Menuju konten utama

Harga Nikel Anjlok, Pemodal Cina Pertimbangkan Hengkang dari RI

Harga pasar yang anjlok dan tekanan kebijakan dari AS membuat investor smelter nikel Indonesia perlahan undur diri.

Harga Nikel Anjlok, Pemodal Cina Pertimbangkan Hengkang dari RI
Foto udara aktivitas bongkar muat nikel di areal pabrik smelter milik PT Antam di Kecamatan Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara, Sabtu (17/12/2022). ANTARA FOTO/Jojon/hp..

tirto.id - Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana menuturkan, tekanan anjloknya harga nikel yang bertepatan dengan kelebihan pasokan dari Indonesia sudah dirasakan oleh pemilik-pemilik smelter di Indonesia, yang mana hampir seluruhnya dikuasai pemodal Cina.

Menurut dia, investasi industri nikel dari Tiongkok kini sudah banyak menunjukkan perlambatan. Dalam catatan terbaru, banyak pemodal di Tanah Air yang hengkang. Bulan lalu, Hanrui Cobalt membatalkan pembangunan proyek HPAL nikel berkapasitas 60.000 ton di Morowali.

“Huayou Cobalt juga telah dikabarkan ingin membatalkan proyek nikel dengan kapasitas produksi 120.000 ton per tahun di Morowali yang tadinya telah direncanakan untuk beroperasi di tahun 2025,” ucap Andri kepada Tirto, Jumat (19/1/2024).

Teranyar, Tsingshan, pemilik komplek smelter di Morowali, juga ingin menjual asetnya ke Baowu, salah satu perusahaan pelat merah Cina di kisaran 4 miliar dolar AS.

Andri menuturkan, puncak harga metal nikel melambung tinggi disebabkan oleh prospek kendaraan listrik, terutama pada 2022. “Kita menjadi sangat percaya diri dan banyak mendengungkan narasi Indonesia akan menguasai rantai nilai industri dari produksi baterai listrik,” ucap dia.

Alih-alih merajai rantai pasok baterai listrik, harga nikel dan cobalt yang tinggi membuat banyak industri mendorong perkembangan baterai kendaraan listrik yang tidak membutuhkan nikel atau pun cobalt yang juga dipandang bermasalah dari sisi lingkungan.

“Terbukti sekarang baterai LFP yang tidak membutuhkan nikel kini menjadi baterai yang paling cepat berkembang dan digunakan untuk kendaraan listrik,” ucap Andri.

“Pada akhirnya, ini justru membuat pengembangan industri mineral dalam negeri menjadi tertahan,” tambah dia.

Kemudian, Andri juga menyoroti, yang membuat prospek nikel Indonesia semakin terpukul lantaran adanya kebijakan FEOC (Foreign Entity of Concern) yang diumumkan pemerintah AS bulan lalu, membuat nikel Indonesia tidak pantas untuk mendapatkan kredit pajak di negara tersebut.

“Dengan adanya kebijakan ini, seluruh kendaraan listrik tidak boleh mengandung critical mineral yang diproses oleh perusahaan yang setidaknya 25 persen dikuasai oleh negara-negara FEOC, termasuk China,” ujar dia.

Kebijakan ini membuat hampir seluruh nikel yang diproses oleh smelter di Indonesia termasuk dalam pelarangan tersebut karena hampir seluruh smelter nikel di Indonesia mayoritas sahamnya dikuasai China.

“Dasar-dasar seperti inilah yang membuat kita ke depannya harus lebih berhati-hati dalam mengistimewakan hilirisasi nikel dengan segala percepatannya. Karena dengan kondisi pasar yang membaik sekalipun, nikel kita memiliki kerawanan tidak diterima di pasar dunia,” ucap Andri.

Sebagai informasi, Indonesia menyandang posisi sebagai negara dengan cadangan dan tingkat produksi nikel terbesar di dunia. Tercatat pada tahun 2022, Ibu Pertiwi menguasai 51% dari total produksi nikel global.

Dengan potensi yang sedemikian besar, wajar saja jika hilirisasi nikel menjadi prioritas pemerintahan Jokowi. Terlebih lagi devisa negara yang diperoleh juga meningkat signifikan.

Saat nikel diekspor dalam bentuk bijih atau bahan mentah, nilai yang diperoleh negara hanya sekitar Rp17 triliun. Namun, setelah dilakukan hilirisasi dan industrialisasi terhadap produk nikel tersebut, nilainya melonjak menjadi Rp510 triliun sehingga secara otomatis juga meningkatkan pendapatan negara melalui pajak.

Baca juga artikel terkait FLASH NEWS atau tulisan lainnya dari Faesal Mubarok

tirto.id - Flash news
Reporter: Faesal Mubarok
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Dwi Ayuningtyas