tirto.id - Peneliti Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi memperkirakan anjloknya harga minyak dunia di kisaran 30 dolar AS per barel bersifat jangka pendek.
Menurut mantan anggota tim reformasi tata kelola migas ini, kondisi ini juga tak akan berdampak signifikan pada investasi hulu minyak dan gas (Migas) yang memiliki rentang waktu lebih panjang yaitu hingga 10-20 tahun.
“Fluktuasi harga migas adalah short term matter paling 3 bulan. Jadi tidak berpengaruh secara signifikan. Kalau ada pengaruh, paling mengurangi margin (keuntungan) investor yang sudah ada dalam 3 bulan,” ujar Fahmy saat dihubungi reporter Tirto, Rabu malam (11/3/2020).
Kendati demikian, menurut Fahmy pemerintah tetap perlu melakukan berbagai upaya untuk menjaga investasi migas tetap menarik. Pasalnya tren investasi di sektor migas engah mengalami penurunan.
Selama tahun 2019 kemari misalnya investasi yang masuk hanya 12,5 miliar dolar AS lebih rendah dari capaian 2018 di kisaran 12,6 miliar dolar AS sekaligus capaian tahun 2016 di angka 12,7 miliar dolar AS.
Belum lagi, dampak penurunan harga minyak baru-baru memperburuk ketidakpastian yang sudah ditimbulkan virus Corona atau Covid-19 sehingga juga diyakini memengaruhi kepercayaan diri investor.
Dampaknya sudah terasa pada sejumlah keluarnya modal asing yang masuk ke Indonesia atau capital outflow.
“Untuk tetap menjaga investasi sektor hulu di tengah penurunan harga minyak dunia, pemerintah harus memberikan tambahan insentif, kemudahan pengurusan perizinan dan pembebasan lahan,” ucap Fahmy.
Di luar itu, ia menilai pemerintah bisa mengambil sejumlah manfaat dari turunnya harga minyak dunia. Ia bilang situasi ini merupakan kesempatan bagi Pertamina untuk menekan harga BBM, subsidi dan nonsubsidi.
“Sehingga menaikkan daya beli masyarakat, yang dapat menaikkan konsumsi yang dapat berkontribusi terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi,” tandas Fahmy.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana