkan kesehatan kita dalam berbagai cara. Saya sendiri memainkan saksofon hampir setiap hari, dan dapat memastikan bahwa bermain musik pasti mengurangi stres,” tulis Cicetti.
Cerita Adam dan Cicetti sebenarnya akan terdengar ironis kalau Anda tahu kisah hidup Adolphe Sax, si pencipta saksofon.
“Dia adalah anak yang dikutuk kesialan.” Perkataan itu terkenal karena keluar dari ibunya sendiri. “Dia tak akan hidup lama,” kata sang ibu pula. Para tetangganya bahkan menjuluki “Sax Cilik, Si Hantu”.
Sebelum menciptakan saksofon, hidup Sax memang unik, kalau tak bisa dikatakan tragis.