Menuju konten utama

Hari Film Nasional 30 Maret & Film Pertama Loetoeng Kasaroeng

Tahukah Anda film pertama yang diproduksi Indonesia? Film tersebut adalah film Loetoeng Kasaroeng yang diproduksi pada tahun 1926

Hari Film Nasional 30 Maret & Film Pertama Loetoeng Kasaroeng
Pengunjung mengamati pameran sejarah perfilman nasional di Gedung Kemendikbud, Jakarta, Sabtu (30/3/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/wsj.

tirto.id - Tepat 70 tahun Indonesia merayakan Hari Film Nasional. Sejak 1950, hari film nasional diperingati setiap tahunnya pada tanggal 30 Maret. Hal ini untuk mengenang perilisan film Darah dan Doa atau juga disebut dengan Long March of Siliwangi, sebuah film nasionalis karya Usmar Ismail.

Namun, kancah perfilman Indonesia telah dimulai sejak masa kolonialisme Belanda yang ditandai dengan berdirinya bioskop pertama, di daerah Tanah Abang, Batavia, pada 5 Desember 1990. Pada era itu, bioskop tersebut baru menampilkan berbagai film bisu atau silent movie.

Tahukah Anda film pertama yang diproduksi Indonesia? Film tersebut adalah film Loetoeng Kasaroeng yang diproduksi pada tahun 1926. Film tersebut merupakan film bisu yang disutradarai oleh sutradara asal Belanda, G. Kruger dan L. Heuveldorp, saat Indonesia masih jajahan Kerajaan Belanda.

Sementara, pembuatan film tersebut melibatkan aktor lokal yang dinaungi perusahaan film JAWA NV di Bandung. Loetoeng Kasaroeng dirilis untuk masyarakat luas pada tanggal 31 Desember 1926, dan diputar untuk pertama kalinya di teater Elite and Majestic, Bandung.

Dua tahun kemudian, sekitar tahun 1928, para pekerja film dari Shanghai datang ke Indonesia untuk produksi film Lily van Shanghai. Meski Loetoeng Kasaroeng dan Lily van Shanghai banyak melibatkan aktor lokal, akan tetapi kedua film pertama Indonesia tersebut lebih merepresentasikan dominasi Belanda dan Cina.

Saat Jepang merebut kekuasaan Belanda, produksi film Indonesia masih terus berjalan. Sementara, Jepang memanfaatkan hal ini sebagai alat propaganda politiknya. Hal ini disebabkan oleh izin produksi yang tidak dikeluarkan oleh Jepang sehingga bioskop hanya memutarkan film propaganda Jepang dan film Indonesa yang sudah ada sebelumnya.

Sepanjang masa kekuasaan Jepang di Indonesia tersebut, dapat dikatakan sebagai era surutnya produksi film nasional. Di tahun 1942, perusahaan film Jepang di Indonesia Nippon Eigha Sha, hanya memproduksi tiga buah film yaitu Pulo Inten, Bunga Semboja, dan 1001 Malam.

Hingga kemudian, setelah kemerdekaan dan pemerintahan stabil, industri perfilman Indonesia kembali dengan dirilisnya film Darah dan Doa pada tahun 1950 tersebut. Darah dan Doa menjadi film yang disutradarai oleh orang Indonesia asli dan sangat bercirikan Indonesia.

Produksi film tersebut dinaungi oleh Perfini, Perusahaan Film Nasional Indonesia di mana sang sutradara Usmar Ismail menjadi salah satu pendirinya. Inilah sebabnya, hari film nasional dirayakan pada 30 Maret setiap tahunnya.

Darah dan Doa menceritakan perjalanan panjang atau long march prajurit Indonesia dan keluarganya dari Yogyakarta menuju pangkalan utama mereka di Jawa Barat yang dipimpin oleh Kapten Sudarto. Kapten Sudarto sendiri menjadi tokoh utama dalam film ini yang diperankan oleh Del Juzar.

Perjalanan mereka dimulai setelah Yogyakarta diserang dan diduduki oleh Kerajaan Belanda lewat aksi polisionil.

Kapten Sudarto diceritakan bukan hanya sebagai pemimpin tapi juga digambarkan sebagai seorang manusia yang dapat berbuat kesalahan. Di dalam perjalanannya, ia bertemu dengan seorang pengungsi wanita berdarah Indo-Belanda. Kapten Sudarto pun menaruh hati padanya walaupun ia telah beristri.

Meski terdapat bumbu romansa, tapi film ini sukses menggambarkan ideologi yang dimiliki orang-orang Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan tanah air. Oleh karena itu, Darah dan Doa dianggap film pertama yang menggambarkan ciri khas Indonesia dan dinilai sebagai titik bangkitnya perfilman tanah air.

Baca juga artikel terkait HARI FILM NASIONAL atau tulisan lainnya dari Dinda Silviana Dewi

tirto.id - Film
Kontributor: Dinda Silviana Dewi
Penulis: Dinda Silviana Dewi
Editor: Yulaika Ramadhani