tirto.id -
"Hari ini, nazar itu akan ditunaikan, tepat di depan Kantor Wali Kota Yogyakarta, sebagai wujud syukur dan doa penanda untuk tahap perjuangan selanjutnya," kata Dodok melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (4/6/2022).
Dodok menilai penangkapan Haryadi terlambat. Karena penggusuran telah berlangsung akibat pembangunan hotel dan apartemen. Tetapi, kasus itu menjadi cermin atas akuntabilitas seluruh proses perizinan hotel dan apartemen oleh Pemerintah Kota Yogyakarta di tahun-tahun sebelumnya.
"Pengungkapan kasus-kasus lain harus terus diupayakan," ucapnya.
Dia menyatakan kejadian ini akan menjadi pengingat kepada publik bahwa ada indikasi kuat kekuasaan korupsi di daerah Yogyakarta. Artinya, proses dan capaian pembangunan di Yogyakarta tidak selalu berada pada jalan dan cara yang benar.
Dodok berharap sebagai warga yang berdaya, upaya untuk mengawal kebijakan pembangunan dan penegakan hukum harus terus dilakukan.
"Kebenaran dan keadilan tidak bisa datang dengan sendirinya, melainkan harus terus diperjuangkan," pungkasnya.
Beberapa waktu lalu, Dodok Jogja juga pernah melakukan sejumlah aksi untuk mengkritisi Hotel yang ada di Yogyakarta. Dodok bersama warga kampung Miliran melakukan aksi mandi pasir pada Agustus 2014 sebagai bentuk protes atas asatnya air sumur warga akibat penyedotan air tanah oleh Fave Hotel Kusumanegara.
Pada Februari 2016, Dodok Jogja melakukan ritual mandi air kembang tujuh rupa dari tujuh sumur di depan Kompleks Balaikota Yogyakarta.
Lalu, pada Mei 2018, sejumlah mahasiswa melakukan ruwatan untuk bumi Yogyakarta, dengan menarikan Bedhaya Banyu neng Segara oleh para penari dari Pendapa SangArt.
Kemudian, pada Januari 2019, Dodok Jogja kembali melakukan ritual menyemburkan kencing ke papan nama Kantor Walikota Yogyakarta dengan maksud menolak aura jahat dan negatif yang terus melingkupi Yogyakarta.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Intan Umbari Prihatin