Menuju konten utama

Hideyo Noguchi: Ahli Sifilis dalam Uang Kertas 1.000 Yen

Kisah kecemerlangan dan kegagalan Hideyo Noguchi, ilmuwan yang bekerja di Rockefeller Institute for Medical Research.

Hideyo Noguchi: Ahli Sifilis dalam Uang Kertas 1.000 Yen
Uang Jepang 1000 yen bergambar Hideyo Noguchi. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Hingga tahun 1913, tidak ada satu pun dokter atau ilmuwan yang melihat hubungan antara kegilaan, hilang ingatan, dan kelumpuhan dengan sifilis. Para penderita sifilis yang bertahun-tahun kemudian mengalami gangguan jiwa dan kelumpuhan ditangani sebagai pasien sakit jiwa sampai ajal menjemput.

Setelah bakteri Treponema pallidum ditemukan pada 1905 oleh ilmuwan Jerman, Fritz Schaudinn, seorang ilmuwan Jepang bernama Hideyo Noguchi yang bekerja di Rockefeller Foundation meneliti hubungan tersebut.

Pada 1913, Noguchi berhasil mengisolasi T. pallidum dari otak pasien sifilis yang mengalami kegilaan dan kelumpuhan. Bakteri spiroket inilah yang menyerang otak dan sistem syaraf pasien yang semula didiagnosis dengan “kelumpuhan umum pada orang gila”. Noguchi berhasil menunjukkan bahwa T. pallidum menginvasi sistem syaraf seiring tingkat keparahan penderita sifilis. (Haas, LF. “Neurological Stamp: Hideyo Noguchi (1876–1928)”, Journal of Neurology, Neurosurgery and Psychiatry 2002).

Penemuan Noguchi yang membuktikan bahwa “kelumpuhan umum pada orang gila” tersebut merupakan hasil infeksi T. pallidum, serta-merta mengubah nama penyakitnya menjadi sifilis tersier atau neurosifilis. Kebijakan penanganan dan tata laksananya pun berubah.

Sebelumnya, pasien sifilis yang sudah sangat parah dikurung di rumah sakit jiwa, menunggu sampai gila lalu mati. Neurosifilis terjadi hampir selalu tiga atau empat tahun sejak mulai gila, dan biasanya satu dekade atau lebih setelah terkena infeksi primer. (Baird, Kevin J. & Sangkot Marzuki. Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang. Tragedi Lembaga Eijkman & Vaksin Maut Romusha 1944-1945, 2020, hlm. 92-93).

Sumbangsih besar Noguchi dalam bakteriologi ini membuatnya diakui secara internasional, termasuk oleh Paul Ehrlich yang menemukan Salvarsan, obat sifilis. Kemampuan Noguchi mengisolasi T. pallidum tidak dapat dilepaskan dari kerja sebelumnya di bawah bimbingan mentornya, Simon Flexner.

Selama bertahun-tahun, Noguchi berkutat pada fisiologi bisa ular. Kerja ekstensifnya ini tertuang dalam bukunya berjudul Snake Venoms: An Investigation of Venomous Snakes with Special Reference to the Phenomena of Their Venoms yang terbit pada 1909. Buku ini menjadikannya sebagai peneliti yang dihormati di tempat baru yang juga baru didirikan, Rockefeller Institute for Medical Research (RIMR), New York. Simon Flexner adalah direktur pertamanya. (Tan, Siang Yong & Jill Furubayashi, “Hideyo Noguchi (1876-1928): Distinguished bacteriologist”, Singapore Medical Journal 2014).

Noguchi berkarier di RIMR sepanjang hayatnya. Studi laboratorium selama tujuh tahun tentang bisa ular membekali dirinya dengan teknik serologi yang kuat, yang sangat berguna dalam penelitian beragam penyakit infeksi pada manusia. Ia mulai berkontribusi dalam riset sifilis sejak Salvarsan ditemukan pada 1909. Kemudian ia beralih pada leptospirosis. Bahkan genus Leptospira sebagai penyebab berbagai manifestasi penyakit akibat bakteri ini dinamai oleh Noguchi.

Sepanjang 1919-1922, ia produktif memublikasikan hasil penelitiannya tentang leptospira dan demam kuning yang ia yakini disebabkan oleh Leptospira. Ia juga meneliti tuberkulosis, trakoma, rabies, demam bintik Rocky Mountain (infeksi akibat kutu di Amerika Utara), leishmaniasis (infeksi parasit yang umum terjadi di Amerika Tengah dan Selatan), serta demam Oroyo yang jamak terjadi di Pegunungan Andes. (Baird, Kevin J. & Sangkot Marzuki. Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang. Tragedi Lembaga Eijkman & Vaksin Maut Romusha 1944-1945, 2020, hlm. 94).

Masa Kecil dan Tokoh Novel

Nana korobi ya oki. Artinya, jatuh tujuh kali, bangkit delapan kali. Peribahasa Jepang itu menunjukkan bahwa menyerah adalah sesuatu yang tabu untuk dilakukan. Hideyo Noguchi mengimani peribahasa itu.

Noguchi lahir sebagai Seisaku Noguchi dari keluarga petani miskin yang konon buta huruf di sebuah desa di Prefektur Fukushima, Jepang, pada 24 November 1876. Saat balita, terjadi kecelakaan yang membuat bagian tubuh kirinya terkena luka bakar serius. Tangan kirinya mengalami perubahan bentuk dengan jari-jari menyatu, sehingga menghambat gerak tangannya.

Tetapi Noguchi anak yang cerdas, sehingga kepala sekolahnya mengirimkan Noguchi ke sekolah lain yang lebih baik di kota. Dengan bantuan sekolah juga, pada usia 16 tahun Noguchi dapat menjalani operasi yang berhasil memulihkan gerakan tangan kirinya. Kanae Watanabe, dokter bedah yang berhasil memperbaiki fungsi tangan Noguchi mengambilnya sebagai asisten dan tinggal di rumahnya. Hal ini memberi kesempatan bagi Noguchi muda untuk mempelajari ilmu kedokteran, juga belajar bahasa Inggris serta bahasa Jerman dari Watanabe.

Melalui lensa mikroskop Watanabe jugalah untuk pertama kalinya Noguchi melihat mikroorganisme yang diambil dari seorang pasien. Kuman kecil itu menghantuinya selama bertahun-tahun. (Haas, LF. “Neurological Stamp: Hideyo Noguchi (1876–1928)”, Journal of Neurology, Neurosurgery and Psychiatry 2002).

Noguchi melanjutkan pendidikan ke Tokyo Medical College sembari bekerja sebagai petugas kebersihan untuk menopang biaya hidupnya. Setelah lulus sekolah kedokteran pada 1897, ia bekerja di Institute for Infectious Disease di Tokyo. Di masa inilah Noguchi mengganti namanya, Seisaku menjadi Hideyo, yang berarti “manusia adidaya”. Rupanya, Noguchi membaca sebuah novel dengan tokoh Seisaku yang digambarkan sebagai dokter pemalas dan penuh kegagalan.

Pada 1899, seorang profesor ahli patologi dari Universitas Pennsylvania berkunjung ke institut tempat Noguchi bekerja. Dengan bahasa Inggris yang terbatas, peneliti muda ini memberanikan diri menemani sang profesor berkeliling. Nama profesor itu adalah Simon Flexner. Dua tahun setelah kunjungan Flexner, Hideyo Noguchi berlayar ke Pennsylvania dan bekerja bawah Flexner di Universitas Pennsylvania. Setahun kemudian pada 1902, RIMR didirikan di New York, dan Simon Flexner diangkat menjadi direktur pertamanya. Noguchi pun turut pindah ke New York. (Haas, LF. “Neurological Stamp: Hideyo Noguchi (1876–1928)”, Journal of Neurology, Neurosurgery and Psychiatry 2002).

Demam Kuning

Hipotesis Noguchi bahwa demam kuning disebabkan oleh Leptospiraicteroides merupakan sisi gelap dalam sejarah gemilang Noguchi sebagai peneliti. Kegigihannya mempertahankan bahwa demam kuning merupakan manifestasi leptospirosis ditentang oleh banyak ilmuwan yang meragukan metode dan bukti lapangan yang ternyata memang dilakukan secara ceroboh.

Tantangan datang dari Max Theiler dan Andrew Sellards dari Universitas Harvard yang menyatakan bahwa leptospira tidak ada hubungannya dengan demam kuning. Tantangan lain juga muncul dari Universitas Amsterdam lewat disertasi Achmad Mochtar. Menurut peneliti asal Indonesia itu, Noguchi salah mengidentifikasi bahwa bakteri L. icteroides yang ia nyatakan sebagai penyebab demam kuning adalah organisme yang berbeda dengan L. ictohaemorrhagiae, penyebab demam Weil.

Dengan teknik yang lebih akurat, Mochtar menyatakan bahwa L. icteroides yang ditemukan Noguchi di dalam tubuh pasien demam kuning adalah L.ictohaemorrhagiae. Dengan demikian, leptospira tidak ada hubungannya dengan demam kuning (Baird, Kevin J. & Sangkot Marzuki. Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang. Tragedi Lembaga Eijkman & Vaksin Maut Romusha 1944-1945, 2020, hlm. 97).

Infografik Hideyo Noguchi

Infografik Hideyo Noguchi. tirto.id/Sabit

Karier Noguchi mulai redup seiring kesalahan-kesalahan dalam metode penelitian dan studi lapangan yang ia lakukan. Ia juga harus menghadapi tuduhan eksperimen pada manusia, yaitu melakukan inokulasi ekstrak sifilis pada kulit seorang anak yang sehat. Noguchi sendiri terkena sifilis yang mungkin sudah berkembang menjadi neurosifilis. Kecerobohannya dalam melakukan penelitian di laboratorium merugikan rekan-rekannya sesama peneliti dengan membuat mereka terpapar patogen-patogen berbahaya. (Tan, Siang Yong & Jill Furubayashi, “Hideyo Noguchi (1876-1928): Distinguished bacteriologist”, Singapore Medical Journal 2014).

Pada 1927 ia berlayar ke Accra, Ghana, tempat demam kuning masih mewabah. Setahun kemudian ia meninggal karena demam kuning. Ia menyuntikkan serum demam kuning yang ia buat dengan menghilangkan “bakteri”-nya, yang tentu saja gagal melindunginya dari kematian. Noguchi meninggal di Ghana pada 21 Mei 1928. Jenazahnya disemayamkan dengan penuh penghormatan di Woodlawn Cemetery di New York.

Noguchi Hideyo hanyalah sedikit di antara segelintir ilmuwan Jepang yang mendapatkan pengakuan internasional dan bekerja di luar Jepang pada awal abad ke-20. Atas kontribusinya yang besar pada ilmu pengetahuan dan kemanusiaan, pemerintah Jepang memberikan berbagai penghargaan, termasuk mengabadikan potretnya pada uang kertas 1.000 yen sejak tahun 2004. Setelah kematiannya, rumah masa kecil Noguchi di Fukushima dibeli pemerintah Jepang dan dijadikan museum.

Pada 2006, pemerintah Jepang melalui JICA (Japan International Cooperation Agency) mengesahkan Hideyo Noguchi Africa Prize (Noguchi Hideyo Afurika Shō). Kusala ini diberikan kepada siapa pun yang memberikan kontribusi luar biasa dalam pengabdian maupun penelitian kedokteran untuk memerangi penyakit menular dan penyakit lainnya di Afrika, sehingga membantu kesehatan dan kesejahteraan bangsa Afrika dan bagi seluruh umat manusia. Noguchi Prize diberikan setiap 5 tahun sekali dengan 2 orang penerima (masing-masing untuk pemenang dalam penelitian kedokteran dan pengabdian kedokteran), dengan hadiah sebesar 100 juta yen atau sekitar 11,5 miliar rupiah.

Pengabdian terakhir Noguchi di Ghana memerangi demam kuning diharapkan menjadi inspirasi bagi para peneliti kedokteran lainnya untuk meningkatkan derajat kesehatan bangsa Afrika. Pemerintah Ghana pada 1997 mencetak prangko dengan wajah Noguchi dalam peringatan 120 tahun kelahiran Noguchi, sementara pemerintah Jepang sudah terlebih dulu melakukannya pada 1949.

Baca juga artikel terkait PENELITI atau tulisan lainnya dari Uswatul Chabibah

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Uswatul Chabibah
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Irfan Teguh Pribadi