tirto.id - Direktur Eksekutif Insitute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menilai pemerintah perlu melakukan penyesuaian harga BBM untuk periode Juni-Juli 2019 mendatang. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi potensi kenaikan harga minyak dunia akibat pencabutan keringanan sanksi AS bagi negara pengimpor minyak Iran.
Fabby mengatakan dengan perkiraan terhambatnya 1,5-2 juta barel ekspor minyak Iran, maka harga minyak dunia diperkirakan naik pada angka 80 dolar AS per barel dari sebelumnya 70 dolar AS per barel. Bila hal ini benar terjadi, maka Pertamina, katanya, akan mengalami kenaikan biaya pengadaan BBM sebanyak 5 persen dari periode saat ini.
“Kalau harga minyak naik sampai 80 dolar AS per barel sampai bulan Mei nanti, akan terasa beban kenaikannya pada biaya produksi BBM Juni-Juli nanti,” ucap Fabby saat dihubungi reporter Tirto pada Jumat (26/4/2019).
“Tinggal keputusan pemerintah apakah akan melakukan penyesuaian harga BBM atau tidak,” tambah Fabby.
Fabby mengatakan kenaikan harga BBM ini dapat dilakukan pada peninjauan harga yang akan dilakukan pada periode berikutnya. Ia pun meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kenaikan harga ini walaupun memiliki konsekuensi politis.
Namun, bagi BBM non subsidi, ia menuturkan sudah sepatutnya harga jenis bahan bakar itu naik dengan sendirinya mengikuti mekanisme pasar.
“Kalau harga minyak rata-ratanya 80 dolar AS per barel, ada potensi kenaikan biaya pengadaan 5 persen. Harga retail harus disesuaikan walaupun itu keputusan politik pemerintah,” ucap Fabby.
“Kalau BBM non subsidi harusnya bisa naik otomatis ya. Paling gak bisa diantisipasi kenaikannya sebanyak 3-5 persen,” tambah Fabby.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri