tirto.id - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah mendorong presiden terpilih untuk membenahi kinerja Satgas Pangan.
Sebabnya, nilai margin perdagangan dan logistik beras (MPLB) justru semakin meningkat usai Satgas Pangan dibentuk pada 2017.
MPLB menjadi ukuran yang turut menentukan sumbangsih harga beras di pasaran yang diterima konsumen di luar harga yang diterima petani.
Pada persoalan ini, kata dia, kenaikan MPLB menyebabkan semakin melambungnya harga beras di atas harga eceran tertinggi (HET) di sejumlah wilayah.
Misalnya, kata dia, selama 2018 hanya Provinsi Nusa Tenggara Barat yang harga berasnya per kilogram di bawah HET atau terdapat selisih Rp183,3.
"Margin yang dinikmati para pedagang naik pada 2017 menjadi 26,12 persen. Padahal sebelumnya paling 10 persenan pada 2014-2016," ucap Rusli dalam konferensi pers bertajuk ‘Tawaran Indef untuk Agenda Strategis Pangan, Energi, dan Infrastruktur’ di ITS Tower, Jakarta, Kamis (14/2).
"Daerah Jawa dan luar Jawa selisihnya masih tinggi antara harga rata-rata beras dan HET. Mana peran Satgas Pangan," tambah Rusli.
Rusli juga menjelaskan, kenaikan MPLB menjadi semakin tidak wajar sebab pada 2017 nilai korelasi antara Nilai Tukar Petani (NTP) dan harga beras semakin kecil.
Hal itu, lanjut dia, membuat harga beras yang terus naik tidak berkoeralasi membuat petani sejahtera.
Dari rata-rata nilai korelasi 0,92-0,94 pada 2015-2016, angka itu turun menjadi 0,84 pada 2017 dan 0,47 di 2018. Padahal, kata dia, tren harga beras terus mengalami peningkatan seiring tahun.
Rusli pun mendesak agar pemerintah mengoptimalkan peran Satgas Pangan. Hal ini menurutnya membuka indikasi, harga beras dipengaruhi oleh institusi lain yang tidak seharusnya terlibat dalam penentuannya.
"Ini MPLB 26 persen rada terlalu tinggi. Harus diturunkan ke 10 persenan seperti 4 tahun sebelumnya. Satgas Pangan perlu dioptimasi agar bisa mengurangi disparitas harga," ucap Rusli.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Zakki Amali