tirto.id - Belum lama ini TripAdvisor menempatkan Pulau Bali sebagai destinasi wisata paling disukai oleh turis di seluruh dunia. Bali memang sudah tersohor dengan keindahan alam, budaya, dan kegiatan masyarakat yang menarik dan menjadi atraksi wisata. Salah satu kegiatan masyarakat yang menarik wisatawan adalah upacara keagamaan Hindu Bali.
Mayoritas masyarakat di Bali memeluk agama Hindu dengan jumlah 3,25 juta jiwa atau 83,46 persen dari populasi penduduk Bali. Hal yang menarik dari masyarakat Hindu Bali adalah keberagaman ritual dan upacara keagamaan yang melekat dalam keseharian mereka. Ritual keagamaan di Bali dilakukan secara pribadi hingga upacara yang melibatkan skala luas. Pelbagai upacara yang beragam ini punya konsekuensi bagi pengeluaran keuangan masyarakat Bali.
Secara umum, masyarakat Bali mengeluarkan uang lebih banyak untuk pos pengeluaran bukan makanan dibandingkan pengeluaran untuk kebutuhan makanan. Pada 2015, proporsi pengeluaran bukan makanan sebesar 59,7 persen dari total pengeluaran atau setara dengan Rp623 ribu per kapita per bulan. Sedangkan, pengeluaran makanan hanya Rp421 ribu atau 40,3 persen dari total pengeluaran.
Pengeluaran untuk sewa atau kontrak rumah menepati proporsi terbesar pada pengeluaran bukan makanan per bulannya bagi masyarakat Bali. Pada 2015, proporsi sewa rumah ini sekitar 20 persen dari total pengeluaran masyarakat Bali per bulan. Sedangkan, pengeluaran pesta dan upacara menempati posisi ke-4 terbesar dari pengeluaran bukan makanan per bulan bagi masyarakat Bali.
Sejak 2010 hingga 2015, rata-rata konsumsi per bulan per kapita untuk upacara dan pesta sebesar 8,96 persen dari total konsumsi barang non makanan. Pada 2015, proporsi pengeluarannya sebesar 7,49 persen dari total pengeluaran kelompok non makanan atau setara dengan 4,47 persen dari total konsumsi. Nilai konsumsi upacara dan pesta pada 2015 sebesar Rp46.678 per bulan per kapita.
Pada 2012, proporsi pengeluaran untuk upacara dan pesta mencapai 13,86 persen terhadap pengeluaran non makanan. Tingginya nilai konsumsi ini dipengaruhi oleh inflasi, khususnya di Kota Denpasar, yang merupakan cerminan keadaan inflasi di Bali, yang meningkat dari 3,75 persen pada 2011 menjadi 4,71 persen pada 2012.
Bila dibandingkan antara masyarakat kota dan desa, sejak 2013, proporsi pengeluaran upacara dan pesta per setiap bulan terhadap konsumsi non makanan lebih besar pada masyarakat perdesaan dibandingkan perkotaan. Pada 2012, proporsi pengeluaran upacara dan pesta masyarakat perkotaan sebesar 14,93 persen dari konsumsi non makanan dan menurun hingga mencapai 7,4 persen pada 2013 dan 7,23 persen pada 2015.
Sedangkan, pada masyarakat desa, proporsinya sebesar 10,66 persen pada 2012 dan meningkat menjadi 12,47 persen pada 2013. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan adat dan budaya masyarakat perkotaan semakin melemah sedangkan pada masyarakat desa masih kuat. Namun, adanya tren yang menurun untuk pengeluaran pesta dan upacara pada masyarakat desa maupun kota juga menjadi indikasi bahwa secara umum ikatan adat dan budaya masyarakat Bali mulai melonggar.
Cukup besarnya proporsi upacara dan pesta terhadap konsumsi masyarakat berdampak pada tingkat kemiskinan di Bali. Sejak September 2015, upacara agama atau adat lainnya menempati posisi ke-2 teratas komoditi non makanan penyumbang terbesar garis kemiskinan. Pada September 2015, upacara dan adat menyumbang 4,64 persen terhadap garis kemiskinan masyarakat perkotaan di Bali. Sedangkan bagi masyarakat desa, upacara agama dan adat lainnya menyumbang 3,84 persen pada periode yang sama. Persentasenya semakin menurun, tetapi masih berada dalam jajaran atas penyumbang garis kemiskinan.
Penulis: Dinda Purnamasari
Editor: Suhendra