tirto.id - Sekumpulan raja minyak kembali menggemparkan dunia. Mereka tiba-tiba sepakat memangkas produksi minyak harian mulai bulan depan. Rencananya, kebijakan tersebut akan berlaku hingga akhir tahun.
Sejumlah negara menjadi aktor di balik keputusan mengejutkan OPEC, Organization of the Petroleum Exporting Countries, pada Minggu (2/4/2023) lalu. Organisasi ini awalnya dibentuk oleh lima negara pada 14 September 1960 silam sebagai wujud pemberontakan terhadap kesewenang-wenangan Barat di bidang perminyakan.
Ketika harga anjlok pada 2016, OPEC bergabung dengan produsen minyak lainnya dan membentuk OPEC+. Mereka kini terdiri atas 23 negara, termasuk Rusia, dan mengusai 40% dari total produksi minyak mentah dunia.
Arab Saudi, punggawa utama organisasi tersebut, memangkas produksi minyak hariannya sebanyak 5% atau setara 500 ribu barel. Negara ini merupakan satu di antara raja minyak dunia yang mampu menghasilkan 11,5 juta barel per hari pada 2022 lalu.
Pengurangan dalam skala lebih kecil juga diterapkan Irak, Uni Emirat Arab, Kuwait, Oman, Algeria dan Kazakhstan. Gabungan ketujuhnya menghasilkan penurunan produksi sebanyak 1,16 juta barel per hari.
Pada saat yang sama, Rusia juga memperpanjang pengurangan 500 ribu barel per hari. Sehingga menurut perhitungan Reuters, total penurunan produksi OPEC+ dan sekutu mencapai 3,66 juta barel per hari atau setara dengan 3,7% dari permintaan minyak global.
Secara kuantitas, pengurangan produksi minyak oleh OPEC+ kali ini memang tidak sebanyak November 2022 yang jumlah mencapai 2 juta barel per hari. Akan tetapi situasinya sekarang berbeda. Pembatasan supply – pasokan – minyak terjadi di tengah demand – permintaan – global yang justru meningkat.
Badan administrasi energi AS (EIA) memprediksi konsumsi bahan bakar cair meningkat dari 99,4 juta barel per hari pada 2022 menjadi 100,9 juta barel per hari pada 2023.
Sedangkan menurut perkiraan International Energy Agency (IEA), permintaan minyak global akan bertambah 1,9 juta barel per hari sehingga totalnya tembus 101,7 juta barel per hari pada tahun ini.
Di samping faktor pasar, kebijakan OPEC+ juga diterapkan saat musim panas, di mana konsumsi bahan bakar cederung meningkat sehingga mendongkrak permintaan.
Oleh sebab itu, Reuters menyampaikan banyak analis yakin manuver yang dipimpin Arab Saudi dan Rusia kali ini bakal lebih horor.
Merujuk reportrase Bloomberg, menariknya, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden terkesan tak gentar. Ia yakin dampak pengurangan produksi tersebut tidak seburuk yang dibayangkan. Namun pihak lain di Gedung Putih justru menyampaikan penolakan karena aksi tersebut dianggap kurang bijak.
“Menurut kami, pengurangan produksi tidak disarankan saat ini, mengingat ketidakpastian pasar, dan kami telah menunjukkan sikap yang jelas,” ujar Juru Bicara Gedung Putih John Kirby, mengutip ABC.
Harga Minyak Dunia Berpeluang Pecah Rekor Lagi
Sehari setelah pengumuman, harga minyak global langsung melonjak signifikan. Brent crude oil dipatok seharga USD84,9 per barel atau naik 6,3% pada Senin (3/4/2023), kemudian merangkak lagi ke USD85,3 per barel pada Selasa (4/4/2023). Selain Brent, kenaikan juga dialami harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI).
Ini baru permulaan. Pakar energi asal Ninepoint Partners Eric Nuttall meramalkan harga minyak bakal melampaui USD100 per barel pada akhir 2023 mendatang. Jika begitu, nilainya kembali sama seperti pertengahan 2022 lalu.
Pemotongan produksi mendorong harga komoditas tersebut lebih tinggi dari yang diantisipasi pelaku pasar.
Ramalan Eric tak jauh berbeda dengan perkiraan Goldman Sachs, bank investasi asal Amerika Serikat (AS). Dalam laporan terbaru, mereka menaikkan perkiraan harga Brent crude oil sebanyak US$5 menjadi US$95 per barel pada Desember 2023.
Harga tersebut diyakini terus melonjak hingga mencapai US$100 per barel pada tahun berikutnya.
Cepat atau lambat, perubahan harga minyak berpotensi menimbulkan masalah serius bagi negara-negara yang bergantung pada impor, termasuk Indonesia.
Pada 2022 lalu, Kementerian ESDM mencatat produksi dalam negeri hanya mampu menghasilkan 612 ribu barel minyak per hari, sekitar 87% dari target yang ditetapkan sebanyak 703 ribu barel per hari.
Sedangkan pada 2021, kebutuhannya mencapai 1,4 juta barel per hari, naik 4,9% dibanding 2020. Tingkat konsumsi diperkirakan tak jauh berbeda pada tahun ini.
Kekurangan itu mendorong Pemerintah RI menempuh jalur impor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total impor minyak mencapai 40,9 juta ton pada 2022. Nilainya berkisar USD35,5 miliar atau setara Rp530 triliun (kurs Rp14.943 per USD).
Impor tahun lalu terdiri atas 15,3 juta ton minyak mentah senilai USD11,4 miliar dan 25,7 juta ton minyak olahan – Bahan Bakar Mineral (BBM) – senilai US$24,1 miliar.
Secara keseluruhan, volume impor bertambah 5,2 juta ton atau naik 12,8% dibanding 2021.
Khusus BBM, Singapura menjadi importir terbesar. Sedangkan untuk minyak mentah, kita mengandalkan Arab Saudi dan beberapa anggota OPEC+ lainnya.
Indonesia sudah mengalami sendiri rasanya tergelincir oleh harga minyak dunia. Setelah tembus USD110 per barel pada pertengahan 2022, Pemerintah RI akhirnya menyerah dan menempuh cara unpopular, yakni mengalihkan subsidi BBM.
Harga Pertalite yang semula Rp7.650 per liter naik menjadi Rp10.000 per liter. Begitu pun dengan Solar, sebelumnya Rp5.150 per liter jadi Rp6.800 per liter. Meski menuai protes dan penolakan, pemerintah tetap teguh pada keputusan.
"Ini adalah pilihan terakhir pemerintah," kata Presiden RI Joko Widodo saat konferensi pers di Istana Merdeka Jakarta, Sabtu (3/9/2022).
Penyesuaian harga BBM subsidi tak pelak memengaruhi indeks harga konsumen dan menjadi tekanan inflasi, meski dampaknya tidak begitu buruk sebulan selang penetapan. Berbagai harga barang kebutuhan pokok terpantau naik.
BPS mencatat inflasi 1,17% secara bulanan (month to month/mtm) pada September 2022. Pergerakan selanjutnya bahkan di luar perkiraan, Indonesia justru mengalami deflasi 0,11% (mtm) pada Oktober 2022. Inflasi baru terjadi lagi pada November 2022, yakni 0,09% (mtm).
Gejolak tersebut terjadi saat OPEC+ mulai memotong produksi minyak mentah sebanyak 2 juta barel per hari. Pada penghujung tahun, angkanya menjadi 0,66% (mtm). Dengan demikian, Indonesia menutup 2022 dengan inflasi sebesar 5,51% secara tahunan (year on year/yoy), jauh melampaui proyeksi pemerintah.
Tahun ini, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menetapkan kuota BBM Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT) berdasar mengacu Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014. Untuk minyak tanah, kuotanya dipatok sebanyak 0,5 juta kiloliter. Sedangkan Solar sebanyak 17 juta kiloliter dan Pertalite 32,56 juta kilo liter.
Pada Maret 2023, Indonesia mengalami inflasi 0,18% (mtm), sedikit lebih tinggi dibanding inflasi bulan sebelumnya, yakni 0,16% (mtm). Secara tahunan, inflasi tercatat 4,97% (yoy), lebih rendah dibanding Februari 2023 yang mencapai 5,47% (yoy). Bank Indonesia menilai fluktuasi masih dalam batas kewajaran alias terkendali.
Sebulan sebelum keputusan mengejutkan OPEC+, Indonesian Crude Price (ICP) atau rata-rata harga minyak mentah Indonesia anjlok menjadi USD74,59 per barel pada Maret 2023. Harganya turun sekitar US$4,89 per barel dibanding Februari 2023 yang dipatok US$79,48 per barel.
Penetapan ICP Maret 2023 tercantum dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 131.K/MG.03/DJM/2023 tentang Harga Minyak Mentah Indonesia Bulan Maret 2023 tanggal 3 April 2023.
Lalu bagaimana nasib kita selanjutnya? Akankah kenaikan harga BBM berdalih pengalihan subsidi kembali menjadi solusinya? Mari kita tunggu.
Editor: Dwi Ayuningtyas