Menuju konten utama

Sengketa Pulau Pasir dan Riwayat Perbatasan Indonesia-Australia

Kepulauan Ashmore dan Cartier (Pulau Pasir) ditemukan oleh Suku Bajo. Namun AS mengokupasi wilayah ini, direbut Inggris, berpindah ke tangan Australia.

Sengketa Pulau Pasir dan Riwayat Perbatasan Indonesia-Australia
Peta Indonesia dan Australia. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Tak lama setelah koloni Inggris di New South Wales didirikan pada 1788 untuk diisi 850 narapidana, "orang-orang Australia percaya bahwa mereka merupakan penjaga gerbang peradaban Barat di tepi Asia," tutur Hanry S. Albinski dalam "Australia and the Dutch New Guinea Dispute" (International Journal, 1961).

Namun setelah koloni bertambah lima dan federasi terbentuk seabad kemudian, serta hasil akhir Perang Dunia tak terlalu menguntungkan Inggris, Australia tersadar bahwa Kerajaan Inggris sebagai tuan mereka terlalu jauh dan terlalu lemah untuk memberikan perlindungan.

Padahal, kekuataan negara-negara Asia, khususnya Asia Tenggara, sebagai tetangga Australia tengah melesat tinggi. Maka, "diiringi kecemasan atas posisinya di Asia," tulis Albinski, Australia kemudian memilih berpihak pada Asia.

Dalam pidato yang disampaikan Menteri Luar Negeri Australia Herbert V. Evatt pada 1947, ia menyebut bahwa "rakyat Asia kini tidak lagi menggantungkan hidupnya pada keputusan-keputusan Eropa." Keberpihakan ini diterjemahkan dengan dukungan Australia terhadap kemerdekaan Indonesia atas Belanda.

Mereka bukan mengakui Indonesia versi Belanda yang pada 1949 ditetapkan atau diakui secara de jure berakhir di Laut Banda/Laut Halmahera sebagai titik paling timur, tetapi "Indonesia utuh" yang merentang dari Semenajung Melayu hingga Papua Barat.

Bagi Australia, keberpihakan terhadap Indonesia atas status Papua Barat wajib dilakukan. Mereka pernah berhasil mencaplok bagian timur pulau tersebut pada 1870-an untuk diklasifikasikan sebagai teritorial "Class C" melalui mandat Kerajaan Inggris.

Australia kemudian sempat merasakan serangan militer, yakni oleh Jerman yang pada 1884 sempat berkuasa di Papua bagian timur, dan Jepang yang berhasil untuk sementara waktu menduduki Papua via Teluk Milne.

Artinya, jika Papua Barat tak berhasil dimiliki Indonesia, Australia khawatir akan tercipta negara boneka yang sepenuhnya dikendalikan Belanda dan mengancam eksistensi mereka. Maka, Australia membantu Indonesia dengan cara menyerang Belanda melalui Dewan Keamanan PBB.

Mereka menyebut, tutur Genevieve C. Linebarger dalam "The Netherlands-Indonesian Dispute" (World Affairs, 1962), "opini 380.000.000 pribumi (Indonesia, Papua, dan Aborigin) lebih layak kami dengar dibandingkan opini orang-orang Belanda."

Australia menyatakan bahwa Papua Barat sepatutnya menjadi milik Indonesia dalam sidang PBB yang dilangsungkan di New Delhi, India, pada Januari 1949 itu.

Ditengahi PBB serta dibantu Australia dan pelbagai negara Asia terutama India, Papua Barat akhirnya jatuh ke tangan Indonesia pada 1962 via Perjanjian New York. Namun, setelah Indonesia menjadi "negeri utuh", Australia justru memiliki "masalah" dengan Indonesia, yakni tentang perbatasan.

Garis Pulau Papua

Sebelum kekuatan Barat muncul, "perbatasan bukanlah sesuatu yang berarti bagi kerajaan-kerajaan yang ada di Asia," tulis Thomas Suarez dalam Early Mapping of Southeast Asia (1999). Mereka percaya bahwa kerajaan merupakan miniatur kosmos.

"Kerajaan dianggap sebagai 'mandala' (inti) duniawi yang ditentukan oleh porosnya (raja atau tempat raja bersemayam), bukan parimeter atau perbatasannya," tambah Suarez.

Semakin dekat suatu wilayah dengan tempat raja bersemayam, semakin penting wilayah tersebut. Sebaliknya, semakin jauh--meskipun secara administrasi termasuk wilayah kekuasaan, penguasa semakin tidak peduli.

Setelah didatangi Barat, konsep tersebut berubah. Didorong kebijakan Paus Alexander VI via Papal Bull pada 1493 yang membelah Bumi menjadi dua bagian, wilayah dengan perbatasan yang ajek dan jelas merupakan salah satu elemen terpenting bagi kerajaan atau negara.

Hal ini terus berlangsung sampai sesaat sebelum Barat dan kekuasaannya terusir dari Asia setelah Perang Dunia II. Sebagai contoh, Inggris membagi tanah Hindustan menjadi dua bagian.

Mereka membagi wilayah yang didominasi penganut Hindu dan Islam via kerja kartografi asal-asalan seorang pengacara cum arsitek Inggris bernama Cyril Radcliffe, yakni India dan Pakistan. Dan sebagai dua negara penerus wilayah kekuasaan kolonial Barat, Indonesia dan Australia pun demikian.

Jauh sebelum Indonesia eksis dan Australia dibentuk, perbatasan antara dua negara ini telah ditentukan oleh Belanda dan Inggris. Di ujung timur Indonesia (atau Hindia Belanda) dan utara serta timur laut Australia, misalnya, Garis Meridian Timur ke-141 ditarik lurus demi membelah Pulau Papua menjadi dua bagian, menentukan sisi terujung dua kekuataan kolonial itu di Asia.

Namun, karena ritus perburuan kepala manusia di sekitaran Laut Arafura bagian Inggris (Tenggara Papua Nugini saat ini) oleh suku setempat, pasukan Inggris kewalahan menanggulanginya gara-gara pelaku selalu berhasil "menghilang" lewat Sungai Fly yang mengalir di antara dua wilayah ini.

Belanda dan Inggris lalu "berdamai" tentang perbatasan mereka di Pulau Papua dengan mengikuti aliran Sungai Fly sepanjang 60 kilometer ke sisi Hindia Belanda, pada Garis Meridian Timur ke-141 yang ditarik lurus itu--di sekitar 400 kilometer Utara Wutung.

Pulau Christmas

Setelah Indonesia merdeka yang wilayahnya merentang hingga Papua Barat, disusul kemerdekaan Papua Nugini atas Australia, Indonesia dan Australia kembali harus "berdamai" soal perbatasan melalui tangan mereka sendiri--bukan kekuatan kolonial.

Usai pertama kalinya bersepakat soal perbatasan pada 1971 sebagai negara berdaulat, sebagaimana dipaparkan E. Gray dalam "A Sequel to Mabo: Is 'Mare Nullius' also a Fiction for Indonesian Fishermen in Australian Waters?" (Maritime Studies, 1997), timbul hukum internasional baru bertajuk Perjanjian Hukum Laut via Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) pada 1982 yang mengakui status kepemilikan laut.

Melalui aturan ini (diratifikasi Indonesia pada 3 Februari 1986 dan Australia pada 5 Oktober 1992), teritori suatu negara bertambah hingga 200 mil laut sebagai kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Masalahnya, Indonesia dan Australia berjarak kurang dari 400 mil laut atas keberadaan Pulau Christmas (Pulau Natal), serta Kepulauan Ashmore dan Cartier (Pulau Pasir) milik Australia di sisi selatan Pulau Jawa dan Laut Timor/Laut Sawu, serta ambiguitas definisi ujung/batas akhir pulau atau landas kontinen.

Bagi Australia, merujuk Proklamasi Truman pada 1945 dan Konvensi Geneva tentang Landas Kontinen pada 1953, ujung/batas akhir pulau atau landas kontinen berada sampai kedalaman 200 meter dari garis pantai yang dapat dilihat mata telanjang.

Dalam "The Completion of Marine Boundary Delimination between Australia and Indonesia" (Geopolitics and International Boundaries, 1997), Victor Prescott, Profesor Geografi pada University of Melbourne, menyebut bahwa masalah perbatasan Indonesia-Australia ini akhirnya diselesaikan melalui negosiasi yang berlangsung pada 14 Maret 1997.

Hal ini diimplementasikan pada perbatasan Indonesia-Australia di antara Pulau Jawa dan Pulau Christmas. Dilakukan dengan mengabaikan ZEE Australia atas Pulau Christmas alias memberikan hak penuh pada Indonesia memiliki seluruh ZEE di wilayah tersebut, dengan pengecualian eksklusifitas berdiameter 12 mil laut bagi Pulau Christmas.

Kemudahan ini dapat dilakukan karena setelah Australia paham kekuatan Kerajaan Inggris tak dapat diandalkan, mereka mendorong pemberlakukan konsep "arc of defence" (busur pertahanan) dengan Indonesia sebagai salah satu tamengnya. Dan untuk membuat Indonesia mau dijadikan bantalan keamanan negara, Australia memilih tak bersengketa dengan Indonesia.

Terlebih, tak pernah ada kesepakatan yang dibuat kedua negara tentang perbatasan di antara Pulau Jawa dan Pulau Christmas. Merujuk pada kasus serupa yang terjadi antara Denmark dan Norwegia (antara Pulau Jan Mayen dan Pulau Greenland) pada 1993, Australia tak dapat berkutik jika ngotot ingin memiliki 200 mil laut dari Pulau Christmas.

Kepulauan Ashmore dan Cartier

Perundingan perbatasan Indonesia-Australia di antara Kepulauan Ashmore dan Cartier (Pulau Pasir) serta Laut Timor/Laut Sawu sebaliknya, sulit dilakukan.

Jauh sebelum Indonesia dan Australia eksis, Kepulauan Ashmore dan Cartier (Pulau Pasir) memiliki hubungan emosional dengan masyarakat tradisional, yakni Suku Bajo, yang kini berstatus Warga Negara Indonesia (WNI).

Sebagaimana dituturkan Natasha Stacey dalam Boats to Burn: Bajo Fishing Activity in the Australia Fishing Zone (2007), sebelum abad ke-19 pelaut-pelaut Bajo menemukan gugusan pulau ini.

Secara tradisional, Kepulauan Ashmore dan Cartier dijadikan Suku Bajo sebagai tempat berteduh dan beristirahat. Kemudian karena permintaan tripang yang meningkat dari masyarakat Cina, perairan ini juga menjadi tempat nelayan Bajo mencari tripang dan ikan.

Pada 1840-an, Kepulauan Ashmore dan Cartier diokupasi Amerika Serikat untuk dijadikan tempat pelaut-pelaut Paman Sam mencari Paus--untuk diambil minyaknya.

Sadar bahwa Kepulauan Ashmore dan Cartier memiliki posisi penting untuk mengamankan wilayah Australia, Kerajaan Inggris bertempur melawan AS untuk menguasai wilayah ini. Akhirnya, disepakati Kantor Kolonial Inggris dan Kementerian Luar Negeri AS, Ashmore dan Cartier diserahkan kepada Inggris pada 1878 dan 1909.

Infografik Batas

Infografik Batas. tirto.id/Fuad

Pada 23 Juli 1931, Inggris menyerahkan kedaulatan atas kepulauan ini kepada Australia untuk diurus oleh Australia Barat (kini diurus Pemerintahan Federal Australia Wilayah Utara).

Setelah dimiliki Australia, nelayan-nelayan Bajo tetap mencari ikan di sekitaran Kepulauan Ashmore dan Cartier. Secara tradisional mereka percaya bahwa wilayah tersebut merupakan kuasa mereka.

Tak ingin bertengkar dengan Indonesia dan paham bahwa nelayan Bajo mencari ikan di wilayah tersebut sebagai bentuk ritus subsisten, Australia dan Indonesia kemudian menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) tentang Hak Menangkap Ikan secara Tradisional pada 1974.

Masalahnya, meski wilayah tersebut sebelumnya hanya diisi dua negara dengan keterusiran Portugal dari Bumi Lorosae, Timor Leste kemudian menjelma menjadi negeri merdeka.

Hal ini membuat wilayah Kepulauan Ashmore dan Cartier diisi kepentingan tumpang-tindih antara Indonesia, Australia, Timor Leste, dan kepercayaan lokal masyarakat Bajo yang terusik gara-gara eksistensi negara. Tumpang-tindih yang kian rumit manakala ditemukan "harta karun" berupa emas hitam di wilayah tersebut.

Untunglah, meski perundingan perbatasan Indonesia-Australia di wilayah Kepulauan Ashmore dan Cartier cukup sulit dilakukan, yang dibuktikan dengan dilangsungkannya enam kali pertemuan, mufakat akhirnya berhasil dicapai.

Wilayah tersebut disepakati diberikan ekslusivitas yang mirip seperti Pulau Christmas. Dan di antara Indonesia-Australia, terdapat area tumpang-tindih ZEE milik masing-masing negara. Suatu hal yang--pasca kesepakatan tersebut dicapai--menimbulkan terjadinya serentetan kejadian yang merugikan Indonesia atas ambiguitas area tumpang-tindih ZEE ini, yang dialami nelayan-nelayan tradisional.

Sebagaimana diwartakan Antara, sejak 2004 hingga 2006, 3.000-an nelayan asal Nusa Tenggara Timur (NTT) ditangkap pihak Australia saat memasuki kawasan tersebut. Bahkan pada 2021 lalu, beberapa kapal milik nelayan ditenggelamkan polisi perbatasan Australia.

Baca juga artikel terkait SENGKETA PULAU PASIR atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Politik
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi