Menuju konten utama

Hati-hati dengan Selangkanganmu

Ada ancaman bahaya di antara sadel motor dan selangkangan. Bagi pria, ancaman ini bisa berpotensi pada konflik ranjang dan “kepunahan” generasi mendatang.

Hati-hati dengan Selangkanganmu
Ilustrasi disfungsi ereksi. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Di Jakarta, pengendara motor menghabiskan waktu berjam-jam untuk membebaskan diri dari macet. Tapi itu semua tak pernah menyurutkan jumlah pengendara bermotor. Dari tahun ke tahun, jumlah sepeda motor yang lalu lalang terus meningkat. Di kota itu, pada 2014 lalu ada 13 juta sepeda motor. Pertambahannya 4.000 hingga 4.500 sepeda motor per hari.

"Itu berdasarkan data Samsat mengeluarkan STNK," kata Martinus Sitompul Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, kepada Antara.

Tapi, jelas Martinus, “Pertumbuhan jalannya hanya 0,01 persen, jadi tidak sebanding."

Dengan kondisi itu alhasil sekian ribu liter bahan bakar dan sekian miliar duit menguap di jalanan. Selain itu, macet juga menimbulkan gangguan kesehatan sekitar selangkangan.

Pertengahan Agustus lalu, di acara gathering media, dr Sigit Solichin, spesialis urologi Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta mengungkap analisis medis menggelitik. Menurutnya, mengendarai sepeda motor dalam waktu lama dapat menyebabkan infertilitas alias kemandulan pada pria.

“Panas, bensin, dan celana yang menempel ketat di kulit menjadi beberapa faktor yang dapat menyebabkan munculnya gangguan kesuburan,” katanya seperti dikutip Tempo.

Paparan panas akibat berkendara tersebut dapat menyebabkan penurunan jumlah serta perubahan sperma dalam jangka panjang. Sedangkan paparan terus-menerus selama kurang-lebih tiga bulan akan semakin meningkatkan risiko infertilitas.

Ancaman Disfungsi Ereksi Pria

Dampak berkendara dengan sepeda motor bukan itu saja. Mengendarai sepeda motor bisa mengalami disfungsi ereksi alias impotensi. Meski belum belum ada penelitian di Indonesia, survei di Nigeria, Jepang, dan Australia sudah membuktikannya.

Penelitian di Nigeria pada 2013 yang dipublikasikan Nigerian Journal of Family Practice menunjukkan ada keterkaitan erat antara berkendara dengan sepeda motor dan disfungsi ereksi. Dari 988 responden usia 10-31 tahun diketahui sebanyak 57,5 responden mengalami impotensi. Rinciannya, 18,5 persen impotensi ringan, 14,8 persen ringan-sedang, 13 persen sedang, 11,1 persen mengalami impotensi berat.

Di Jepang, pada 2008 silam juga pernah dilakukan survei serupa yang melibatkan 234 responden usia 20-60 tahun. Survei yang dipublikasikan dalam International Journal of Impotence Research itu menunjukkan sebanyak 46 persen responden pengendara sepeda motor mengaku memiliki masalah disfungsi ereksi setelah berkendara selama tiga jam dalam sepekan.

Sedangkan, khusus, pengendara dengan usia 50-59 tahun datanya mencengangkan: 93 persen mengalami disfungsi ereksi.

Para peneliti meyakini getaran dan cara duduk pengendara sepeda motor menyebabkan tekanan berlebihan pada daerah antara anus dan skrotum, yakni perineum. Hal ini memicu aliran darah dan saraf ke alat vital terganggu sehingga menyebabkan disfungsi ereksi baik dalam jangka sementara maupun berkepanjangan.

Gambaran sederhananya begini, ketika seseorang duduk di jok sepeda motor, berat badan akan bertumpu pada pantat. Hal ini menekan perineum, daerah antara anus dan organ genital. Perineum ini berisi saraf ke penis pada pria dan klitoris serta labia pada wanita. Duduk di jok memungkinkan terjadinya tekanan pada perineum itu hingga memampatkan saraf-saraf penting dan pembuluh darah. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya sensasi seksual pada wanita dan disfungsi ereksi pada pria.

Meskipun belum diketahui catatan statistik signifikan, para peneliti menyampaikan ada keterkaitan antara suplai darah ke alat vital dengan disfungsi ereksi. Suplai darah ini terkait dengan model jok sepeda motor pengendara. Dengan jok sepeda motor yang sempit dan keras tekanan darah berkurang sekitar 60 persen.

Sementara survei di Australia, 2008 silam, menunjukkan hasil kurang lebih sama. Dari 230 pengendara motor yang berkendara selama tiga jam setiap akhir pekan, ditemukan hampir 70 persen di antaranya mengalami masalah gangguan ereksi atau kencing.

Infografik Penyakit dari Kebiasaan Penis

Penyembuhan Disfungsi Ereksi

Kendati demikian, gangguan disfungsi ereksi itu bisa disembuhkan salah satunya dengan terapi. Ahli urolog dari Rumah Sakit Asri Dr. dr. Nur Rasyid, SpU, mengatakan penderita disfungsi ereksi masih memiliki harapan untuk bisa sembuh, bahkan tanpa menggunakan obat-obatan.

"Dengan teknologi terbaru menggunakan terapi gelombang kejut (shockwave)," katanya kepada Antara.

Menurutnya terapi Shockwave Therapy (LI-ESWT) terinspirasi dari gelombang pesawat berkecepatan supersonik saat menembus udara. Terapi tersebut juga sudah diterapkan pada batu ginjal dan membentuk pembuluh darah baru pada penderita penyakit jantung. Kini, terapi gelombang kejut sudah bisa diterapkan pada pasien disfungsi ereksi.

Cara kerja terapi, kata Rasyid, pada dasarnya dilakukan dengan penembakan yang menimbulkan shear stress guna menstimulasi terbentuknya sistem sel guna membentuk pembuluh darah baru. Pada kasus untuk kembali menstimulus ereksi, pembuluh darah harus direlaksasi agar darah menuju batang alat vital dapat mengalir lancar. "Lebih banyak pembuluh darah yang rileks maka ereksi lebih mudah dilakukan," tambahnya.

Rasyid mengatakan terapi itu diklaim efektif mengobati disfungsi ereksi tanpa menimbulkan rasa nyeri maupun efek samping.

Berapa biayanya? terapi ini dibandrol Rp30 juta untuk 12 sesi selama sembilan pekan. Pada pekan pertama dilakukan “penembakan” dua kali selama 20 menit. Pada pekan kedua jeda, dan dilanjutkan pada minggu ketiga.

"Kalau setelah sembuh pasien tidak lagi memperhatikan kondisi kesehatan dan jarang olah raga maka kemampuan ereksinya bisa berkurang lagi," tambahnya.

Pencegahan

Selain bisa diobati, disfungsi ereksi sebenarnya bisa dicegah. Menurut publikasi Harvard Health ada beberapa pencegahan yang sudah teruji secara ilmiah.

Penelitian di Harvard menyebutkan berjalan selama 30 menit dalam sehari bisa menurunkan 41 persen risiko disfungsi ereksi. Penelitian lain menunjukkan bahwa olahraga ringan dapat membantu memulihkan kinerja seksual di obesitas pria setengah baya yang mengalami disfungsi ereksi.

Makan dengan benar dan teratur juga bisa mengurangi risiko. Di Massachusetts Male Aging Study, seperti disebut Harvard Health, disebutkan bahwa makan buah, sayuran, biji-bijian, dan ikan bisa menurun kemungkinan gangguan ereksi.

Masih menurut Harvad Health, pemeriksaan kolesterol penting dilakukan. Dalam banyak kasus disfungsi ereksi terkait dengan rendahnya tingkat HDL (kolesterol baik).

Demikian pula dengan berat badan. Berat badan berpengaruh terhadap kemungkinan disfungsi ereksi. “Seorang pria dengan lingkar pinggang 106 cm memiliki kemungkinan 50 persen lebih mengalami disfungsi dari satu dengan pinggang 81 cm,” demikian sebut Harvad Health.

Menggerakkan otot pada panggul juga dapat mengurangi risiko gangguan ereksi. Selain sebagai upaya pencegahan latihan penguatan otot panggul bisa meningkatkan kekuatan ereksi.

“Berhenti merokok, menurunkan berat badan, membatasi alkohol, hasilnya jauh lebih baik daripada hanya saran pada perubahan gaya hidup,” demikian sebut Harvard Health.

Baca juga artikel terkait DISFUNGSI EREKSI atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Agung DH
Penulis: Agung DH
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti