tirto.id - Setelah Tragedi Kanjuruhan, Presiden Joko Widodo langsung memerintahkan audit seluruh stadion sepak bola di Indonesia yang dipakai untuk Liga 1, Liga 2, dan Liga 3.
“Apakah gerbangnya sesuai standar cukup lebar, apakah gerbang ukurannya sesuai dengan standar, manajemen lapangannya yang memegang kendali siapa, semuanya,” kata Jokowi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Saiful Anwar, Kota Malang, Rabu (5/10/2022), dilansir dari Antara.
Tugas audit stadion tersebut diberikan Presiden Jokowi kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono. “Saya sudah memerintahkan kepada Menteri PU untuk melakukan audit bangunan stadion termasuk seluruh bangunan … sehingga keselamatan penonton, keselamatan suporter itulah yang ingin kita utamakan,” lanjut Jokowi.
Untuk urusan keamanan dan keselamatan, acara olahraga termasuk salah satu aktivitas yang sangat berisiko, bisa menimbulkan 2.000 kematian setiap tahunnya. Hal tersebut menunjukkan pentingnya aspek keamanan dan keselamatan penonton di stadion, baik dari tahap desain, konstruksi, maupun manajemen.
Pada dasarnya, stadion bukan hanya tempat untuk menggelar pertandingan. Stadion bisa menjadi ikon landmark suatu daerah, tempat berkumpul dan berinteraksi manusia (bukan hanya pemain dan penonton), sehingga penting untuk memiliki stadion yang aman dan nyaman.
FIFA, sebagai federasi sepak bola dunia, melalui dokumen yang mereka rilis di situs resmi, secara berkala terus meningkatkan standar stadion sepak bola untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan.
Menurut FIFA, keamanan berarti setiap penonton memiliki ruang yang lebih banyak atau lebih luas, jalur pendek ketika keluar dan masuk, pintu keluar dan masuk yang banyak, area utuk berkumpul, istirahat, makan dan minum, termasuk juga fasilitas umum.
Banyak stadion yang sudah dibangun sejak abad 18 sampai 19 yang masih beroperasi sampai sekarang, tapi tak sedikit pula yang sudah ditinggalkan dan dihancurkan. Tidak heran jika melihat beberapa bencana besar di stadion, banyak yang terjadi di stadion tua dan itupun kebanyakan terjadi sebelum tahun 2000-an.
Tragedi Stadion Nasional di Lima, Peru, tercatat sebagai bencana terburuk dalam sejarah sepak bola, dengan penyebab yang mirip pula dengan Tragedi Kanjuruhan (gas air mata yang membuat penonton bedesakan), terjadi pada 1964. Begitu juga Tragedi Hillsborough pada 1989.
Desain Stadion Berorientasi Keselamatan
Untuk mengaudit stadion, yang menjadi acuan bukan desain (fisik) stadionnya saja, melainkan manajemennya juga. Semuanya memiliki standarnya masing-masing, baik dari tingkat federasi (FIFA; dunia), konfederasi (AFC; Asia), dan asosiasi negara (PSSI; Indonesia).
Beberapa standar stadion terus mengalami revolusi, dari hal terkecil sampai hal terbesar. Bencana Ibrox pada 1971 yang terjadi di tangga pintu keluar dan masuk stadion, misalnya, membuat adanya standar ukuran lebar tangga, tinggi anak tangga, lebar koridor, dan jumlah pintu masuk dan keluar.
Bencana kebakaran di Valley Parade pada 1985 juga membuat stadion harus dibangun dari material yang tahan api dan pelarangan membawa barang yang berpotensi menghasilkan api (korek, rokok, suar, dll). Bencana Heysel pada 1985 juga membuat wajib ada kursi individual, standar baru untuk space antartempat duduk, dan wajib ada CCTV.
Itu baru tiga contoh. Namun dari berbagai pelajaran di masa lalu, FIFA—dan otoritas sepak bola lain, termasuk otoritas negara yang tidak ada hubungannya langsung dengan sepak bola—terus memperbarui aturan soal stadion beserta aspek keamanan dan keselamatannya.
Saat ini, soal fisik stadion, FIFA memiliki Football Stadiums Guidelines, AFC memiliki AFC Stadium Regulations, dan PSSI punya Regulasi Stadion.
Sementara itu soal manajemen keamanan dan keselamatannya, FIFA memiliki FIFA Stadium Safety and Security Regulations, AFC ada AFC Safety and Security Regulations, dan PSSI punya Regulasi Keamanan dan Keselamatan. Secara umum, semua peraturan di atas sejalan dari tingkat tertinggi (FIFA) ke tingkat asosiasi negara (PSSI).
Standar desain stadion dari FIFA, AFC, maupun PSSI sudah merangkum beberapa aspek keamanan dan keselamatan. Di peraturan FIFA, bahkan ini sudah diatur sejak tahap perencanaan pembangunan di mana, di antaranya, lokasi stadion harus terletak pada sirkulasi yang luas, terjangkau rumah sakit terdekat, dan jika diperlukan, bisa menyediakan pagar atau pembatas di perimeter luar stadion untuk wilayah yang rawan.
Kemudian ada beberapa aspek lagi yang diregulasi dalam tahap perancangan seperti alur sirkulasi penonton, standar ukuran tangga, koridor, dan tempat duduk, jumlah pintu keluar, arah pintu keluar yang harus terbuka keluar, tanda (signage) yang jelas dan berwarna cerah, serta pencahayaan.
Selajutnya, ada pula regulasi pada tahap konstruksi lalu operasional (termasuk perawatan, agar stadion tetap dalam kondisi bagus, terutama struktur bangunannya). Pada tahap operasional ini, segala standar yang seolah sudah selesai di tahap perencanaan dan perancangan (desain), tidak otomatis membuat stadion menjadi tempat yang aman.
Standar Keamanan Bukan Cuma Soal Fisik
“[Desain] sebuah stadion mungkin aman, tapi itu tidak secara otomatis menjamin keselamatan atau kenyamanan. Faktanya, langkah-langkah keamanan fisik seperti pagar dan gerbang yang dapat dikunci dapat menimbulkan risiko keamanan utama dalam situasi darurat,” tulis petunjuk FIFA tersebut.
Tak ketinggalan, pada bagian petunjuk (stadium guidelines), disampaikan bahwa stadion harus berkoordinasi dengan baik dengan layanan keadaan darurat seperti pemadam kebakaran, petugas kesehatan (ambulans), polisi, dan yang terpenting adalah rencana evakuasi.
Di bagian evakuasi, semua jalan keluar dan rute evakuasi dari stadion harus dirancang agar pengguna stadion dapat keluar dengan aman dan tanpa hambatan, yaitu rute keluar yang memberikan perlindungan minimal 30 menit dari kebakaran.
Tangga evakuasi juga harus berada di tempat terbuka atau terlindung dari api, dengan bahan bangunan tidak mudah terbakar (seperti beton), rute tidak menyempit di titik mana pun. Terakhir, lapangan permainan hanya boleh digunakan untuk evakuasi dalam keadaan ekstrem.
Sebagai perbandingan, di Inggris, evakuasi bisa terjadi hanya dalam waktu 2,5 hingga 8 menit. Mereka berpedoman pada Green Guide, buku panduan tentang keamanan penonton di fasilitas olahraga (tak hanya stadion).
Buku ini pertama kali disusun pada 1973 setelah Bencana Ibrox yang menewaskan 66 orang pada 1971. Saat ini, Green Guide sudah masuk edisi keenam, selalu direvisi setiap ada bencana baru.
Menurut catatan saya, terakhir kali stadion di Inggris harus dievakuasi secara mendadak terjadi sekitar enam tahun lalu di Old Trafford, Manchester, saat muncul hoaks soal adanya bom di stadion Manchester United tersebut. Saat itu, evakuasi berlangsung cepat dan tertib.
Terpenting Soal Keselamatan: Manajemen Massa
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa manajemen pengamanan menjadi penting setelah tahap desain ini selesai, sehingga stadion yang sesuai standar keamanan pun tak lantas menjamin keamanan dan keselamatan penonton.Apalagi jika stadionnya secara desain sudah tidak aman.
Soal aspek manajemen keamanan (termasuk crowd management) ini juga diatur dalam dokumen FIFA, AFC, dan PSSI. Ketiga dokumen tersebut saling berkaitan mengingat apa yang terjadi di sepak bola level terbawah merupakan tanggung jawab asosiasi negara, kemudian apa yang terjadi di sepak bola level negara juga menjadi tanggung jawab konfederasi, dan pada akhirnya federasi (FIFA) juga ikut punya andil.
Di dokumen soal regulasi keamanan dan keselamatan stadion versi FIFA, aspek-aspek yang dibahas adalah manajemen, petugas keamanan (steward), kapasitas stadion, pendekatan struktural dan teknis, crowd management, layanan gawat darurat, dan lainnya.
Sementara itu, pada dokumen AFC, isinya memang mirip dengan yang di FIFA, tapi mereka membaginya berdasarkan cooperation, ticketing, tim dan penonton tandang, kontrol stadion, kontrol penonton, dan akreditasi.
Terakhir, ada dokumen PSSI yang lebih mengikuti AFC daripada FIFA—yang mana itu tak jadi masalah sama sekali karena ketiga organisasi ini seharusnya sejalan.
Ketiga organisasi sepak bola ini kemudian menunjuk penanggungjawab yang juga sejalan. FIFA mengatakan bahwa yang bertanggung jawab soal keamanan dan keselamatan adalah national security officer yang ditunjuk oleh asosiasi negara.
Kemudian, AFC mengatakan penanggungjawabnya adalah host organisation yang selanjutnya menunjuk safety and security officer. Sementara itu, PSSI memberikan tanggung jawab kepada panpel (panitia pelaksana pertandingan) yang juga bertugas menunjuk petugas keselamatan dan keamanan (safety & security officer).
Pada dasarnya, tanggung jawab untuk keamanan terletak pada manajemen stadion (bisa juga didelegasikan ke perusahaan keamanan swasta), dengan polisi yang siaga jika diperlukan untuk meningkatkan insiden tertentu dan/atau untuk menanggapi keadaan darurat.
Dalam seluruh dokumen, disampaikan jika pengerahan polisi dan keamanan di dalam dan di luar stadion harus selalu berbasis risiko dan proporsional.
Terlalu banyak staf keamanan dapat menciptakan lingkungan yang membuat penonton merasa terintimidasi. Pada akhirnya itu bukan hanya berdampak pada keamanan dan keselamatan, melainkan juga bisa mengurangi pengalaman menonton pertandingan.
Selain soal personel, isi regulasi ini—baik dari FIFA, AFC, maupun PSSI—sudah jelas memperhatikan keamanan dan keselamatan pengguna stadion (bukan hanya penonton), misalnya dengan diwajibkannya ada rencana evakuasi, penilaian risiko stadion, kerja sama dengan kelompok penonton maupun pemangku otoritas publik, dan mempekerjakan petugas keamanan swasta (steward; bukan polisi, apalagi tentara).
Beberapa aturan yang lebih teknis juga diatur, seperti semua pintu keluar dan gerbang stadion tidak terkunci (bahkan di pasal 21 tertulis “Tidak ada pintu atau gerbang yang dikunci dalam keadaan apa pun”), diawasi, dan dijaga oleh steward. Jumlah steward ditentukan sebanyak 1 untuk setiap 250 penonton, atau 1 untuk setiap 100 penonton jika pertandingan bertensi tinggi.
Semua jalur (termasuk tangga) bebas dari apapun yang menghalangi pergerakan, adanya rambu yang jelas, memastikan penonton tidak masuk ke area lapangan kecuali dalam keadaan darurat (misalnya gempa bumi), melarang pesan politik, provokasi, dan rasialisme, dan sebagainya, termasuk melarang membawa (apalagi memakai) senjata api dan gas air mata.
Jangan Hanya Berharap pada Aturan
Jika Jokowi—bersama Menteri PUPR—sungguh-sungguh ingin mengaudit seluruh stadion di Indonesia, semua dokumen soal regulasi sudah tersedia mulai dari FIFA, AFC, bahkan PSSI. Semuanya sudah tertulis secara jelas, baik, dan benar, setidaknya di atas kertas.
Itu baru soal desain, untuk manajemen keamanan dan keselamatan juga ketiga organisasi sepak bola ini sudah memiliki regulasi dan guideline yang baik, sampai ke hal-hal teknis.
Pertanyaannya, lagi-lagi, apakah regulasi-regulasi ini ditegakkan? Untuk urusan pertandingan sepak bola domestik, apakah PSSI mampu mengoordinasikan dan mengomunikasikannya dengan baik dan benar bersama otoritas kompetisi (PT Liga Indonesia baru), panpel, dan pihak keamanan (polisi)?
Berkaca dari bencana stadion yang terjadi di luar Indonesia, revolusi bisa dilakukan oleh negara, bukan hanya asosiasi sepak bolanya, apalagi berharap sama konfederasi atau federasi sepak bola di luar negeri.
Harus ada landasan hukum lebih kuat untuk mengikat dan menegakkan peraturan yang ada. Itu hanya bisa dilakukan oleh pemerintah negara. Pemerintah bisa langsung turun tangan membuat standar tinggi untuk diterapkan ke stadion-stadion Indonesia.
Inggris sukses melakukannya dengan perbaikan standar stadion sekaligus menghapus hooliganisme yang sebelumnya mengakar. Mereka melakukan itu ketika negara langsung turun tangan secara independen.
Butuh waktu lama dan biaya besar, memang. Namun, di dunia ini tidak ada yang lebih mahal daripada nyawa yang hilang sia-sia. Tragedi Kanjuruhan harus menjadi titik balik untuk perbaikan standar, manajemen keamanan dan keselamatan stadion di Indonesia. []
Editor: Nuran Wibisono