Menuju konten utama

Gusti Randa:  "Di Sepakbola, Saya Tak Punya Image Negatif"

Gusti Randa, pengganti Glenn Sugita di PT LIB, mengaku sebagai "bukan orang klub" dan bisa menjalankan Liga 1 2019.

Gusti Randa:  
Ilustrasi Gusti Randa, Komisaris sementara PT Liga Indonesa Baru. tirto.id/Lugas

tirto.id - Gusti Randa, anggota komite eksekutif (Exco) PSSI, resmi mendapat jabatan sebagai komisaris sementara PT Liga Indonesia Baru, operator Liga 1, menggantikan Glenn Sugita dalam Rapat Umum Pemegang Saham kedua di Hotel Sultan, 28 Februari lalu.

Sekjen PSSI Ratu Tisha, yang mengumumkan langsung penunjukan Gusti, mengatakan tugas pria berusia 53 tahun itu di PT LIB berlaku hingga Kongres Luar Biasa PSSI dihelat.

"Dilatarbelakangi keputusan Exco PSSI untuk KLB. Manajemen ini akan mengantarkan persiapan Liga 1 sampai KLB digelar," ungkap Tisha.

Saat saya menemuinya usai acara, Gusti mengamini ucapan Tisha. Gusti mengklaim penetapannya tidak lepas dari latar belakang dia yang saat ini bukan merupakan "orang klub".

“Ini cuma dalam konteks menjaga saja. Jangan sampai elu ikut turnamennya, tapi elu-elu juga yang ngurus. Kan, nanti kalau menang, repot,” katanya.

Musim lalu banyak kritik muncul kepada PSSI dan PT Liga saat regulator ternyata diisi oleh banyak pemilik klub, sebut saja Joko Driyono (Persija), Glenn Sugita (Persib), Edy Rahmayadi (PSMS Medan), dan Iwan Budianto (Arema FC).

Karena keterbatasan waktu dan situasi, wawancara saya dengan Gusti terpotong. Perbincangan dilanjutkan lewat telepon, Selasa kemarin.

Dihubungi di sela-sela kesibukannya, Gusti berbicara seputar rencana-rencananya untuk kompetisi Liga 1 musim kompetisi 2019/2020. Selama kurang lebih 20 menit, Gusti menyinggung beberapa hal, dari tunggakan subsidi PT LIB sampai cara pandangnya terhadap diri sendiri yang menurutnya punya kapasitas untuk mengurus Liga 1.

Anda baru saja ditunjuk sebagai Komisaris PT Liga Indonesia Baru. Apa rencana Anda?

Pertama, tentu LIB harus bisa menjamin kepada para klub, bahwa Liga 1 ini harus bergulir. Kenapa poin satu itu harus bergulir, karena kami tahu klub-klub ini sudah mengontrak beberapa pemain, sudah men-set-up tim masing-masing. Dan itu tidak murah biayanya.

Kedua, LIB dalam posisi sebagai operator harus segera mempunyai partnership. Ada dua. Pertama, yang sifatnya media karena sepakbola ini harus disiarkan. Lalu ada partnership yang sifatnya main sponsor. Kami tahu 2018 ada Gojek. Nah, kami mencari itu. Supaya penyelenggaraan Liga bisa terbiayai.

Ketiga, dari sisi materiel, Liga 2019 harus lebih baik dalam regulasi, clean and goverment-nya. Artinya, tidak boleh lagi di dalamnya, meski hanya satu dua pertandingan, kami temukan yang namanya pengaturan. Pengaturan itu bisa skor, kepemimpinan perangkat pertandingan. Kami harus bersih dari praktik seperti itu.

Kemudian, tentu kami harus menjaga kualitas. Liga yang bergulir ke depan harus menciptakan kualitas yang baik karena kami tahu muaranya perekrutan pemain-pemain untuk timnas. Salah satu sumber pemain untuk timnas adalah pemain yang bertebaran di liga-liga ini. Sehingga Liga 1, Liga 2, atau bahkan Liga 3, harus bisa memberikan dampak.

Yang kelima, ini tujuan akhirnya. Sebenarnya semuanya ini untuk apa? Untuk mengembalikan trust. Kepercayaan publik terhadap sepakbola Indonesia, dalam konteks prestasi.

Anda menyinggung soal sponsor. Anda hadir sebagai komisaris menggantikan Glenn Sugita, pebisnis yang punya relasi luas. Bagaimana Anda menjamin mampu melakukan—setidaknya—seperti apa yang dihadirkan Glenn Sugita?

Jangan dulu berbicara primodialisme. Artinya, orang yang harus memegang liga harus businessman, karena punya networking, begitu kan?

Praktik seperti itu boleh saja, tapi saya kira yang terpenting adalah bagaimana sekarang Liga harus clean. Semisal begini, yang memimpin Liga itu salah satu owner klub, lalu klubnya menjadi juara, kira-kira ada omongan sumbang enggak? Pasti ada, kan?

Nah, dalam konsep kami, clean and government tidak ada praktik-praktik itu. Tujuannya supaya kita tidak suuzon. Jadi, harus orang-orang yang terbebas dari keterikatan dengan klub.

Kemudian, apakah nanti saya punya networking dalam soal sponsor? Kami, kan, punya direksi. Saya tidak bekerja sendiri. Kami punya orang-orang yang ditugaskan bekerja memang untuk mencari sponsor.

Sosok Anda lekat dengan kontroversi. Bagaimana Anda menjamin kehadiran Anda bisa membuat sponsor mempercayai Anda?

Saya juga melihat. Tapi, berita-berita saya di internet lebih banyak diangkat dari para haters. Tidak ada buktinya. Jadi, apalagi di zaman sekarang, semua orang bisa menjadi wartawan dalam tanda petik. Semua orang bisa jadi produser atas konten di internet.

Rata-rata mereka lebih kepada haters saja. Misalnya, apa kesalahan seorang Gusti Randa dalam konteks penegakan laws of the game dalam sepakbola? Di mana? Anda bisa buktikan enggak saya melanggar rules of the game dalam sepakbola?

Bahwa ada orang tidak suka karena klubnya mungkin kena sanksi, kan gitu. Lalu dikait-kaitkan ini karena, misalnya, 'TPF-nya Pak Gusti Randa'. Atau, 'Oh, Pak Gusti Randa orang lama di PSSI tapi kok PSSI tidak jadi juara dunia?'

Tentu haters seperti itu. Kalau tidak punya fakta, buat apa?

Lalu ada lagi, 'Pantesan [Persib dihukum], Gusti Randa itu orang Persija.' Kemudian, foto waktu saya pakai kaos Persija. Jadi kalau saya pakai kaos AC Milan, saya dianggap orang AC Milan, gitu? Saya pakai kaos Barcelona, saya orang Barcelona? Seperti ini biasanya karena kebencian saja.

Jadi, kalau Anda tanya apakah seorang Gusti Randa ingin memagari diri terhadap kesan-kesan negatif, saya merasa diri saya tidak punya karakter negatif. Banyak orang bertanya, 'Apa sih kontribusi Gusti Randa?'

Orang hanya tidak tahu. Misal, futsal Indonesia itu pernah juara AFF, Asia Tenggara. Ketua Badan Futsal nasionalnya Gusti Randa, ya kan?

Tapi, enggak mungkin juga saya menyombongkan diri.

Jadi, saya bisa katakan, di sepakbola, saya tak punya image negatif yang akan membuat sponsor pergi.

Anda datang sewaktu PT LIB masih punya kewajiban tunggakan subsidi ke klub-klub Liga 1. Bagaimana Anda akan membawa PT LIB melunasi kewajibannya?

Klub itu pada dasarnya pemegang saham. Klub-klub itu adalah pemilik LIB. Jadi LIB berutang pada pemilik sahamnya. Artinya, ini seperti keluar dari saku kiri masuk ke saku kanan.

Klub-klub, saya rasa juga, menyadari mengapa bisa terjadi perusahaannya tidak bisa membayar. Mereka tahu itu. Misalnya, Traveloka mengundurkan diri, terus ada beberapa piutang LIB yang belum terbayarkan GoJek. Mereka tahu juga soal itu.

Yang kedua, tidak semua klub pasti dilunasi sampai memenuhi persyaratan. Karena persyaratan untuk dapat itu misalnya kalau punya pemain di bawah usia berapa, elite pro, dan lain-lain. Jadi, kalau nanti enggak memenuhi itu, mungkin tiap klub [subsidinya] akan berbeda.

Bahwa memang dalam sistem pembukuan ada utang yang perlu dibayarkan, saya kira, tetap harus kami bayar.

Faktanya, tetap ada tunggakan yang harus diselesaikan. Apa langkah konkret Anda?

Dalam waktu dekat, semua klub sebagai pemegang saham akan kumpul lagi, buat business plan-nya. Business plan ini salah satunya [menjawab] bagaimana posisi utang yang belum terbayarkan. Rencananya akhir Maret [2019]. Biarkan mereka yang mengatur juga.

Saya ini komisaris lebih dalam bentuk pengawasan. Kalau lihat undang-undang korporasi, posisi komisaris adalah lebih ke bentuk pengawasan.

Baca juga artikel terkait PSSI atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Indepth
Reporter: Herdanang Ahmad Fauzan
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Fahri Salam