tirto.id - Hari kerja, jam delapan pagi, di Jalan H Awaludin II, mobil dari dalam kesulitan keluar, mobil dari luar tidak bisa ke dalam. Jalan yang letaknya bersebelahan dengan Kantor Kecamatan Tanah Abang itu bukan jalan sempit. Lebarnya cukup untuk dua mobil. Hanya saja, barisan mobil-mobil yang berhenti di tepi jalan, menjadi penghalang bagi mobil-mobil yang sedang melaju.
Mobil-mobil yang berhenti itu sebagian besar masih bertutupkan sarung. Mereka berjajar sejak malam. Sebagian bahkan ada yang sudah diparkir berhari-hari, layaknya mobil yang disimpan dalam garasi. Pemilik mobil-mobil itu tak punya lahan yang bisa dijadikan garasi di rumahnya. Mau tak mau, mobil diparkir di pinggir jalan. Sarung-sarung dipakai agar mobil terlindung dari panas dan hujan.
Jalan Awaludin II hanya satu dari ratusan jalan-jalan kecil di kawasan pemukiman yang disulap menjadi garasi. Di kawasan Kebon Kacang, Kebon Pala, pemandangan serupa mudah sekali ditemui. Ini masih wilayah Jakarta Pusat, belum lagi di Selatan, Utara, Timur, dan Barat.
Pemandangan tak indah itu bukan hanya terlihat di jalan-jalan kecil. Setiap pagi, kemacetan menggila di Jalan Raya Kalibata, Jakarta Selatan. Mobil-mobil penghuni Apartemen Kalibata City yang diparkir di tepi jalan itu menjadi biang keroknya. Mereka, para pemilik mobil itu tak punya pilihan. Sebab lahan parkir di kawasan apartemen tak cukup luas menampung seluruh mobil milik penghuni.
Jika tak diatur dan terus dibiarkan, ini tentu akan menjadi persoalan serius. Bayangkan jika ada satu rumah yang tak punya lahan garasi tetapi punya mobil tiga? Di mana mobil-mobil itu akan bermalam jika bukan di tepi jalan?
Di Jepang, orang-orang tak bisa membeli mobil jika tidak memiliki garasi. Ada petugas yang akan mengecek ke rumah atau apartemen calon pembeli mobil untuk memastikan ketersediaan tempat untuk menyimpan mobil yang akan dibeli itu. Jika tidak ada, mobil tak boleh dibeli.
Kebijakan yang ada di Jepang itu, sebenarnya sudah tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No.5/2014 tentang Transportasi. Dalam Pasal 140 ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang atau badan usaha pemilik kendaraan bermotor wajib memiliki atau menguasai garasi. Dalam ayat 2 pasal yang sama termaktub larangan menyimpan kendaraan bermotor di ruang milik jalan. Mengapa regulasi ini tak dijalankan?
Sempat diusulkan Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Marsudi untuk menjalankan peraturan itu. Menurutnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bisa mengeluarkan peraturan gubernur yang mengatur lebih lanjut isi pasal 140 Perda itu. Sayangnya, hingga kini belum ada tindak lanjutnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah mobil penumpang di Jakarta mencapai 3,27 juta unit hingga akhir 2014. Kini, jumlahnya tentu sudah bertambah. Jika diasumsikan satu mobil membutuhkan garasi seluas 15 meter persegi, maka dibutuhkan lahan seluas 49,05 kilometer persegi atau setara 7,41 persen dari total luas daratan Jakarta. Lahan yang dibutuhkan sebagai tempat menyimpan mobil-mobil ini sedikit lebih luas dari total luas jalan raya Jakarta yang hanya 48,5 kilometer persegi. Lahan garasi ini tentu bisa lebih kecil jika mobil-mobil disusun vertikal.
Usulan ini, menurut Ahok tak bisa diterapkan dengan alasan kendaraan yang masuk ke Jakarta tidak hanya dari Jakarta. Selain itu, tidak semua kendaraan yang dimiliki warga Jakarta dibeli di Jakarta. Ada benarnya juga.
Katakanlah aturan itu diberlakukan di Jakarta. Lalu ada seorang warga Jakarta yang tidak punya garasi tetapi ingin membeli mobil. Dia bisa beli di Bogor, atau Tangerang, atau kota-kota lain yang berbatasan dengan Jakarta. Alhasil, mobil-mobil yang diparkir di jalan raya tetap ada.
Jika hanya berlaku bagi Jakarta, seperti kata Ahok, regulasi ini tak akan mengubah apa-apa kecuali menambah persoalan baru. Bagaimana dengan Jabodetabek atau kota-kota besar lainnya? Memang, kota besar seperti Surabaya dan Medan belum menghadapi persoalan "garasi liar" seperti di Jakarta. Tetapi, bukankah itu artinya pemerintah sedang melakukan tindakan preventif, dan itu baik?
Di Jepang, aturan memiliki garasi ini sudah diterapkan sejak 1962. Ia tak hanya berlaku di Tokyo sebagai ibukota, tetapi juga di beberapa kota besar lainnya. Semakin ke sini, aturan semakin meluas ke hampir seluruh kota di Negeri Sakura.
Derek Dijadikan Solusi
Ahok ternyata punya solusi sendiri atas fenomena ini. Ia percaya, menerapkan aturan derek akan lebih efektif dibandingkan mewajibkan adanya garasi.
Dia bilang, ke depannya, mobil-mobil yang diketahui parkir mengganggu lalu lintas jalan akan diderek. Ia berencana menggandeng swasta untuk melakukan penderekan, tak hanya di jalan-jalan raya, tetapi juga di pemukiman.
Tahun lalu, DKI telah meluncurkan 32 unit mobil derek. Dana senilai Rp35,2 miliar dikucurkan untuk membeli mobil-mobil itu. Ahok tampak sangat bersemangat untuk menderek mobil-mobil yang parkir di dan bermalam di jalan umum. Dia memerintahkan mobil-mobil itu untuk beroperasi selama 24 jam. Apartemen-apartemen seperti Kalibata City disebut Ahok sebagai sasaran utama penderekan.
Setahun berselang, tak ada perubahan apa-apa. Parkir liar di Kalibata Raya tetap merajalela. Jalan-jalan di pemukiman tetap menjadi tempat mobil-mobil menginap.
Hey Bung, itu jalan umum, bukan garasimu!
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti