tirto.id - Alifurrahman S. Asyari, mengatasnamakan diri pimpinan Seword, mengajukan keberatan atas pemberitaan redaksi Tirto.ID tentang media palsu (hoax), yang kami rilis pada 16 Desember berjudul “Cerita di Balik Situs Postmetro dan Seword”.
Surat elektronik Alifurrahman, yang dikirim ke redaksi Tirto.ID pada 26 Desember, memuat beberapa hal:
1. “Tidak tepat” sebagai media hoax
Kami kutipkan dari dia: “... Tirto.id membuat berita yang sangat aneh, didapat dari wartawan yang sangat licik dan picik. Wartawan yang menanyai saya awalnya membahas soal SEO dan keyword. Saat menghubungi penulis seword, Birgaldo Sinaga, menanyakan soal sidang Ahok. Jadi kalau kemudian yang muncul di media adalah menyimpulkan seword media hoax, ini saya tidak tepat, sebab tidak ada hubungannya dengan materi wawancara (SMS wartawan saya lampirkan)
Seword adalah portal opini sama seperti Kompasian atau Indonesiana. Jadi kalau disamakan dengan posmetro yang hanya mengubah judul berita dengan kalimat provokatif, sekali lagi saya katakan ini tidak tepat.
Atas nama pimpinan seword.com saya menuntut Tirto meminta maaf secara terbuka melalui berita baru.
2. Keliru kalau Seword tidak pernah mengkritik Ahok
Kutipan dari email Alifurrrahman: “... tuduhan seword tidak pernah mengkritik Ahok, itu merupakan fitnah atau minimnya pengetahuan wartawan tirto yang tidak tau apa-apa soal seword.”
Untuk mendukung pernyataan tersebut, Alifurrahman melampirkan 16 tautan yang disebutnya “kritik terhadap Ahok yang pernah publish di seword”.
Jawaban:
1. Dalam laporan, kami menulis bahwa Seword adalah “media yang memuat opini para penulis lepas dengan kecenderungan suara memoles citra Ahok dan Jokowi.” Di bagian lain, motivasi membikin situs-situs ini “… bisa murni mengejar laba. Tetapi kadang ia juga bercampur dengan motivasi politik pembuatnya.”
Alifurrrahman berkata bahwa “Seword adalah portal opini, sama seperti Kompasiana dan Indonesiana.”
Sebagaimana diketahui, Kompasiana dan Indonesiana adalah dua media warga, disebut pula blog sosial atau blog publik, yang dikelola oleh sebuah tim yang menginduk institusi yang jelas, yang satu dari lingkungan media Kompas Gramedia, satunya dari Tempo.
Dalam “Standar Perusahaan Pers” (6 Desember 2007), Dewan Pers mendefinisikan perusahaan pers termasuk “perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan atau menyalurkan informasi” (no. 1). Ia juga harus berbadan hukum Indonesia, “... wajib mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan” (14).
Seword, sebagai media yang menyebarkan informasi dan mendapatkan untung dari sana, tidak memenuhi standar tersebut. Dalam wawancara, yang kami muat di bagian bawah, Alif mengakui hal itu. Ia hanya mengatakan bahwa badan hukum itu sedang diurus.
Tentang permintaan wawancara yang dianggap tidak nyambung dengan pertanyaan reporter Tirto, reporter tentu saja biasa dan bisa memperluas wawancara ke dalam pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pengembangan. Tentu tidak ada paksaan, karena memang mustahil memaksa narasumber, untuk menjawab pertanyaan dari reporter. Jika memang tidak berkenan menjawab pertanyaan tertentu, setiap narasumber berhak menolak pertanyaan tersebut.
2. Dalam laporan, kami menulis: “Apakah Seword pernah memuat artikel yang menyerang Ahok atau mengkritik pemerintah Jokowi? Sangat jarang, jika bukan tidak pernah.”
Artikel yang kritis terhadap kekuasaan, dengan pendekatan macam-macam, sangat mungkin berbeda sesuai standar dan kurasi editorial masing-masing media. Tetapi kami juga mengingatkan dalam laporan tersebut, dengan mengutip Alifurrahman, bahwa di Seword, tanggung jawab dan risiko tulisan diserahkan sepenuhnya kepada penulis. Artinya, tidak ada sistem editorial yang ketat, tidak seperti pekerjaan jurnalisme umumnya.
Alifurrahman sendiri, dalam wawancara yang bisa dibaca di bagian bawah, mengaku awalnya menulis di Kompasiana, tapi Kompasiana tidak mengakomodir dengan baik. Namun itulah justru peran media massa, bahkan walau berbasis user generated content (UGC) sekali pun.
Stanley Adi Prasetyo dari Dewan Pers, dalam wawancara dengan Tirto.ID, menyebut bahwa bahkan media seperti Kompasiana yang berbasis UGC tetap harus bertanggungjawab terhadap konten yang dimuat. Akomodasi dan tidak diakomodasi, dengan pelbagai kriteria dan standar yang berbeda-beda di setiap media, adalah bentuk pertanggungjawaban pengelola media untuk memastikan konten yang tayang memenuhi kelayakan.
Untuk tambahan, sebagai bagian dari proses transparansi, kami lampirkan wawancara antara reporter kami dengan Alifurrahman selama dua kali via telepon pada Rabu, 14 Desember 2016.
Tirto: peran medsos dalam menyebarkan berita sangat mempengaruhi trafik. Apalagi masyarakat Indonesia sangat besar menggunakan medsos. Trafik yang tinggi pasti ada kuncinya?
Alifurahman: Kuncinya menghadirkan rubrik tulisan biar orang baca. Kalau mainstream cepat menyebarkan informasi. Kalau saya opini. Kalau saya, ngobrol sama teman-teman pembaca.
Saya melihat Facebook anda dan banyak orang juga yang menyebarkan postingan Seword.
Ini emang sudah banyak fanatisme. Itu yang dibentuk. Orang sudah candu, sudah baca, suka sekali, dua, dan tiga kali… pasti mereka akan fanatik.
Anda pendiri Seword?
Seword itu saya yang punya. Punya saya pribadi.
Kapan mulai mengelola portal Seword?
Sudah setahun yang lalu.
Apa tujuannya?
Jadi media yang mengakomodir semua kepentingan netizen. Banyak sekarang netizen yang bayaran. Ada teman saya pendukung Jokowi dan Ahok, dibayar, lalu jelek-jelekin Jokowi dan Ahok. Seword mau mengakomodir itu. Maka penulis Seword dibayar.
Jadi semua penulis Seword dibayar?
Iya. Pendapatan iklan dibayar untuk penulis.
Berapa bayaran untuk penulis?
Per view itu 3 rupiah.
Bayarnya dari Google AdSense?
Iya, pakai Google AdSense.
Penulis Seword itu anda saja atau ada tim?
Sekarang Seword itu ada 90 penulis.
Dalam sehari berapa konten yang dibuat Seword?
Bisa 20-30 sehari. Itu semua dari penulis-penulis. Kita ada 90 penulis. Enggak semua (tiap hari) nulis. Sehari itu minimal 30 orang yang nulis. Kalau saya sendiri, satu atau dua tulisan di Seword.
Sudah ada pendapatan? Berapa?
Iya, sudah ada pendapatan buat server, admin, IT.
Tanggung jawab penulis kepada siapa?
Masing-masing penulis, seperti Kompasiana.
Tulisan yang dikirim penulis itu diedit lagi atau enggak?
Enggak. Enggak. Itu kayak Kompasiana. Cuma bedanya di sini dibayar
Motifnya ekonomi atau yang lain?
Pada awalnya saya relawan Pak Jokowi. Sekarang banyak website radikal dan tak jelas. Dan itu harus dilawan. Ya, soalnya Pak Jokowi, kan, enggak punya media dan relawannya tidak terkumpul dan sudah nulis sendiri-sendiri. Kenapa enggak kita buatkan website sendiri?
Kegiatan lain anda apa?
Saya petani di Indramayu. Ada singkong 1 hektare.
Jadi pengelolaan Seword di sana atau bagaimana?
Kadang di Indramayu, kadang di Jakarta. Bolak-balik aja.
Jadi relawan Jokowi itu sudah lama?
Enggak. Saya baru jadi relawan tahun 2015. Seword ini, kan, baru setahun. Sebelumnya saya nulis di Kompasiana. Karena Kompasiana tidak terakomodir dengan baik, saya buat portal sendiri.
Ada beberapa pihak yang menilai Seword ini tidak bertanggungjawab karena tidak memiliki alamat redaksi, strukturnya. Tanggapan Anda?
Saya lagi buat PT dan ini lagi proses. Mungkin 2017 kantornya sudah di Jakarta.
Penyebaran tulisan Seword itu lebih ke FB, Twitter, atau media sosial lain?
Saya enggak tahu karena enggak paham website. Saya bisa penulis tapi selebihnya respons pembaca. Soal SEO saya kurang paham.
Kalau trafik pembaca?
Kalau trafik tahu. Kebanyakan yang baca dari Indonesia. Kan, ketahuan di Alexa.
Paling banyak pembaca itu membaca artikel apa di Seword?
Selama ini banyak, tapi enggak bisa disebut. Banyak.
Contohnya?
Saya enggak cek. Komen saja enggak dijawab.
Berita yang jadi viral itu tentang apa?
Yang viral itu tulisan-tulisan tentang Pak Jokowi. Yang baca banyak terus. Soalnya yang bacanya relawan pendukung Jokowi.
Seword berafiliasi dengan partai?
Enggak ada.
Baru pertama buat media alternatif?
Iya, baru pertama. Karena banyak media abal-abal, kita melawan.
Penulis: Fahri Salam
Editor: Zen RS