Menuju konten utama

Hambali Sang Dalang Bom Bali Akan Pulang ke Malaysia

Dulu Amerika Serikat, Indonesia, dan Malaysia sepakat Hambali—disebut sebagai dalang Bom Bali—harus ditahan di penjara AS. Namun kini AS seolah mendorong Hambali untuk dipulangkan ke Malaysia. Indonesia perlu waspada.

Hambali Sang Dalang Bom Bali Akan Pulang ke Malaysia
Encep Nurjaman alias Hambali, pelaku bom malam Natal pada 2000 dan bom Bali pada 2002. FOTO/Doc.Istimewa

tirto.id - Agustus lalu, Encep Nurjaman alias Hambali yang dijuluki Osama bin Laden dari Asia Tenggara untuk kali pertama muncul di hadapan publik setelah hampir 10 tahun mendekam di penjara Guantanamo, Kuba. Waktu itu ia diadili di pengadilan AS dengan dakwaan terlibat Al Qaida juga dalam posisinya sebagai pemimpin kelompok Islam garis keras Jamaah Islamiyah yang berbasis di Asia Tenggara.

Hambali ditangkap pada 2003 di Thailand. Kala itu, Hambali adalah buronan nomor satu di Asia Tenggara. Ia dituding sebagai otak utama di balik serangkaian serangan teror di Asia Tenggara, khususnya bom Bali jilid I yang menewaskan 202 orang pada 2002.

Setelah ditangkap, status Hambali yang merupakan pejabat kelas kakap Al Qaeda membuatnya diterbangkan ke penjara ekstra-ketat di Guatanamo pada 2006. Hampir 10 tahun Hambali seperti ditelan bumi, dan akhirnya dia dimunculkan dalam panel persidangan militer AS pada 18 Agustus 2016.

Otoritas setempat memperbolehkan para jurnalis melihat persidangan ini via satelit. Hambali memakai kacamata dan berjanggut panjang. Dia terlihat sehat bugar. Selama persidangan tertutup yang berlangsung selama 10 menit, dia tidak menunjukkan ekspresi apa-apa dan lebih banyak diam.

Kemunculan Hambali tidak lepas dari upaya Presiden Barack Obama untuk menutup Guantanamo. Penjara Guantanamo adalah salah satu dosa George W.Bush yang pada akhirnya tetap tidak bisa dihapus oleh Obama. Ia mampu menarik pasukan AS dari Irak dan mengurangi pasukan di Afghanistan, namun penghapusan Guantanamo menjadi janji yang tak terpenuhi hingga sekarang.

Tekanan besar untuk menutup Guantanamo mengarah pada Obama sebelum dia mengakhiri masa jabatannya. Soalnya bukan cuma isu hak asasi manusia. Biaya operasional penjara ini tahun lalu mencapai $445 juta. Jumlah personel militer yang ditempatkan pun lebih banyak ketimbang narapidana yang ditahan.

Meski begitu, usaha keras Obama sudah dibuktikan lewat pembentukan lembaga Periodic Review Board (PRB). Badan ini bertugas melakukan penilaian periodik terhadap naripidana sekaligus memberi kesempatan para terpidana untuk membela diri berjuang demi pembebasan mereka. Salah satunya Hambali. Karena itulah dia hadir dalam sidang.

Berdasarkan data New York Times, dari 780 orang yang pernah ditahan di Guantanamo, saat ini tinggal tersisa 60 orang. 60 terpidana itu dibagi jadi empat bagian, dan Hambali masuk dalam kategori top secret bersama dengan 29 orang lainnya.

Jika skema penutupan Guantanamo berhasil, dari 60 narapidana di sana, 10 narapidana lagi diserahkan pada militer. Dua puluh di antaranya kemungkinan besar akan ditransfer ke negara asal—sebagian dikirim ke Pakistan dan Afghanistan. Lalu 30 lainnya, termasuk Hambali, tidak direkomendasikan dibebaskan dan ditolak dipindahkan ke negara asal. Jika Guantanamo ditutup, mereka akan dipindahkan ke penjara yang ada di AS.

Sampai sekarang, Hambali tetap bersikukuh dirinya tidak bersalah. Dalam proses pengadilan sebelumnya pun hakim mengakui tidak menemukan bukti kuat keterlibatan Hambali dengan Al Qaeda. Penahanan Hambali saat ini didasari oleh Law of War yang memungkinkan aparat di AS menahan seseorang meski tanpa ada bukti sekalipun.

Dalam persidangannya, seorang anggota militer AS yang bertindak sebagai pembicara Hambali secara eksplisit menyebutkan Hambali kini sudah bertobat. “Hambali menyatakan dia tidak memiliki niat buruk terhadap AS," kata petugas militer dalam pernyataan itu.

“Dia percaya Amerika Serikat punya prinsip keragaman dan pembagian kekuasaan yang jauh lebih baik dari sistem diktator. Dia menyatakan bahwa tidak ada lain hal yang menjadi keinginannya selain melanjutkan kehidupannya dan penuh kedamaian.”

Tiga bulan setelah sidang, 25 Oktober 2016, setelah berdebat panjang, Periodic Review Boards (PRB) yang bertugas meninjau tahanan, akhirnya menolak permintaan bebas Hambali. Alasannya karena Hambali memiliki "sejarah panjang dalam gerakan jihad" dan “memainkan peran penting dalam aksi serangan teror besar.”

Tapi kabar mengejutkan itu datang awal November kemarin. New York Times pada 2 November lalu melaporkan perwakilan Departemen Pertahanan AS Lee Wolosky dan Paul Lewis, serta kepala jaksa komisi militer AS Brigjen Mark Martins terbang ke Malaysia menemui wakil perdana menteri Datuk Ahmad Zahid Hamidi dan pejabat keamanan Malaysia. Uniknya, pertemuan ini membahas pemindahan penahanan Hambali ke negeri Jiran.

Sebelumnya, saat ada gaduh-gaduh pledoi permintaan Hambali untuk bebas pada Agustus, Malaysia ada di garda terdepan menolak pembebasan itu.

Wakil Menteri Dalam Negeri Malaysia Nur Jazlan Mohamed meminta Hambali tetap dalam pengawasan AS dan menolak ia dipindahkan ke Asia Tenggara. Jazlan khawatir Hambali akan kembali mengaktifkan sel-sel Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara, khususnya Malaysia.

“Kelompok ini mungkin masih memiliki pengikut dan sedang menunggu pembebasan Hambali untuk menghidupkan kembali gerakan. Jika dibebaskan dari penjara, kehadirannya bisa memberi angin baru kepada aksi terorisme di wilayah ini,” katanya seperti dikutip Berita Harian.

Saat kabar penolakan pembebasan Hambali oleh pemerintah AS datang, Malaysia menyambutnya. Datuk Ayub Khan Mydin Pitchay, asisten direktur Divisi Kontra-terorisme, mengatakan Malaysia tidak akan menerima Hambali karena statusnya yang bukan warga negara Malaysia. Meski 20 tahun tinggal di Malaysia dan menikahi wanita lokal di sana, Hambali hanya memegang izin tinggal permanen.

Bagi Malaysia, menurut Ayub, menampung Hambali adalah dilema. Sebab aturan untuk kebebasan menangkap pelaku terduga teroris dalam UU Internal Security Act (ISA) telah dihapuskan dan diganti dengan Pelanggaran Keamanan (Tindakan Khusus) Act 2012 (Sosma).

“Sosma tidak dapat digunakan untuk menahan dia. Karena kesalahan Hambali terjadi dalam kurun waktu 1985 ke 2003. Sosma tidak dapat menjerat pelanggaran ke belakang sebelum aturan diberlakukan," kata Ayub seperti dikutip The Stars.

Sama seperti Jazlan, Ayub sepakat jika Hambali kembali ke Malaysia, maka ia "akan berkeliaran Asia Tenggara" dan memantik aktivitas jihadis meletup kembali di Asia Tenggara.

“Hambali memiliki kapasitas yang besar untuk merekrut orang-orang ... dia karismatik, memiliki banyak kontak dengan pemimpin Al-Qaeda, sangat mampu dalam mengatur serangan teroris besar terhadap kepentingan AS di Singapura, Thailand, Indonesia,” kata Ayub.

Sepegendang sepenarian dengan jiran, Indonesia pun sama-sama menolak Hambali untuk pulang—meskipun status transfer tahanan sekalipun. Kepada Associated Press Mei lalu, seorang pejabat keamanan yang enggan disebut namanya mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo lebih suka Hambali tetap di dalam tahanan AS.

Menurut pejabat itu, pemerintah Indonesia bisa berkelit menolak Hambali, sebab saat ditangkap pada 2003 lalu, paspor yang digunakan Hambali untuk kabur dari Thailand adalah paspor Spanyol bukan paspor Indonesia. “Ini akan menjadi salah satu pertimbangan pemerintah untuk menolaknya," katanya.

Penolakan Hambali ini juga bisa ditilik dari pernyataan Direktur Keamanan Internasional dan Pelucutan Senjata Kementerian Luar Negeri Andy Rachmianto, yang menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tidak pernah menyampaikan permintaan resmi kepada AS untuk pemulangan Hambali.

Infografik Siapa Hambali?

“Yang diupayakan pemerintah via Kedutaan Besar RI di Washington, DC, adalah akses kekonsuleran untuknya,” ujar Andy kepada Tempo.

Tapi ternyata angin politik berubah. AS yang sudah berkomitmen tidak akan melepaskan Hambali, dan Malaysia-Indonesia pun menolaknya, sekarang malah ngotot memindahkan Hambali ke Malaysia, sampai-sampai mendatangi wakil perdana menteri.

Pembicaraan pada 2 November membahas cara agar transfer Hambali ke Malaysia menjadi mudah. Setelah tiba di Malaysia, dia tak akan bisa bebas dan bisa tetap ditahan. Sebuah rencana disusun bahwa AS akan memaksa dua tahanan tahanan Malaysia di Guantanamo yakni Mohd Farik Bin Amin alias Zubair dan Muhammad Nazir Lep Bin alias Lillie bersaksi bahwa Hambali terlibat dalam aksi teroris di Malaysia dan Indonesia, termasuk Bom Bali dan Bom JW Marriot.

Satu hal yang harus diwaspadai, meskipun pulang ke Malaysia berstatus tahanan, Hambali lebih punya kesempatan untuk kembali berkomunikasi dengan bekas jaringannya di Jamaah Islamiyah dibanding saat ia berada di Guantanamo. Di Malaysia-lah JI berkembang pesat dan menjaring banyak anggota. Malaysia pula jadi tempat singgah dan jalur komunikasi tunggal para jihadis di Asia Tenggara dengan pemimpin Al Qaeda Pakistan atau Afghanistan.

Jika Hambali jadi "pulang", bukan Malaysia saja yang perlu waspada, tapi juga Indonesia.

Baca juga artikel terkait HAMBALI atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Maulida Sri Handayani