tirto.id - “Semaksiat apapun kita di hadapan manusia, kita masih diberkahi oleh Dia yang Maha Kuasa.”
Tak ada yang aneh dari pernyataan Ustadz Miftah Maulana yang akrab disapa Gus Miftah. Tak berbeda dari pendakwah pada umumnya, Miftah menegaskan bahwa kedudukan manusia di depan Tuhan adalah sama.
Yang bikin seruan tersebut berbeda adalah lokasinya. Miftah menyampaikan dakwahnya langsung di hadapan pengunjung klub malam Boshe, Bali, pada awal September silam. Seketika, apa yang dilakukan Miftah viral dan jadi buah bibir.
Berdasarkan cuplikan video yang diunggah di akun Instagram-nya, Miftah juga mengajak pengunjung Boshe untuk melantunkan shalawat—nyanyian pada Nabi Muhammad. Tampilannya begitu percaya diri meski ia berada di tempat yang dirasa tak lazim untuk berdakwah.
“Saudaraku, orang baik dan orang jelek itu bedanya satu: orang baik pernah berbuat jelek dan orang jelek pasti pernah berbuat baik. Jangan pernah hakimi mereka, tapi mohon doakan mereka,” tulis Miftah dalam caption di bawahnya.
Suara publik terbelah. Banyak yang mengapresiasi metode dakwah Miftah. Ia dianggap berani dan menolak pakem konvensional syiar. Tapi, yang mencibir juga tak satu-dua. Pokok kritiknya sama: gaya dakwah Miftah dinilai telah "melacurkan agama."
Praktik Lawas
Miftah rupanya tak sendirian. Di Surabaya, ustadz bernama Khoiron Syu’iab lebih dulu mempraktikkan metode serupa. Sasarannya: pekerja seks di Bangunsari.
Lokalisasi Bangunsari, pusat pelacuran pertama di Surabaya, telah berdiri sejak 1943. Posisinya dekat dengan Pelabuhan Tanjung Perak dan selalu ramai dikunjungi pelaut yang sedang merapatkan kapal.
Seperti dicatat M. Nur Cholish Zaein dan Herry Mohammad dalam “Lentera di Belantara Syahwat” yang terbit di Gatra edisi 27 Juni 2012, Bangunsari bukan satu-satunya tempat lokalisasi pada pada 1970-an. Saat itu, nama-nama lain seperti Dolly, Njarak, dan Moroseneng mulai muncul. Jumlah pekerja seks pun meningkat. Total, ada sekitar 3.000-an PSK.
Khoiron resah menyaksikan praktik prostitusi di lingkungannya yang makin marak dijumpai. Usai menamatkan studi di Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, ia turun gunung ke Bangunsari.
Namun, ikhtiar Khoiron tak mudah. Penolakan masyarakat Bangunsari dan sekitar cukup kuat. Agar semua berjalan lancar, Khoiron memakai taktik khusus. Pertama-tama, ia melakukan pendekatan ke Ketua RW, yang menurutnya disegani masyarakat Bangunsari.
Selanjutnya, setelah sukses menarik simpati Ketua RW, Khoiron membikin program pengajian. Alih-alih memakai masjid sebagai lokasi temu, Khoiron justru memanfaatkan bioskop dan balai RW. Alasannya, banyak dari pekerja seks yang tidak terlalu nyaman berada di masjid.
Acara pengajian pun tidak melulu diisi dengan dakwah. Supaya tambah menyedot perhatian banyak orang, Khoiron membuka pengajian dengan kegiatan nonton bareng, khususnya film India dan Mandarin, yang populer di kalangan pekerja seks dan mucikari. Setelah film selesai, barulah Khoiron perlahan masuk ke inti pertemuan.
Seiring waktu, kegiatan dakwah Khoiron membuahkan hasil. Banyak pekerja seks dan mucikari berhenti dari pekerjaannya. Mereka mencari pekerjaan lain di luar prostitusi. Masih mengutip Gatra, lokalisasi Bangunsari, yang sebelumnya menempati 15 gang, kini hanya menyisakan dua gang.
Praktik semacam ini, turun ke lokasi-lokasi "hitam" dengan pendekatan simpatik, juga telah dipraktikkan sebelum kemerdekaan. Pelopornya adalah Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama.
Pada 1899, sepulang dari menimba ilmu di Makkah, Hasyim membuka ruang-ruang pengajian. Tapi, sebagaimana ditulis Imam Sholihin dalam “Peranan KH. Hasyim Asy’ari dalam Pendidikan Islam di Indonesia Tahun 1899-1947” (2016), upaya Hasyim tak mudah. Pasalnya, tempat tinggal Hasyim, Tebuireng, Jombang, dulu terkenal sebagai pusat maksiat. Terlebih di dekat pabrik gula Tjoengkir. Masyarakat gemar berjudi, merampok, dan berzina.
Kegiatan dakwah Hasyim pun tak jarang terganggu. Hasyim kerap difitnah dan dirisak. Kendati demikian, Hasyim terus melanjutkan dakwahnya yang secara simpatik menyerukan masyarakat agar meninggalkan kemaksiatan.
Gaya dakwah di tempat yang dianggap “tak lazim” ini tak cuma dilakukan oleh pegiat agama. Band death metal kawakan asal Jakarta, Purgatory, pernah melakukannya.
Waktu itu, Mei 2017, Purgatory tampil di gelaran Black Death Cirebon yang diadakan di GOR Ranggajawati Sumber. Di tengah pertunjukan, personel Purgatory memasukkan shalawat dan mengucapkan puja-puji kepada Nabi Muhammad dalam posisi berlutut. Penonton pun ikut larut menyenandungkan shalawat.
Aksi shalawat metal yang dilakukan Purgatory sebetulnya tak mengagetkan. Selama ini, mereka dikenal sebagai band metal yang membawa nuansa keislaman ke dalam musiknya. Lirik-lirik dalam lagu Purgatory banyak bercerita tentang ajaran agama sampai Perang Uhud. Eksperimen tersebut mereka lakukan sejak 2003, bertepatan dengan rilisnya album 7:172.
“Tahun 2003, kita benar-benar ganti, rombak personel parah, karena sejak 1999 sampai 2000 vakum. Tahun 2003 keluar lagi mulai mengerucut ke arah kebenaran Islam,” ujar Al, penggebuk drum, dalam wawancaranya bersama Republika.
Anda bisa menyimaknya lewat nomor “MOGSAW” yang punya kepanjangan “Messenger of God Shal la llahualaihiwasallam.” Atau, misalnya, pada lagu “Hypocrishit” di mana mereka mengutip beberapa kalimat bernada sufistik seperti: “Aku hina dan kotor serta tak pantas masuk ke dalam surga-Mu/Ku juga lemah dan tak tahan akan panasnya api neraka-Mu.”
Al menjelaskan, pesan-pesan tentang Islam yang diangkat Purgatory adalah upaya untuk menyelaraskan hidup dengan kitab suci Al Qur’an. Meski begitu, Al menolak jika “sengaja memilih tema Islam” sebagai landasan kreatif.
“Jadi, bukannya kita memilih Islam untuk dimasukkan ke Purgatory, bukan gitu. Ini proses pendewasaan. Misalnya, awalnya belum banyak unsur Islaminya karena belum mengerti, makin ke sini semakin mengerti agama dan akhirnya kebawa ke band,” tuturnya.
Model dakwah Miftah, Khoiron, dan juga Purgatory, berangkat dari pemahaman atas kondisi sosial kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini dipandang melenceng dari ajaran agama.
Basis pendekatannya sama: simpatik dan tanpa paksaan.
“Saya hanya menyampaikan. Kalau mereka mau, ya, Alhamdulillah, tapi kalau tidak, ya, nggakapa-apa. Sebab hidayah itu datang dari Allah,” jelas Khoiron kepada Gatra, tentang bagaimana proses dakwahnya berjalan.
Praktik dakwah ala Miftah dan Khoiron, di lain sisi, juga memberikan nuansa baru pada kegiatan spiritual yang selama ini kian dikomersialisasikan oleh televisi dan didominasi pendakwah kelas menengah.
Editor: Windu Jusuf