tirto.id - Peringatan Hari Sejarah 2019 yang diselenggarakan pada tanggal 4-6 Desember 2019 baru saja tiba di pengujung acara. Acara yang diselenggarakan di Aston Priority Simatupang Hotel & Conference Center, Jakarta Selatan, ini dihadiri sekitar 200 peserta dan 100 pemakalah yang terdiri dari dosen, guru, dan masyarakat pemerhati sejarah.
Capaian penting yang dihasilkan meliputi langkah-langkah yang harus diambil sejarawan menjawab tantangan di era Industri 4.0.
Menurut Sejarawan sekaligus peneliti LIPI, Asvi Warman Adam, partisipasi sejarawan publik di era digital semakin meningkat. Mereka ialah sejarawan atau pemerhati sejarah yang memiliki kesadaran mengedukasi masyarakat di hadapan publik, seperti muncul di muka forum, media cetak atau elektronik.
“Saya memakai istilah itu pertama kali untuk Pak Ong Hok Ham. Beliau rutin menulis di prisma. Anhar Gonggong dan Bonnie Triyana juga menurut saya sejarawan publik, Anhar kerap berbicara di TV dan Bonnie memiliki majalah tentang sejarah,” jelas Asvi.
Asvi dalam pemaparannya dalam pleno yang digelar pada Kamis (5/12/2019) lalu menjelaskah bahwa sejarawan publik berjasa dalam memudahkan masyarakat mencerna pandangan-pandangan sejarawan yang sebelumnya hanya dituturkan secara konvensional melalui buku atau karya ilmiah.
Menurut Bonnie Triyana, saat ini orang yang memiliki pemikiran historis lebih penting daripada sejarawan itu sendiri. Siapapun bisa menjadi seorang penutut sejarah asal mampu melihat fakta sejarah secara faktual dan memberikan konteks peristiwa yang holistik.
“Saya lebih suka memakai istilah sejarawan organik. Yang kita butuhkan adalah orang yang kritis dan memiliki kepedulian. Jangan sampai sejarah dijadikan alat politik kebencian dan politik identitas,” tutur Bonnie.
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Widia Primastika