tirto.id - Gunung Merapi meletus pada Senin (14/10/2019) sekitar pukul 16.31 WIB. Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta menyatakan, ada semburan awan panas dengan kolom setinggi maksimum kurang lebih 3.000 m dari puncak Merapi.
Menurut Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono ada yang menarik dari peristiwa letusan Merapi tersebut, karena waktunya yang bersamaan dengan terjadinya aktivitas gempa tektonik di Samudra Hindia.
Gempa tektonik ini berkekuatan M 2,8 terjadi pukul 16.31.56 WIB dengan episenter di laut pada jarak 38 km arah barat daya Bantul. Gempa M 5 juga terjadi di Cilacap pada Senin, (14/10/2019), pukul 18.33.58 WIB. Lokasi gempa berada di laut dengan 8.45 Lintang Selatan, 109.28 Barat Tenggara.
"Pusat gempa berada di laut 85 km Tenggara Cilacap dengan kedalman 10 kilometer," tulis BMKG.
BMKG menyebut warga di sejumlah daerah terasa gempa dengan skala Wilayah Dirasakan (MMI) yakni II MMI Bantul, II MMI Kulonprogo, II MMI Kota Yogyakarta (Jogja), II MMI Purworejo, II MMI Cilacap, dan II MMI Kebumen.
"Hingga saat ini beberapa warga dan netizen masih menanyakan apakah ada kaitan antara letusan Merapi dan gempa tektonik tersebut," tulis Daryono dalam keterangan pers yang diterima Tirto, Kamis (17/10/2019).
Jika mencermati waktu kejadian antara peristiwa letusan dan gempa tektonik, tampak yang terjadi duluan adalah letusan Merapi. Jika gempa tektonik mempengaruhi letusan Merapi, mestinya gempa tektonik terlebih dahulu waktu terjadinya.
Teori yang berkembang saat ini adalah, gempa tektonik yang memicu aktivitas gunung api, bukan sebaliknya.
Gempa Tektonik
Menurut Daryono, secara tektovulkanik, gempa tektonik memang dapat meningkatkan aktivitas vulkanisme, syaratnya kondisi gunung api tersebut sedang aktif, magma cair dan kaya gas.
Jika kondisi semacam ini maka dinamika tektonik di sekitar kantung magma rentan memicu aktivitas vulkanisme. Gempa tektonik yang bersumber dekat gunung api dapat menciptakan stress-strain yang memicu terjadinya perubahan tekanan gas dalam kantung magma.
Stress-strain akibat gempa tektonik di sekitar gunung api dapat menekan cebakan reservoir magma. Aktifnya gunung api dimulai ketika berlangsungnya induksi perambatan stress-strain dari aktivitas seismik akibat gempa tektonik.
Fenomena ini dapat dianalogikan seperti sebuah botol minuman yang dikocok hingga menimbulkan gelembung-gelembung gas yang kemudian bergerak naik, selanjutnya menekan bagian atas dan melepaskan sumbatan tutup botol tersebut hingga terjadi letupan.
Aktivitas Seismik
Daryono menyatakan, jika diamati aktivitas gempa tektonik beberapa waktu terakhir di Yogyakarta, hasil monitoring BMKG menunjukkan adanya peningkatan aktivitas seismik menjelang letusan Merapi haris Senin lalu.
Sebagai gambaran, sejak awal Oktober 2019 tercatat 5 kali peristiwa gempa tektonik di daratan Yogyakarta, yaitu: Gempa 4 Oktober 2019 (M=2,0), 5 Oktober 2019 (M=2,4), 7 Oktober 2019 (M=2,1), 9 Oktober 2019 (M=2,2), dan 14 Oktober 2019 pukul 11.13.22 WIB (M=1,9)
"Jika aktivitas vulkanisme gunung api merupakan bagian dari rangkaian kegiatan tektonik, maka kita dapat katakan bahwa aktifnya Merapi tampaknya tidak terlepas dari pengaruh kegiatan gempa tektonik yang terjadi di sekitarnya," ujar Daryono.
Dalam banyak kasus, letusan Merapi didahului adanya gempa tektonik lokal baik yang bersumber dari zona subduksi maupun sesar aktif di Yogyakarta.
Salah satu contoh adalah menjelang letusan Merapi 2010, BMKG mencatat adanya peningkatan aktivitas gempa tektonik 9 bulan sebelumnya. Saat itu ada 23 gempa tektonik bersumber dari zona sesar aktif.
Untuk membuktikan adanya kaitan antara aktivitas gempa tektonik dan letusan gunung api tentu perlu kajian lebih mendalam secara empiris.
Terkait letusan Merapi tersebut, maka kepada seluruh warga diimbau agar tetap mentaati zona larangan yang sudah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang.
Editor: Agung DH