Menuju konten utama

Hakim PN Timika yang Diduga Terima Gratifikasi Harus Diganti

Komisi Yudisial (KY) merekomendasikan agar majelis hakim yang menangani kasus karyawan PT Freeport Indonesia di PN Timika diganti.

Hakim PN Timika yang Diduga Terima Gratifikasi Harus Diganti
Komisi yudisial. tirto/andrey gromico.

tirto.id - Komisi Yudisial (KY) merekomendasikan agar hakim yang menangani persidangan dengan terdakwa sembilan karyawan PT Freeport Indonesia (Freeport) di Pengadilan Negeri (PN) Timika, Papua diganti dalam penanganan perkara tersebut. Hal ini menyusul adanya dugaan gratifikasi yang diterima para hakim dalam kasus yang melibatkan para pegawai PT Freeport Indonesia.

“Demi kepercayaan publik terhadap dunia peradilan, yang menjadi titik tekan ada pada hakim yang sedang menjalani proses pemeriksaan atas dugaan pelanggaran perilaku,” kata juru bicara sekaligus komisioner KY, Farid Wajdi kepada Tirto, Selasa (20/2/2018).

Pernyataan KY tersebut sebagai respons atas laporan Tim Kuasa Hukum 9 karyawan PT Freeport Indonesia yaitu Lokataru lembaga kantor hukum dan hak asasi manusia yang menjadi pengacara bagi sekitar 3.274 buruh Freeport Indonesia. Kantor Hukum Lokataru melaporkan Relly D. Behuku, Fransiscus Y. Babthista, dan sejumlah hakim ke Komisi Yudisial, Badan Pengawas Mahkamah Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Relly adalah Ketua Pengadilan Negeri Kota Timika, sedangkan Babthista ialah hakim pengawas bidang sekaligus Humas PN Timika.

Relly adalah salah satu hakim yang menangani perkara persidangan dengan terdakwa sembilan karyawan PT Freeport Indonesia. Persidangan ini mengadili perkara terkait kasus kerusuhan yang terjadi saat karyawan Freeport melakukan demonstrasi dan aksi mogok kerja, beberapa bulan lalu.

Selain itu, Kantor Hukum Lokataru juga mendapati temuan ada beberapa pegawai dan mantan pegawai PN Timika yang berstatus staf kontraktor Freeport Indonesia. Tudingan ini ditopang bukti status kepegawaian mereka dalam database internal PT FI.

Mereka adalah Relly Dominggus Behuku, Fery Haryanta (saat ini Kepala PN Fakfak), AA Putu NGR Rajendra (kini hakim di PN Mataram), Abdul Kadir Rumodar (kepala Panitera PN Kelas II b Sorong), dan Achmad Yuliandi Erria Putra (kini hakim pratama utama di PN Poso).

Menurut Farid, Komisi Yudisial berpandangan bahwa putusan hakim mencerminkan juga profesionalitas perilaku hakim. Sehingga putusan hakim yang baik seharusnya berasal dari hakim yang tidak ada konflik kepentingan.

Farid menilai tingginya perhatian publik terhadap keterlibatan ketua majelis hakim ataupun anggota PN yang diduga menerima gratifikasi tersebut, seharusnya mereka tidak memegang perkara itu.

“Maka akan sangat baik hakim yang bersangkutan untuk tidak dulu menangani perkara apapun sebelum proses pemeriksaan dan kejelasan sanksinya turun,” kata Farid.

Lokataru Minta Persidangan Ditunda

Dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Timika, Selasa (20/2/2018), kuasa hukum sembilan terdakwa dari kantor hukum Lokataru, Nurkholis Hidayat dan Raden Elang Yayan Maulana menolak proses persidangan selama masih dipimpin oleh hakim yang diduga konflik kepentingan dan menerima gratifikasi dari PT Freeport Indonesia.

Kuasa hukum ini menolak perkara tersebut ditangani hakim yang sedang menjalani proses pemeriksaan di Mahkamah Agung. “Hanya ada 4 hakim di PN Timika, jika dua hakim diduga kuat bermasalah, maka berdasarkan peraturan Mahkamah Agung tidak mungkin persidangan pemeriksaan saksi-saksi dapat dilanjutkan hanya dengan dua hakim tersisa,” kata Nurkholis dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Selasa (20/2/2018).

Nurkholis meminta, persidangan dihentikan sampai ada keputusan dari Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi Papua menunjuk hakim pengganti untuk mengadili perkara-perkara pidana yang menjerat sembilan karyawan PT Frepoort tersebut.

“Akan ada konsekuensi hukum yang fatal jika majelis hakim bersikukuh melanjutkan persidangan di saat salah satu anggota majelis diduga keras melanggar kode etik dan menerima gratifikasi dari PT Freeport Indonesia,” kata Nurkholis.

Sayangnya, majelis hakim PN Timika yang dipimpin oleh Herry Cahyono menolak untuk menunda sidang. Cahyono justru memutuskan untuk melanjutkan persidangan dengan alasan satu-satunya alasan yang valid untuk mengganti hakim adalah pelanggaran terhadap Pasal 157 KUHAP, bila ada hubungan keluarga.

Namun, Nurkholis menolak argumen dari majelis hakim dan menyatakan bahwa lingkup konflik kepentingan bersifat luas, termasuk menyangkut dugaan gratifikasi yang dapat mengganggu independensi putusan hakim.

Setelah melalui proses panjang, akhirnya majelis hakim PN Timika mengabulkan permohonan kuasa hukum untuk menunda persidangan hingga waktu yang belum ditentukan.

Respons Mahkamah Agung

Berbeda dengan Komisi Yudisial yang merekomendasikan agar hakim yang menangani perkara pidana karyawan Freeport Indonesia diganti. Mahkamah Agung justru berdalih pergantian hakim merupakan kewenangan PN Timika dan MA mengklaim tidak bisa ikut campur untuk mengganti hakim yang diduga menerima gratifikasi itu.

“Jadi tidak bisa dipengaruhi oleh siapapun. Karena itu merupakan kewenangan dari ketua pengadilan negeri [PN Timika]” kata Kabiro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Abdullah di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Selasa (20/2/2018).

Abdullah menjelaskan, kewenangan pergantian hakim diatur dalam UU Nomor 49 tahun 2009 tentang Kewenangan Kehakiman dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Namun, ia tidak merinci pasal mana yang dimaksud untuk pengaruh tersebut.

Namun, dalam Pasal 17 ayat 5 dalam UU Kewenangan Kehakiman menyatakan, seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia memunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang perkara.

Abdullah menegaskan, penerimaan gratifikasi, fasilitas atau hakim menjadi bagian dari Freeport masih sebatas dugaan. Oleh sebab itu, pihak Mahkamah Agung mempersilakan Pengadilan Negeri Timika memproses perkara pegawai Freeport tersebut.

Menurut Abdullah, MA juga tidak mau berandai-andai langkah yang akan dilakukan ke depan jika memang terbukti para hakim menerima fasilitas atau berhubungan dengan Freeport.

“MA tidak turut campur. Hal itu urusan ketua pengadilan, tetapi kalau memang nanti itu menimbulkan dampak, tentunya MA apabila ada laporan pasti akan mempertimbangkan,” kata Abdullah.

Ia mengingatkan, rumor bisa saja mengarah sebagai bentuk teror kepada hakim. Seorang hakim, kata dia, tidak boleh ditekan dalam membuat keputusan, termasuk dengan rumor negatif.

“Hakim itu kan juga enggak boleh diteror, enggak boleh di-pressure, biarkan kerja maksimal sampai memutus,” kata dia.

Sementara itu, Ketua MA, Hatta Ali menerangkan, pihaknya terus akan memeriksa dugaan pelanggaran etik para hakim di Pengadilan Negeri Timika. Sampai saat ini, tim masih melakukan pengawasan.

“Sudah dilakukan tindakan pengawasan oleh Badan Pengawas Mahkamah Agung,” kata Hatta di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Selasa.

Hingga saat ini proses pemeriksaan masih berjalan. Hatta mengklaim belum ada hasil dari pemeriksaan tersebut. “Belum ada,” kata Hatta saat ditanya soal pemeriksaan hakim yang diduga menerima gratifikasi.

Baca juga artikel terkait KASUS FREEPORT atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz