tirto.id - Hari Perjanjian Roem Royen (Roem Roijen) diperingati pada setiap tanggal 7 Mei. Alasan peringatan hari ini didasarkan pada peristiwa ditandatanganinya perjanjian Roem Royen pada 74 tahun silam, atau tepatnya pada 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta.
Perundingan Roem Royen digelar pada 17 April sampai dengan 7 Mei 1949. Dalam perundingan ini, delegasi Indonesia diketuai oleh Mr. Mohammad Roem. Sementara delegasi Belanda diketuai J.H van Roijen.
Berdasarkan nama dari ketua delegasi dari kedua pihak, Indonesia dan Belanda. Perundingan ini kemudian, disebut dengan nama Roem Royen.
Pada perundingan ini, PBB membentuk United Commission for Indonesia (UNCI) untuk mengawasi proses perundingan. Pihak UNCI diwakili oleh Marle Cochran.
Sejarah dan Alasan Terjadinya Perjanjian Roem Royen
Perundingan Roem Royen adalah usaha dari Indonesia untuk mempertahankan kedaulatannya. Setelah memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia masih belum aman.
Pasukan Sekutu yang tergabung dalam Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) pimpinan Sir Phliip Christisson datang ke Indonesia tak seberapa lama setelah kemerdekaan.
Salah satu tujuannya yaitu melucuti senjata tentara Jepang serta menegakkan dan mempertahankan keadaan damai yang kemudian akan diserahkan pada pemerintahan sipil.
Namun pasukan Sekutu ternyata diboncengi oleh Belanda yang menggunakan nama NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Belanda sebenarnya ingin kembali menguasai Indonesia yang dulu lama mereka duduki sebelum Perang Dunia Kedua melawan Jepang. Belanda bahkan melakukan agresi militer kepada Indonesia demi mewujudkan keinginannya.
Kemudian, terjadilah berbagai momen heroik bangsa Indonesia yang bertekad mempertahankan kemerdekaan, termasuk rangkaian perjanjian atau perundingan yang beberapa kali dilanggar oleh Belanda.
Dunia internasional dan PBB mengecam keras aksi Belanda, dan mendesak Belanda untuk mengadakan genjatan segera melakukan genjatan senjata. Serta, mendesak agar tawanan politik Indonesia segera dibebaskan.
Isi Perundingan Roem Royen
Dewan Keamanan PBB mendesak Belanda agar dilakukan perundingan kembali. Maka,digelarlah Perundingan Roem-Royen pada 14 April 1949 hingga 7 Mei 1949.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mohamad Roem, sementara delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. van Roijen (Royen). Perundingan dilakukan di Hotel Des Indes, Jakarta, atas prakarsa UNCI (United Nations Commission for Indonesia).
Selain Mohammad Roem, para tokoh delegasi Indonesia antara lain: Supomo, Ali Sastroamidjojo, Johannes Leimena, A.K. Pringgodigdo, dan Johannes Latuharhary. Hadir pula Mohammad Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Sedangkan delegasi Belanda terdiri dari J.H. van Roijen, Blom, Jacob, dr. Van, dr. Gede, Dr. P. J. Koets, van Hoogstratendan, dan Dr. Gieben.
Sementara UNCI dipimpin oleh Merle Cochran dari Amerika Serikat, dibantu Critchley dari Australia dan Harremans dari Belgia.
Seperti dikutip dari buku Sejarah untuk Kelas XII SMA dan MA Program IPS oleh Rini Mardikaningsih dan R.Sumaryanto, isi dari perundingan Roem Royen berupa penyampaian pernyataan dari Indonesia dan Belanda, yang dibacakan oleh masing-masing ketua delegasi.
Kemudian, dari dua pernyataan tersebut, dibentuk kesepakatan berupa perjanjian Roem Royen yang yang ditandatangani pada 7 Mei 1949.
1. Pernyataan Indonesia pada Perundingan Roem Royen
- Pemerintah RI akan mengeluarkan perintah penghentian perang gerilya.
- Pemerintah RI akan turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KBM) untuk mempercepat penyerahan kedaulatan kepada negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan tanpa syarat.
- Pemerintah RI akan bekerja sama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
- Belanda menyetujui kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta.
- Belanda menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan pembebasan semua tahanan politik.
- Belanda tidak akan mendirikan atau mengakui negara- negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh RI sebelum 19 Desember 1948.
- Belanda setuju Republik Indonesia akan menjadi bagian dari RIS.
- KMB akan diadakan secepatnya sesudah pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.
Dari dua usulan tersebut akhirnya diperoleh kesepakatan yang ditandatangani tanggal 7 Mei 1949. Berikut isi kesepakatan tersebut.
- Pemerintah RI dan Belanda sepakat untuk menghentikan tembak-menembak dan bekerja sama untuk menciptakan keamanan.
- Pemerintah Belanda akan segera mengembalikan pemerintah Indonesia ke Yogyakarta.
- Kedua belah pihak sepakat untuk menyelenggarakan KMB di Den Haag, Belanda.
Oleh karena itu, Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia Jenderal Soedirman menyerukan kepada semua kesatuan TNI, para gerilyawan, dan para pejabat pemerintah agar tetap berhati-hati dan waspada terhadap segala kemungkinan serangan Belanda.
Perkiraan TNI ternyata benar karena pasukan Belanda yang ditarik dari Yogyakarta ternyata dipindahkan ke Surakarta untuk menekan tentara republik.
Menghadapi tindakan Belanda tersebut, Komandan Brigade V, Letkol Slamet Rijadi memerintahkan penyerangan terhadap objek-objek vital di Kota Surakarta. Perlawanan gerilya tetap berjalan tanpa terpengaruh adanya hasil perundingan.
Editor: Yantina Debora