Menuju konten utama

Hati Suhita: Kesetaraan dan Kiprah Perempuan di Dunia Pesantren

Visualisasi Hati Suhita ke dalam film dinilai membuka perspektif baru atau pandangan yang berubah tentang pesantren.

Hati Suhita: Kesetaraan dan Kiprah Perempuan di Dunia Pesantren
HATI SUHITA. Youtube/StarvisionPlus

tirto.id - Film Hati Suhita yang disutradarai Archie Hekagery berkisah tentang perjodohan dan kehidupan pesantren. Film ini diadaptasi dari novel best seller karya Khilma Anis dengan judul yang sama. Sebelum diangkat ke layar lebar, kisah ini sudah menjadi obrolan di sejumlah grup WhatsApp dan lingkungan pesantren.

Tak ayal, saat novel yang ditulis Neng Khilma –sapaan akrabnya-- ini difilmkan, para penggemarnya yang rata-rata kaum hawa sangat antusias menyambutnya. Hal ini setidaknya dapat kita lihat dalam gala premiere film Hati Suhita yang digelar di 17 kota di seluruh Indonesia. Tiket premiere terjual habis tak bersisa hanya dalam hitungan jam.

“Tiket premiere film Hati Suhita di 17 kota sould out di mana-mana!” tulis Khilma Anis, penulis novel Hati Suhita di akun facebooknya.

Bahkan, tingginya antusiasme publik ini, di beberapa kota diadakan penambahan studio penayangan film Hati Suhita. Di antaranya Mojokerto, Surabaya, Jember, Malang, Ponorogo, dan Kediri. Hal ini dikonfirmasi Gus Mazda Ahmad, suami dari Khilma saat saya temui di gala premiere di Jogja City XXI, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu, 21 Mei 2023.

Di Jogja sendiri, ada tiga studio yang dibuka saat gala premierefilm Hati Suhita. Berdasarkan pantauan di lokasi, rerata yang datang adalah kaum hawa, aktivis ormas keagamaan di bawah Nahdlatul Ulama (NU), serta mereka yang pernah bersentuhan dengan dunia pesantren.

HATI SUHITA

HATI SUHITA. Youtube/StarvisionPlus

Membuka Perspektif Baru Soal Pesantren

Film yang diproduksi oleh Starvision ini dibuka dengan adegan pernikahan Alina Suhita (Nadya Arina) yang dijodohkan dengan Al Birruni atau Gus Birru (Omar Daniel), putra tunggal dari pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Kediri. Sementara Alina Suhita adalah putri dari pengasuh pesantren di Mojokerto.

Meski demikian, kisah pernikahan keduanya tidak mulus, karena Gus Birru punya pujaan hati yang dicintainya, yaitu Ratna Rengganis, seorang jurnalis cum aktivis. Sementara, Alina Suhita hadir dalam kehidupan Gus Birru lantaran dijodohkan oleh kedua orang tuanya.

Hal tersebut membuat keduanya tidak bahagia. Sejumlah persoalan hinggap dalam perjalanan pernikahan Alina Suhita dan Gus Birru, bahkan hampir bercerai. Namun akhirnya, muncul hal-hal menarik yang akhirnya membuat situasinya berjalan baik dan akhirnya bahagia hidup bersama.

Namun terlepas dari romantika tersebut, film Hati Suhita membuka perspektif baru terkait dunia pesantren, khususnya bagi mereka yang tidak pernah belajar di pondok pesantren.

“Visualisasi Hati Suhita ke dalam film membuka perspektif baru atau pandangan yang berubah tentang pesantren,” kata Suraji, aktivis Jaringan Gusdurian dalam catatannya usai menonton film Hati Suhita.

Menurut Suraji, sebagai produk kreativitas budaya, film Hati Suhita telah berhasil menjadi jembatan masyarakat yang tidak punya latar belakang santri terhadap dunia pesantren era sekarang. Selain itu, film ini juga menampilkan keliatan kultur dan tradisi pesantren dalam dunia yang berubah dan berkembang.

Hal senada diungkapkan Nadya Arina, pemeran Alina Suhita saat jumpa pers. Ia mengatakan, film Hati Suhita ini mengubah cara pandang orang soal pesantren yang selama ini identik dengan kaku dan kuno.

“Tapi ternyata pesantren sekarang modern, melek teknologi. Kesetaraan laki-laki, perempuan,” kata dia.

Hati Suhita

Hati Suhita. youtube/StarvisionPlus

Kesetaraan dan Peran Perempuan

Soal nilai kesetaraan juga disampaikan Suraji. Ia menyebut, cerita dan visualisasi film Hati Suhita cukup banyak menampilkan simbol kearifan tradisi pesantren dalam menawarkan nilai kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Ia menilai, disadari atau tidak, relasi tersebut telah berubah dalam beberapa dekade terakhir. “Dan pesantren tidak luput dari gelombang kesetaraan tersebut,” kata Suraji.

Sepanjang kurang lebih dua jam durasi film, saya mencatat beberapa adegan terkait ini. Salah satu contoh adalah adegan saat Abah dan Umik, orang tua dari Gus Birru memberikan kepercayaan kepada Alina Suhita menjadi kepala sekolah di pesantren. Penunjukan tersebut bukan semata-mata karena ia menantu dan disiapkan sebagai penerusnya, tapi karena kualitas dan kemampuan Alina Suhita yang telah diuji oleh Abah dan Umik.

Peran dan kepemimpinan Alina Suhita ini divisualisasi dengan sangat epik oleh sutradara dalam film ini. Misalnya, ketika Alina Suhita menjelaskan kepada para ustaz dan ustazah soal pentingnya menggabungkan santri putra dan putri saat bahtsul masail.

Contoh lainnya adalah ketika Alina Suhita meyakinkan para pengajar di pesantren supaya tidak terpaku pada buku atau kitab yang ada. Seorang ustaz lalu bertanya “Berarti kita tidak lagi pakai kitab Amsilatu Tasrif yang sudah pakem selama ini?” Lalu, Alina Suhita menjawab tetap pakai, hanya saja diinovasi.

Sastrawan cum owner Galeri Buku Jakarta, Sabiq Carebesth juga mengakui soal nilai kesetaraan dalam film yang diadaptasi dari novel karya Khilma tersebut. Ia menyebut Hati Suhita adalah altar hati perempuan, suatu falsafah kesadaran diri perempuan (yang dibentuk oleh nilai pesantren) dalam memandang diri dan masyarakatnya sebagai suatu perkembangan sejarah sosial. Termasuk dalam membentuk keluarga sakinah mawadah warahmah, adil dan setara.

“Keluarga yang diberkati kesadaran tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam memajukan bentuk adil relasi laki-laki dan perempuan tak bisa diabaikan, sebab keluarga adalah institusi nilai sekaligus pondasi transformasi sejarah kebudayaan,” kata Sabiq.

Baca juga artikel terkait PONDOK PESANTREN atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maya Saputri