tirto.id - Eks Kepala Biro Pengamanan Internal (Karo Paminal) Divisi Propam Polri, Hendra Kurniawan sebut, proses pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) terhadap dirinya tidak profesional. Sebab, dalam sidang kode etik yang memberhentikan dirinya tersebut, hanya 4 orang saksi yang dimintai keterangan. Padahal, seharusnya ada 17 orang.
Hal tersebut disampaikan Hendra saat menjadi saksi untuk terdakwa obstruction of justice Irfan Widyanto di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jumat (16/12/2022).
Mulanya, jaksa bertanya kepada Hendra terkait alasan ia disidang kode etik. Hendra kemudian menyebut bahwa sidang kode etik tersebut tak profesional.
“Di (sidang) kode etik, kami diperiksa terkait masalah pertanggungjawaban sebagai Kabiro yang dinilai kurang profesional dan kami masih melakukan upaya banding,” kata Hendra dalam persidangan.
“Perlu Pak Jaksa tahu, bahwa dari 17 saksi yang dihadirkan, hanya tiga yang fisik, satu daring. Lainnya tidak hadir. Jadi ini menurut saya juga enggak profesional dalam proses itu," imbuh Hendra.
“Masalah apa itu?" tanya jaksa.
"Tidak profesional melaksanakan tugas terkait dengan proses penyelidikan," sebut Hendra.
“Penyelidikan apa?" tanya jaksa.
"Penyelidikan terkait peristiwa tembak menembak," ungkap Hendra.
"Tembak menembak di?" tanya jaksa menegaskan.
"Di Duren Tiga, 46," kata Hendra.
"Rumah siapa itu?"
"Pak FS, Ferdy Sambo," jawab Hendra.
Dalam kasus obstruction of justice atau perintangan penyidikan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua, Arif Rachman Arifin bersama 6 terdakwa lain yaitu Baiquni Wibowo, Chuck Putranto Ferdy Sambo, Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Irfan Widyanto disebut melakukan upaya penghalangan penyidikan.
Tujuh terdakwa tersebut dinilai melanggar Pasal 49 jo Pasal 33 dan/atau Pasal 48 ayat 1 jo Pasal 32 ayat (1) Nomor 19 Tahun 2016 UU ITE. Selain itu, mereka juga dijerat Pasal 55 ayat (1) dan/atau Pasal 221 ayat (1) ke-2 dan/atau Pasal 233 KUHP.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Abdul Aziz