Menuju konten utama

Harga Minyak Jatuh Tidak Serta Merta Menguntungkan Indonesia

Penurunan minyak mentah dunia membuat penerimaan negara ikut tergerus dan berpotensi memperlebar defisit APBN.

Harga Minyak Jatuh Tidak Serta Merta Menguntungkan Indonesia
ilustrasi foto shutterstock

tirto.id - Jatuhnya harga minyak mentah dunia tak serta merta membawa keuntungan bagi Indonesia selaku negara importir. Bahkan, bagi pengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), harga minyak murah justru bisa membawa mudarat yang lebih besar.

Kepala Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas (SKK Migas) Dwi Soejipto mencatat, penerimaan negara di sektor migas bisa anjlok dari 14,46 miliar dolar AS menjadi 6,7 miliar dolar AS.

Situasi itu terjadi jika harga rata-rata 1 tahun minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) jatuh di angka 38 dolar AS per bareljauh di bawah target 63 dolar AS per barel yang dipatok dalam asumsi makro APBN 2020.

Artinya, pendapatan negara dari sektor tersebut turun Rp116,4 triliun, dari target semula Rp216,9 triliun menjadi Rp100,5 triliun (kurs Rp15 ribu/dolar AS).

Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan bahkan jauh-jauh hari mewaspadai dampak jatuhnya harga minyak dunia terhadap pelebaran defisit APBN. Apalagi, pemerintah telah mematok asumsi defisit sebesar 5,07 persen setelah menambah belanja Rp405,1 triliun untuk penanggulangan COVID-19.

Jika penerimaan sektor migas tergerus, bukan tak mungkin defisit APBN akan melebihi prakiraan tersebut.

“Jika harga terus mengalami penurunan sehingga Indonesia Crude Price (ICP) menjadi 30,9 dolar AS per barel (rata-rata setahun), maka defisit diperkirakan bertambah Rp12,2 triliun,” ucap Kepala Bagian Informasi dan Komunikasi Publik Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Endang Larasati, Kamis pekan lalu (23/4/2020).

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap memperjelas bagaimana pergerakan harga minyak beberapa waktu terakhir akan memukul penerimaan. Ia menjelaskan kalau penerimaan pajak maupun PNBP migas sangat berkorelasi dengan naik-turunnya harga minyak dunia.

Ketika harga minyak mencapai 145 dolar AS per barel pada 2008, misalnya, PPh migas bisa menyumbang 11 persen dari total penerimaan perpajakan. Sebaliknya, saat harga minyak mentah di kisaran 60 dolar AS per barel di tahun lalu, sumbangsih PPh migas terhadap penerimaan perpajakan hanya mencapai ke 4,6 persen.

“Terlihat sekali dampak pada penerimaan. Jika harga turun, penerimaan akan turun,” ucap Manap saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (29/4/2020).

Dampak penurunan harga minyak juga dapat merembet ke komoditas lain seperti batu bara, kata peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet. Imbasnya, nilai ekspor Indonesia yang didominasi oleh hasil sumber daya alam akan menurun dan ikut membebani neraca perdagangan.

Jika impor ternyata lebih besar ketimbang ekspor, maka defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) makin melebar dan membuat rupiah terpukul.

“Demikian juga harga Surat Berharga Negara (SBN) bisa turun dan berdampak pada kenaikan yield (imbal hasil). Artinya ongkos pembiayaan atau utang pada APBN bisa lebih mahal,” ucap Yusuf, Selasa (10/3/2020).

Lantas, apakah harga minyak mentah dunia bakal mengalami penguatan?

Mengutip Bloomberg, hingga Rabu (29/4/2020) pukul 22.48 WIB, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak Juni berada di posisi 16,16 dolar AS per barel atau menguat 30,96 persen. Di hari sebelumnya, harga minyak patokan AS itu ditutup melemah 3 persen karena penuhnya kilang penyimpanan.

Adapun harga minyak jenis Brent kembali berada di 22,90 dolar AS per barel minyak atau menguat 11,93 persen. Pada penutupan perdagangan Selasa (18/4/2020), Brent naik 2,3 persen ke posisi 20,46 per barel, setelah turun 6,8 persen sehari sebelumnya.

Baca juga artikel terkait HARGA MINYAK DUNIA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana