Menuju konten utama

Hanafi, Cerita & Lukisan yang Tak Biasa

Hanafi adalah salah satu pelukis masyhur di Indonesia. Ia sempat menjadi pedagang kartu lebaran. 

Hanafi, Cerita & Lukisan yang Tak Biasa
Pelukis Hanafi. FOTO/studiohanafi.com/

tirto.id - Setelah tujuh tahun lebih menyelesaikan studi Filsafat di Universitas Gadjah Mada (UGM), suatu hari, penyair Kertas Basah (2020) Dea Anugrah bertemu Yusi Avianto Pareanom, A.S. Laksana, dan Hanafi.

“Sarjana,” kata Paman Yusi, mengarahkan jempolnya ke arah Dea. “Sarjana,” kata Yusi lagi, kali ini kepada dirinya sendiri. “Mboten,” pungkas penulis Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi (2016) itu, menunjuk A.S. Laksana.

Sulak, panggilan akrab sang cerpenis, memang tidak lulus dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM. Menanggapi guyonan Yusi, teman sekolahnya yang kemudian menjadi Sarjana Teknik Geodesi, Sulak cengar-cengir saja sambil menudingkan jempolnya ke arah Hanafi. “Mboten, ning paling sugih.” Bukan sarjana, tapi paling kaya.

Hanafi, pelukis mapan yang karyanya kerap disebut dengan istilah abstraksi liris (lyrical abstraction), memang tak menyandang titel akademik apa pun. Ia sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI), Yogyakarta, tapi pada akhir masa studi, tahun keempat, sosok kelahiran Purworejo, 5 Juli 1960, ini malah ogah-ogahan ikut ujian.

“Teman-teman bilang, kamu pasti lulus, kok. Lha, kalaupun sudah pasti lulus saya belum tentu dapat pekerjaan seperti sekarang,” kata Hanafi, mengenang saat-saat ia baru punya pekerjaan tetap sebagai steward di President Hotel—sekarang Hotel Pullman, Thamrin, Jakarta Pusat.

Jauh sebelum dikenal sebagai pelukis abstrak yang punya karakter dan identitas sendiri, Hanafi, Top 10 Philip Morris Art Award 1997, memang mengambil jalan yang tak lazim sebagai pelukis. Alih-alih bertungkus lumus dalam studio lalu masuk-keluar berbagai galeri dan melangsungkan pameran—atau seperti kebanyakan temannya: membangun karir via jalur pendidikan—Hanafi malah mengenalkan “karyanya” di pinggiran Kali Pasar Baru, Jakarta Pusat. Tak betah jadi pelayan hotel, akhir 80-an, ia banting profesi menjadi pedagang kartu lebaran. Dan laris.

“Kalau tukang kartu yang lain sekadar bikin huruf-huruf bagus, saya menambahkan sketsa abstrak dan puisi,” ujar Hanafi, saat saya menyambangi bapak satu anak ini di Studio Hanafi, Depok, Sabtu (25/7).

Selain kartu lebaran, Hanafi juga menerima jasa pembuatan tulisan bagus dan gambar untuk dibubuhkan di sertifikat, kartu ulangtahun, bahkan suvenir. Suatu ketika, ia mendapat pesanan membuat sertifikat. Hingga hari yang ditentukan, si pemesan tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Berbekal alamat yang tertera di sertifikat itu: kawasan Pasar Rumput, Jakarta Selatan; Hanafi pun menyambangi kantor MSA Cargo.

Setelah penerima menyatakan terimakasihnya lantaran pesanan penting itu diantarkan, Hanafi diminta datang lagi keesokan harinya buat diberi imbalan. Hanya, tak sekadar imbalan, kali ini ia juga ditawari pekerjaan.

Hanafi yang tengah menikmati hidup “menggelandang” di Jakarta—tak punya tempat tinggal tetap, kerap menumpang di rumah sesama tukang kartu, dan baru pulang ke Yogya jika kondisi keuangannya benar-benar seret—menerima tawaran itu setengah hati. Untunglah Monang Sianipar, bosnya, mafhum.

“Rambut boleh gondrong,” ujar Hanafi, diiringi tawa, “Di laci juga selalu tersedia vodka,” sambungnya.

Di MSA Cargo, karyawan nyentrik ini bertugas sebagai desainer. Saat menerima gaji pertama, yang bagi Hanafi jumlahnya sangat besar, ia bertanya kepada atasannya. “Pak, benar segini?’ Alih-alih mengiyakan, yang ditanya malah memberi jawaban menggentarkan. “Oh kurang, ya? Nanti saya tambah lagi.”

Nasib mujur sang pelukis tak berhenti di situ. Ia juga diminta mengerjakan proyek-proyek Matari Advertising, perusahaan periklanan ternama di Indonesia, dengan status sebagai pekerja lepas. “Kerja Sabtu-Minggu,” terang Hanafi, “gajinya tiga kali lipat dari yang saya dapat di perusahaan kargo.”

Tapi, semakin mudah uang didapat, makin keras juga panggilannya menjadi pelukis. Sepulang kerja, Hanafi melukis di rumah kontrakannya, dan tak jarang bangun kesiangan.

“Pak, sepertinya saya mulai kurang ajar. Saya mulai senang melukis lagi,” kata lelaki beralis tebal ini, saat menyampaikan pengunduran diri.

Nubuat Seorang Bapak

Kira-kira saat berumur 7 tahun, menjelang tidur, di rumah bilik orangtuanya di Purworejo, Hanafi samar-samar mendengar ayahnya berkata kepada seorang tamu bahwa anaknya yang nomor tiga ini bakal menjadi seorang pelukis. Sebabnya, “Bikin garis di papan tulis, lurus, padahal panjangnya lebih dari satu meter,” kenang Hanafi, menirukan pujian bapaknya.

Ajaibnya, Hanafi Muhammad sama sekali tidak tahu bahwa ia pernah membuat garis di papan tulis. Kalaupun ayahnya, guru ngaji, punya ingatan akan peristiwa itu—entah kapan dan di mana—Hanafi justru sebaliknya. Ia bahkan tak punya gambaran seperti apa pelukis itu dan bagaimana pula pekerjaannya. “Tahunya hanya tukang gambar saja.”

Meski demikian, seiring waktu, Hanafi menganggap pernyataan sang ayah itu sebagai doa, sekaligus sugesti bagi karirnya di kemudian hari. “Kalaupun peristiwa itu tidak nyata, saya tidak mau mengecewakan bapak. Saya harus membuktikan ucapannya.”

Kelak, saat melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta, penengah dari lima bersaudara ini memang berbeda dari teman-temannya. Ia bisa bikin garis demikian lurus ketika teman-teman sekelasnya di SSRI Yogyakarta—kini SMKN 3 Bantul—melakukan hal yang sama dengan bantuan penggaris.

Di sekolah, Hanafi bukan anak yang rajin. Waktunya buat belajar sering kali berbenturan dengan waktu ia cari uang tambahan untuk beli cat, kuas, kanvas, dan lain-lain. Bahkan sebelum hijrah ke Jakarta, ia sempat jadi tukang plitur di toko mebel. “Justru di situ saya dapat ilmu yang gak didapat di sekolahan.”

Pantas saja—saya membatin—selain bakat, faktor kepengrajinan dalam diri suami Adinda Luthvianti ini kuat sekali. Ia tampak piawai menggunakan banyak perkakas pertukangan kala berhadapan dengan karya lukis maupun patung dan instalasinya.

“Hanafi adalah seorang seniman yang cenderung terbuka, kalau bukan bebas, dalam bekerja. Sejumlah pengamat telah mengulas karya-karyanya sebagai manifestasi dari ‘keriangan dan kebebasan’ dalam mencipta,” tulis Agung Hujatnikajennong, dalam esai kuratorial pameran Pintu Belakang |Derau Jawa (PDF, 2016).

Agung, pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB), menambahkan, dalam pameran tunggal Of Spaces and Shadows (2009), Hanafi bisa dengan sangat santai menyandingkan lukisan-lukisan abstraknya—yang sebagian besar dihasilkan dari prinsip mengaburkan atau menyembunyikan bentuk-bentuk representasional—dengan instalasi atau patung yang justru nampak ‘realistik’ dan figuratif.

Hal demikian tampak betul pada, salah satunya, Oksigen Jawa (2015), pameran Hanafi yang saya datangi pertama kali. Kala itu, Agung menerangkan, bila sebelumnya karya Hanafi cenderung dianggap abstrak, pada pameran yang digelar di Galeri Sumarja, ITB, itu ia justru menghadirkan objek-objek yang bersifat konkrit, misalnya mesin jahit peninggalan sang ibu.

Ditanya apakah ada pameran tunggalnya yang paling memuaskan atau mengecewakan, pelukis dengan rambut terikat ini menggelengkan kepala. Tapi sebagai seniman, Hanafi terkesan tak pernah merasa puas dengan capaiannya dari hari ke hari. Ia gemar mencari dan bereksplorasi.

Pernyataan demikian menemukan relevansinya jika kita mengunjungi pameran Hanafi yang paling baru, 60 Tahun Dalam Studio (Galeri Kertas, Depok, 5 Juli-5 Agustus 2020). Selain lukisan abstrak, signature-nya, Hanafi juga menampilkan lukisan-lukisannya yang figuratif—termasuk potret besar Vincent Van Gogh seukuran 2,2 x 3,4 meter pada dinding galeri.

Namun, bukan potret itu benar yang bagi saya mencengangkan—saya pernah melihat Hanafi mengerjakan lukisan-lukisan figuratif, termasuk satu seri lukisan bertema anjing untuk proyek kolaborasi dengan Irma Lengkong Mikkonen, penulis catatan perjalanan Bobo: The Travelling Hound (2019). Yang membuat saya terheran-heran: Hanafi, yang biasa memamerkan lukisan dalam kanvas-kanvas besar, kini justru menampilkan karyanya di atas potongan kertas samson berukuran 21 x 28 cm.

“Saya ingin melatih syaraf motorik halus,” katanya, seraya menggerak-gerakkan jemari. Hanafi menjelaskan, saat melukis dalam kanvas besar—dengan sapuan lebar dari kuas maupun roll—yang banyak bergerak adalah bahu.

Meski medianya cuma kertas, aksen lirik dan metaforik dalam karya-karya anyar Hanafi tetap kentara. Pada lukisan berjudul Physical Distancing, misal, sang pelukis menghadirkan objek jam. Hanya, angka demi angka di dalamnya diletakkan berjauhan—tidak presisi seperti halnya jam yang kita kenal selama ini. Demikian pula pada Belajar Bekerja Berjauhan. Hanafi menghadirkan objek berupa sikat cuci, tapi dengan 17 jumput bulu berdiri sendiri-sendiri, terpisah dari kayu yang mengalasinya.

Sepintas lalu, bulu-bulu sikat yang tegak di tempat terpisah-pisah itu malah terlihat seperti nisan. Spektrum luas yang dihadirkan Hanafi, sekalipun bidangnya kertas belaka, berhasil menimbulkan kesan mencekam (atau kesunyian yang menekan), paling tidak dalam pengalaman saya pribadi.

“Di masa karantina ini, di tengah keterbatasan pada perkakas seperti kanvas, dan kemungkinan berkarya yang masih bisa dilakukan di atas kertas bermedium kecil, kita menemukan bahwa kepengrajinan Hanafi terhadap garis adalah salah satu capaian-capaian terbaiknya,” tulis Kurator Galeri Kertas, Heru Joni Putra, dalam catatan kuratorialnya.

Selain Pandemi Covid-19, tema lain yang mengemuka di antara 65 karya yang ditampilkan Hanafi kali ini adalah Hoax. Dibuat selama menjalani Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tampak betul bahwa pada lukisan-lukisan tersebut Hanafi sebagai seniman sekaligus individu berupaya menautkan pengalaman dan renungannya yang sangat personal dengan nasib umat manusia (atau sebaliknya: pengalaman bersama warga dunia, yang muram, sangat berpengaruh terhadap cara Hanafi mengartikulasikan renungan dan perasaannya). Yang jelas, sependek amatan saya, hal semacam itu jarang ditemukan pada karya-karya Hanafi sebelumnya.

“Yang dia ‘bicarakan’ ialah batin ‘dirinya sendiri’, dengan sederhana. Kualitas karyanya betul-betul di luar ‘penjelasan’. Amat sedikit yang dapat dibahas dari karyanya—kecuali kesadaran bahwa kekuatan ‘intuisi’ yang luar biasa berada di pengujung kuasnya,” tulis Jean Couteau, dalam catatan pameran The Maritime Spice Road (New York, 2017).

Infografik Hanafi

Infografik Hanafi. tirto.id/Quita

Pengalaman-Pengalaman Puitik

Dalam banyak kesempatan, Hanafi kerap mengatakan bahwa aktivitasnya melukis tidak dimulai saat berhadapan dengan kanvas. Baginya, peristiwa sehari-hari, juga hal-hal yang ia temukan dari ingatan dan pengalamannya sendiri, adalah bagian integral dari prosesnya melukis dan berkesenian.

Saya bertanya, adakah hal-hal mencengangkan dalam hidupnya, mengingat lukisan-lukisannya sendiri kerap membuat orang tercengang-cengang. “Hanafi jago betul kalau sudah gambar tembok,” celetuk Goenawan Mohamad, saat menyaksikan persiapan Hanafi menggelar pameran kolaborasi 57 x 76 (2018).

Hanafi tak mengiyakan, ia hanya menuturkan bahwa identitas dan cara pandanganya sebagai orang kampung tak bisa dia lepaskan, termasuk saat ini, saat ketika salah satu lukisannya, "Pukul 12 Siang Hari", telah menjadi koleksi negara.

Ketika masih bekerja di MSA Cargo, ibu dan keluarga Hanafi sengaja datang ke Jakarta untuk membuktikan dengan kepala sendiri bahwa anak yang digadang-gadang bapaknya bakal menjadi pelukis ini memang sudah punya kerja. Setibanya di kantor yang berkarpet dan ber-AC—ruangan Hanafi ada di lantai tiga—tamu dari Purworejo ini malah menanggalkan alas kaki, lazimnya orang masuk surau.

Sontak orang-orang geger menyaksikan sandal diparkir depan pintu. Ketika mereka menyarankan Hanafi agar ibu dan keluarganya memakai sandal lagi, alih-alih malu, si anak malah melarangnya. “Biarkan saja, toh nyamannya begitu. Itu penghargaan bahwa ibu saya menganggap gedung ini tempat mulia.”

Circa 1998, saat menggelar LOS, pameran bersama Agus Suwage dkk di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM), Hanafi mematok harga lukisannya asal-asalan: 18 juta rupiah. Untuk diketahui, kala itu, lukisan Agus Suwage saja harganya masih di kisaran 2,5 juta.

“Saya pasang harga mahal agar orang tidak beli lukisan itu. Saya sendiri belum melihatnya. Lukisan itu baru jadi pukul tiga pagi, lalu diambil panitia ketika saya masih tidur,” beber Hanafi. Tak dinyana, kawan John McGlynn dari Amerika malah membelinya.

Dea Anugrah punya satu frasa untuk menggambarkan sosok Hanafi. “Orang baik”. Saking baiknya Hanafi, suatu ketika saat ia tengah anteng-antengnya cuci mobil, seorang pemuda tak dikenal lewat depan studionya mendorong motor. Tanpa diminta, Hanafi sontak membantu pemuda itu melewati tanjakan—rumah dan studio Hanafi memang berada di gigir tanjakan. Setibanya di jalan rata, si pemuda segera menyalakan motor, kemudian melesat.

Tak lama berselang, orang-orang kampung datang menanyakan pemuda tadi. Kepada Hanafi, mereka bilang: “Dia maling motor, Mas.”

Sementara Adinda Luthvianti bercerita, jauh sebelum menikah dengan Hanafi, ia lebih dulu jatuh cinta kepada lukisan-lukisannya. Adapun mengenai pernikahan mereka, hal itu beririsan dengan celetukan sekaligus ramalan Dinda. “Ketika ketemu Mas Hanafi, aku sudah punya pacar, pacarku teman Mas Hanafi juga. Dia suka menginap di tempat Mas Hanafi kalau main ke Jakarta.”

Sebab itu, adalah masuk akal jika suatu malam Dinda menanyakan keberadaan pacarnya ke Hanafi lewat sambungan telepon. “Dia (Hanafi) tanya, sudah berapa lama pacaran. 7 tahun. ‘Tidak kawin-kawin? Kawin saja sama aku’,” kata Dinda menirukan guyonan Hanafi.

Guyon itu dianggap guyon belaka hingga, ketika suatu saat Hanafi main ke Bandung, Dinda, kala itu sudah putus dengan pacarnya, seakan-akan menemukan jawaban atas celetukan-celetukan yang kerap ia lontarkan kepada teman-temannya.

“Mas Hanafi tiba-tiba ngajak solat; sementara aku pernah sesumbar bahwa suamiku adalah laki-laki yang berani mengimami aku solat,” kata Dinda, terkekeh.

Terkait cerita-cerita di atas, Hanafi punya celetukan. “Kalau pengalamannya saja seperti itu, aneh-aneh, masak lukisannya biasa-biasa saja,” ujarnya sambil tertawa.

Baca juga artikel terkait SENI LUKIS atau tulisan lainnya dari Zulkifli Songyanan

tirto.id - Humaniora
Penulis: Zulkifli Songyanan
Editor: Nuran Wibisono