tirto.id - Pada 1940 Belanda diserbu tentara Jerman. Lowongan milisi pun terbuka lebar bagi orang-orang Indonesia. Pendidikan calon perwira untuk KNIL, Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO), juga dibuka. Kala itu pemuda Rachmat Muljomiseno baru lulus lulus AMS bagian B, Yogyakarta. Rachmat pun masuk CORO sebentar, hingga pangkat yang tidak lebih dari sersan atau kopral.
Setelah Hindia Belanda tumbang, Rachmat kembali jadi orang sipil. Di zaman Jepang, dia ikut kursus di bekas De Algemene Volkskrediet Bank (AVB), yang sudah jadi Syomin Ginko, dari 1943 hingga 1944. Ia akhirnya bekerja di Bogor dan Purworejo.
Dunia ekonomi di kemudian hari adalah dunianya, ketimbang dunia militer. Setelah Indonesia merdeka, Rachmat berdiri di belakang Republik Indonesia. Namanya tercatat sebagai Wakil Kepala Militaire Combat di badan intel Kementerian Pertahanan Bagian B pada 1946 dengan pangkat kapten .
Di masa Revolusi, Rachmat ikut serta dalam Banking Trading Corporation (BTC) yang terkait dengan Sumitro Djojohadikusumo. Buku Apa & siapa sejumlah orang Indonesia (1981: 406) menyebut dirinya terlibat dalam penyelundupan vanili dan bahan perak ke Filipina.
Setelah lewat masa Revolusi, Rachmat bergelut di dunia perbankan lagi. Ia pernah menjadi Direktur Bank Negara Indonesia dan pernah juga menjabat Menteri Perdagangan dan Menteri Keuangan (ad interim).
Benteng yang Gagal
"Berbisnis dalam arti berdagang atau usaha komersial secara dagang mencari untung, itu pantangan nenek moyang,” kata Sujamto dalam Refleksi Budaya Jawa: dalam Pemerintahan dan Pembangunan (1992: 148).
Pantangan itu membuat suku paling mayoritas Indonesia ini cenderung tak tertarik berdagang. Karena itu tidak heran bahwa di Pulau Jawa perdagangan banyak dikuasai orang-orang Tionghoa. Kebanyakan pribumi hanya bisa jadi tani atau kuli selama ratusan tahun.
Pada 1950-an, seperti juga di zaman kolonial, orang-orang Tionghoa banyak bergerak di bidang perdagangan, bahkan dianggap menguasai perdagangan hingga ke desa-desa. Demi melindungi pengusaha pribumi, pemerintah pernah mengadakan Program Benteng.
Lewat program tersebut pengusaha pribumi diberi fasilitas perizinan dan modal usaha. Program itu tentu bermaksud melahirkan lebih banyak pengusaha pribumi. Hasilnya memble, bahkan program gagal ini dihentikan Perdana Menteri Djuanda pada 1957. Sebelum program ini dihentikan, sentimen anti-Tionghoa sudah muncul.
Dalam Kongres Importir Nasional Seluruh Indonesia di Surabaya pada 19 Maret 1956, mantan Pejabat Presiden Republik Indonesia, Assaat Datuk Mudo, berpidato dengan keras. Katanya, “Orang-orang Tionghoa sebagai satu golongan yang eksklusif menolak masuknya orang-orang lain, terutama dalam bidang ekonomi. Mereka begitu eksklusif sehingga dalam praktiknya bersikap monopolistis.”
Apa yang diucapkan Assaat punya dampak besar. Robert Edward Elson dalam The Idea of Indonesia (2009) menyebut, akibat dari pidato Assaat, “suasana hati masyarakat jadi cenderung menyalahkan para pengusaha Tionghoa-Indonesia, yang dipandang menguasai modal dan kredit Indonesia” (hlm. 264).
Golongan yang dicap tak pernah ikut revolusi kemerdekaan dan eksklusif ini dianggap sebagai biang kerok buruknya situasi ekonomi nasional waktu itu. Pidato Assaat adalah awal dari gerakan anti-Tionghoa yang kemudian disebut Gerakan Assaat.
"Assaat ini menuntut pembedaan perlakuan dan pemberian fasilitas kepada para pengusaha 'asli' dan 'pribumi'," tulis Benny Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008: 769).
PP yang Rasialis
Ketika itu, orang yang menjabat menteri perdagangan adalah Rachmat Muljomiseno. Di masanya, keluarlah Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 2933/M tanggal 14 Mei 1959. Surat ini diawali dengan kalimat "Bertalian dengan usaha untuk mempercepat proses pemberian kedudukan yang layak kepada para pengusaha Nasional dalam segenap lapangan perdagangan."
Inti aturan itu adalah batas akhir waktu berdagang bagi orang-orang asing (terutama Tionghoa) hanya sampai tanggal 31 Desember 1959.
Rachmat sangat sebentar jadi Menteri Perdagangan, tapi namanya lah yang tercitra sebagai menteri perdagangan anti-Tionghoa. Pada masanya pula PP nomor 10 tahun 1959 dikeluarkan. Konon dia yang mengusulkan hingga akhirnya ditandatangani Presiden Sukarno. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1959 berisi pelarangan bagi orang asing untuk berdagang eceran di luar kota kabupaten.
“Akibatnya, semua pedagang berkewarga-negaraan asing yang beroperasi di desa mesti boyong ke kota. Suka atau tidak suka, begitulah bunyi peraturan. Tak peduli yang namanya Sin Bun Liong atau Muhammad Alhabsji atau Mukarjee,” tulis Junus Jahja dalam Garis Rasial Garis Usang (1983: 35).
Orang-orang Tionghoa yang malang itu akhirnya dapat pembelaan dari sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Partai Komunis Indonesia (PKI) bahkan menjadi partai yang menolak PP yang rasialis itu. Bagi partai-partai lain dan banyak orang, melarang orang asing berdagang di Indonesia bukan sesuatu yang rasialis.
Dalam bukunya yang pernah dilarang di zaman Orde Lama, Hoa-Kiau di Indonesia (1960), Pram dengan keras menulis: “Kalau seorang Assaat dengan terang-terangan berteori tentang diskriminasi ekonomi & perdagangan dengan melontarkan istilah warganegara “asli" dan ”tidak asli" (mungkin, atau secara antropologis sudah pasti, Assaat adalah keturunan Keling), kita masih agak bisa menenggang, karena waktu itu ia hanyalah seorang petualang ekonomi yang sedang menjaring duit” (hlm. 55).
Menurut Elson, "[Assaat] memang mencoba membatasi peran orang Tonghoa dalam dunia bisnis." Belakangan pembatasan peran orang asing dalam perdagangan itu, tambah Elson, “tak memberi manfaat apapun kepada negara dan malah mendorong kecenderungan inflasi, sementara orang-orang Tionghoa-Indonesia dijadikan warga negara kelas dua.”
Kondisi perekonomian pada 1960-an makin kacau dan diperparah oleh inflasi yang tinggi. Padahal sudah tidak ada pedagang Tionghoa (yang dicap buruk) di desa-desa, karena PP nomor 10 memaksa mereka di kota.
Rachmat Muljomiseno, seperti dicatat Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (2012: 138), termasuk tokoh yang direkrut Nahdlatul Ulama pada 1950-an. Di masa Demokrasi Terpimpin, Rachmat harus melihat kenyataan ekonomi Indonesia tidak lebih baik ketimbang di tahun 1940-an.
Setelah Sukarno lengser, Rachmat adalah politikus NU. Kata harian Angkatan Bersendjata (25/7/1967), Rachmat termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) pada awal Orde Baru itu. Dalam Pemilu 1971, dia terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mewakili Partai NU, yang kemudian berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Meski zaman sudah berubah, fokus Rachmat Muljomiseno tetap sama: soal pengusaha pribumi. “Suatu kebijaksanaan yang tepat yang sudah tentu akan disambut gembira oleh segenap pribumi,” kata Rachmat seperti dikutip Antara (29/1/1974), ketika ditanya wartawan soal prioritas investasi kepada pengusaha pribumi.
Waktu itu Rachmat jadi Ketua Komisi VIII Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Perdagangan. Menurut Rachmat, banyak pengusaha pribumi yang kurang yakin atas sikap aparat birokrat negara bidang perbankan terhadap pengusaha pribumi. Untuk itu, Rachmat meminta agar aparat negara punya kesadaran dengan membantu pengusaha-pengusaha pribumi.
Editor: Ivan Aulia Ahsan