tirto.id - Arab Saudi dan Uni Emirat Arab adalah dua negara di Timur Tengah yang menjadi tujuan para pekerja migran termasuk asal Indonesia. Alasannya sederhana: tak ada pungutan pajak dan memiliki sistem yang memudahkan para buruh migran untuk bekerja di wilayah ini.
Proporsi pekerja asing di dua negara ini sangat tinggi: 51 persen di Saudi dan 45 persen di UEA. Negara-negara ini sangat bergantung kepada buruh migran. Pemerintah pun dituntut untuk mendongkrak pendapatan negara, salah satunya melalui pajak.
Kebijakan bebas pajak ini mulai dihapus pemerintah dengan memberlakukan pajak pertambahan nilai (PPN) per 1 Januari 2018 lalu. Jumlahnya sebesar 5 persen. Meski besaran pajak ini tergolong kecil dibandingkan Eropa yang mencapai 20 persen dan di Indonesia sebesar 10 persen, hal ini telah menimbulkan kekhawatiran bagi para pekerja.
Kekhawatiran itu, menurut Elda Ngombe (23), seorang yang sedang mencari pekerjaan di Dubai, karena pada dasarnya biaya hidup di Dubai sudah mahal. Ketika ada penambahan pajak, tentunya harga akan melambung tinggi.
PPN ini tak mungkin dihindari sebab dikenakan pada sejumlah kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, barang elektronik, bensin, tagihan air, listrik, telepon dan hotel. Di sektor pendidikan, para orang tua harus membayar biaya tambahan untuk seragam, buku, biaya bus sekolah dan makan siang.
Namun demikian, ada beberapa jenis jasa yang tidak dikenakan pajak, seperti perawatan kesehatan, layanan keuangan, dan transportasi publik. Pemerintah juga tidak menarik pajak penghasilan.
Menurut pemerintah, langkah ini guna mendongkrak pendapatan negara dari sektor non-minyak. Pasalnya di Arab Saudi, lebih dari 90 persen penerimaan negara berasal dari minyak. Sementara itu, di UEA mencapai 80 persen.
Kebijakan ini juga menjadi rekomendasi IMF agar negara yang mengandalkan minyak harus mulai menarik pajak sebagai salah satu alternatif pendapatan negara karena harga minyak kian merosot dalam beberapa tahun terakhir.
Dari kebijakan penarikan pajak ini, UEA memperkirakan penerimaan dari PPN akan mencapai sekitar 12 miliar dirham atau setara dengan $3,3 miliar dalam tahun pertama penerapannya. Jumlah ini hampir 1 persen dari GDP UEA.
Riwayat Penerapan Pajak di Arab Saudi dan UEA
Program pajak ini bukan yang pertama kali diberlakukan Arab Saudi. Paul Mears dari American University of the Emirates pernah menulis soal pajak di Arab Saudi dan UEA dalam tulisannya bertajuk “United Arab Emirats 2018 VAT Tax: The Effects on Expats in Country.”
Menurut Mears, negara Teluk itu pernah menarik pajak penghasilan pada tahun 1955. Namun kebijakan itu direvisi setelah berjalan selama enam bulan. Hasilnya, warga negara Saudi dikeluarkan dari daftar pajak penghasilan. Hanya buruh migran atau pekerja asing yang ditarik pajak penghasilan.
Namun dalam kurung waktu dua dekade atau tepatnya pada 1975, pemerintah Saudi pun mencabut kebijakan penarikan pajak penghasilan dari warga asing setelah industri minyak Saudi berkembang pesat. Penghapusan pajak penghasilan itu bertujuan agar para pekerja asing tertarik bekerja di negara tersebut.
Pajak ini kemudian diperkenalkan pada tahun 1988 oleh pemerintah Saudi guna mengakomodasi penurunan pendapatan minyak dan meminimalisir masalah pengangguran dalam negeri. Harapannya, dengan pemberlakuan pajak, para pekerja asing akan meninggalkan Saudi.
Namun, kebijakan ini ternyata berdampak pada kinerja di sektor perbankan dan kesehatan yang ternyata sangat bergantung pada pekerja asing. Beberapa pihak termasuk pebisnis menentang penerapan kebijakan perpajakan ini. Hanya dalam hitungan hari, pemerintah Saudi menarik kebijakannya.
Pada awal 1990, penerapan PPN dan pajak perusahaan kembali di terapkan. Namun di hapus lagi demi menarik investasi asing termasuk para pekerja profesional dari luar negeri. Kini Saudi dan UEA kembali menggaungkan soal pajak pertambahan nilai.
Menurut Paul, akan ada berbagai dampak dari penerapan ini, sama seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Salah satu meningkatnya harga barang dan jasa. Di sisi lain belum tentu para perusahaan akan menyesuaikan gaji para karyawan.
Tagar “Gaji tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kami” pun trending. Menurut layanan BBC Monitoring yang dikutip Financial Times, dalam kurun waktu 10 jam sekitar 110.000 cuitan dengan tagar tersebut memenuhi media sosial Twitter.
Di Arab Saudi, penerapan pajak tanpa jaminan penyesuaian pendapatan bagi karyawan serta kebijakan pengurangan berbagai subsidi sosial akan menjadi tantangan besar bagi pekerja lokal.
Jane Kinninmont, seorang peneliti senior di Chatham House di London, mengatakan bahwa efek penerapan pajak akan mempengaruhi keseluruhan sektor.
"PPN mentransfer uang dari konsumen ke pemerintah, sehingga akan membantu meningkatkan pendapatan non-pajak pemerintah, namun mungkin juga mengurangi konsumsi masyarakat," katanya.
Yang tak kalah terkena dampak besar adalah para pekerja asing di sektor non-formal. Sekitar 65 persen pekerja asing di UEA berasal dari India, Bangladesh dan Pakistan yang notabene sebagian besar bekerja pada sektor non-formal. Tentunya tujuan mereka ke negara ini adalah untuk mencari penghasilan lebih karena tak ada pajak. Kehadiran pajak hanya akan menambah biaya kebutuhan.
Ribuan warga Indonesia pun banyak yang memilih Arad Saudi sebagai tempat untuk mengadu nasib akibat minimnya lapangan kerja di dalam negeri. Mereka yang bekerja di sektor non-formal pun tak punya pilihan untuk tetap bekerja di negara tersebut dibandingkan kembali ke negara asal.
Hal ini kian berat bagi para buruh migran karena para pekerja asing memiliki kebiasaan untuk mengirim penghasilannya ke negara asal, demikian menurut Abdelbagi Edrees dalam tulisannya “The Impact of Foreign Workers, Outflow Remittances on Economic Growth in Selected GCC Countries: ARDL Approach”.
Remitasi di Arab Saudi mencapai $36,9 miliar pada tahun 2014 sedangkan di UAE mencapai $19,2 miliar. Dengan adanya pajak, kebutuhan meningkat, membagi penghasilan dengan keluarga di negara asal, akan membuat buruh migran harus berjuang hidup dengan penghasilan yang ada.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Windu Jusuf