tirto.id - Dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menghadapi perkara di kepolisian. Pangkal persoalan bermula dari perpanjangan surat pencegahan yang dikeluarkan untuk Ketua DPR Setya Novanto. Novanto merupakan saksi kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik.
Pencegahan terhadap saksi bukan sekali dilakukan KPK. Komisi antirasuah itu sudah berkali-kali melakukan pencegahan terhadap sejumlah orang yang diduga mengetahui atau menyaksikan sebuah tindak pidana.
Tapi, pencegahan ini sekarang disoalkan kuasa hukum Setya Novanto, Fredrich Yunadi. Lewat anak buahnya, Sandy Kurniawan Singarimbun, Fredrich melaporkan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menerbitkan surat pencegahan untuk Novanto sebagai pemalsuan dokumen.
Fredrich beralasan, KPK sudah tidak memiliki dasar buat mencegah kliennya. Sebab, Hakim Cepi Iskandar sudah membatalkan status tersangka buat kliennya dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Dia sudah tidak boleh disentuh," kata Fredrich Yunadi, Kamis (9/11).
Fredrich menyitir putusan praperadilan sebagai dasar dari pandangannya. Ini pula yang menjadi dasar pelaporan terhadap Agus Rahardjo dan Saut Situmorang, dua pimpinan KPK yang meneken surat pencegahan baru buat Novanto.
Rupanya, KPK punya pandangan lain ihwal pencegahan ini. Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan, pencegahan yang dilakukan KPK punya dasar hukum. Sebab, Hakim Tunggal Cepi Iskandar tidak mengabulkan petitum ke-4 dalam sidang praperadilan status tersangka Setya Novanto. Petitum itu berbunyi: permintaan pemohon untuk mencabut penetapan pencegahan terhadap Setya Novanto yang dilakukan KPK.
Baca juga:Alasan Hakim Menangkan Gugatan Praperadilan Setya Novanto
Menurut Febri, tidak dicabutnya petitum ini menjadi dasar KPK masih mencegah Setya. “Penetapan (pencegahan) merupakan kewenangan administrasi dari pejabat administrasi yang mengeluarkan penetapan,” ucap Febri.
Lantas, bagaimana sebenarnya aturan soal penetapan pencegahan ini?
Kepala Humas Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Agung Sampurno, menjelaskan pencegahan diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Imigrasi. Aturan tentang pencegahan ini meliputi identitas, alasan, dan tanda tangan dari pejabat yang mengajukan pencegahan.
Aturan ini berlaku umum buat seluruh instansi yang memiliki kewenangan pencegahan, seperti kementerian, Kepolisian, Kejaksaan Agung, BNN dan KPK. Namun, ada hal yang membedakan untuk KPK dalam teknisnya. Ini diatur dalam Pasal 91 Ayat 2 Poin d UU Keimigrasian.
"Kewenangan yang dimiliki KPK bersifat perintah," kata Agung kepada Tirto. Lantaran perintah, kata Agung, pihaknya menjadi pelaksaan kewajiban tersebut.
Sementara ihwal keberatan terkait pencegahan, kata Agung, hal itu juga diatur dalam Pasal 96 UU Keimigrasian. Pasal tersebut berisi tiga poin.
Baca juga:Wakil Ketua KPK Siap Dihukum Jika Rilis Surat Tak Sesuai Prosedur
Poin pertama menyebutkan, setiap orang yang dikenai Pencegahan dapat mengajukan keberatan kepada pejabat yang mengeluarkan keputusan Pencegahan.
Poin kedua menyebutkan, pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis disertai dengan alasan dan disampaikan dalam jangka waktu berlakunya masa Pencegahan.
Poin ketiga menyebutkan, pengajuan keberatan tidak menunda pelaksanaan Pencegahan.
Agung menjelaskan, dalam konteks kasus yang menimpa Setya Novanto, keberatan yang diajukan disampaikan ke KPK. "Selama proses keberatan diajukan tidak menghilangkan keputusan itu sendiri," kata Agung menegaskan.
Berpegang pada Pasal 96 poin 1 UU Keimigrasian ini, Febri haqul yakin, pencegahan yang dilakukan KPK sah secara hukum. Febri menampik, apa yang dilakukan Agus dan Saut bukan penyalahgunaan wewenang apalagi pemalsuan surat.
"Tindakan ini penting untuk memperlancar penanganan kasus korupsi. Terutama untuk memastikan saat saksi atau tersangka dipanggil, mereka sedang tidak berada di luar negeri," ucap Febri.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih