Menuju konten utama

GoPro Semakin Terjun Bebas, CEO-nya Digaji 1 Dolar

Bukan cuma ratusan karyawan kena PHK, Nick Woodman harus turun gaji dari Rp10 miliar jadi 13 ribu perak.

GoPro Semakin Terjun Bebas, CEO-nya Digaji 1 Dolar
Kamera GoPro terpasang di helm seorang peseluncur ski di Meribel ski resort, French Alps. REUTERS/Emmanuel Foudrot

tirto.id - Nicholas Woodman, suatu ketika pernah berkata, "Mungkin permulaan sederhana kami yang bermula di toko selancar, ski, sepeda, dan sepeda motor adalah suatu hal yang amat penting. GoPro itu tentang merayakan gaya hidup aktif dan membaginya dengan orang lain. Itu otentik, bukan sebuah merek yang hanya mengandalkan iklan agar laku."

Permulaan bisnis Nick, panggilan Nicholas, memang berawal dari ide sederhana. Sebagai penggemar olahraga ekstrem, ia gemas karena tak ada alat untuk merekam aksinya. Ia kerap memakai kamera 35mm yang diikat ke telapak tangan. Tapi cara itu tak bertahan lama, karena kamera sering terlepas. Maka ia punya ide: bagaimana kalau aku membuat sabuk yang bisa melengketkan kamera ke wadahnya?

Ide itu kemudian dikembangkan lagi dengan kekasihnya, Jill. Pada 2002, mereka kulakan kalung kerang di Bali seharga $1,9 dan dijual lagi di pantai California seharga $60. Dengan modal itu, mereka mulai mengembangkan ide. Ternyata modalnya tak cukup. Untung Nick punya orang tua kaya. Ia dapat pinjaman $230 ribu. Maka, lahirlah perusahaan rintisan yang ia beri nama GoPro.

Penguji awal produk GoPro tak lain tak bukan adalah Nick sendiri. Produk purwarupanya adalah kamera film 35mm tahan air yang bisa dilengketkan di pergelangan tangan pengguna. Kadang ia melekatkan GoPro di mobil, dan ngebut.

Masa depan GoPro mulai terlihat cerah saat sebuah perusahaan Jepang memesan 100 kamera pada 2004. Dari sana, nama GoPro melambung sebagai produk kamera tahan banting, cocok untuk segala medan petualangan, dan berharga terjangkau. Secara fitur, kamera GoPro juga makin berkembang. Mulai dari bisa tersambung ke internet nirkabel, bisa dikontrol remot, juga ada "rumah" yang tahan air, plus merekam video dengan SD card.

Selanjutnya adalah petualangan yang menyenangkan bagi GoPro dan Nick. Lepas dari 2004, penjualan GoPro selalu meningkat tiap tahun. Pada 2012, GoPro sudah menjual 2,3 juta kamera. Di tahun yang sama, perusahaan Foxconn asal Taiwan membeli 8,88 persen saham seharga $200 juta.

Saat ditanya kenapa GoPro bisa sukses dan digemari, terutama oleh petualang, Nick menjawab diplomatis: GoPro seperti mengajak orang lain untuk bertualang bersamamu. Ia benar. Dari video-video yang dihasilkan oleh GoPro, penonton seperti merasa ikut ada di sana. Nilai tambah lain, produk GoPro dikenal berukuran kecil, praktis, juga kuat. Cocok bagi para penggemar olahraga ekstrem. Mulai dari pesepeda downhill, pendaki gunung, hingga penerjun payung.

Seolah ingin mengajak orang lain ke jalan kesuksesan GoPro, perusahaan ini masuk ke pasar saham pada 2014. Ia disambut antusias. Pasalnya, tulis Mashable, tidak seperti perusahaan rintisan teknologi lain yang masuk pasar saham, GoPro sudah terbukti menguntungkan.

Baca juga: Perusahaan Energi Digeser Teknologi

Tahun 2013, GoPro menyebut menghasilkan pendapatan sebesar $986 juta. Dengan harga pembukaan $28,65 per lembar, perusahaan dengan nama GPRO di pasar saham itu berhasil menutup hari dengan harga saham seharga $31,34. Pada 2014, Nick mendapatkan paket unit saham terbatas seharga $284,5 juta. Angka itu membuat Nick menyodok ke peringkat satu sebagai pimpinan dengan pendapatan terbesar di perusahaan Amerika.

"Rupanya, kultur ekstrem juga diaplikasikan ke bagaimana GoPro membayar pendiri dan CEO-nya," tulis Matt Egan dari CNN Money.

Semua akan tampak baik-baik saja jika waktu berhenti. Tapi hitung maju ke Januari 2016. GoPro memecat 7 persen pekerjanya, atau sekitar 100 orang. Pendapatan GoPro mulai menurun. Pada akhir 2015, pendapatan GoPro sudah mulai tidak sesuai harapan. Harga saham pun mulai turun jadi hanya $24 per lembar.

Baca juga: GoPro yang Sedang Menukik Tajam

Hal itu diperparah dengan kemunculan produk yang semula diramalkan akan jadi unggulan: Karma. Ia adalah produk drone yang semula akan diluncurkan pada 2014, tapi terus tertunda hingga akhirnya berhasil dilepas ke pasar pada Oktober 2016.

Drone ini, sayangnya, dianggap produk gagal. Salah satu kisahnya pernah ditulis oleh Forbes, saat pria bernama Brian Warholak mengunggah video drone miliknya yang tiba-tiba kehilangan tenaga ketika berada di udara. Drone itu kemudian jatuh dengan deras, menabrak beberapa ranting pohon, sebelum jatuh berdebum di tanah. Video itu disebut sebagai salah satu pembuktian pertama gagalnya Karma.

Ternyata benar. Komplain mulai bermunculan. Hal ini memaksa GoPro untuk menarik sekitar 2.500 unit Karma pada November 2016. Di bulan yang sama, 200 orang pekerja GoPro kembali dirumahkan. Seolah tak berhenti, Maret 2017, GoPro kembali memecat 270 pekerja.

Dari segi pasar, GoPro sudah tak lagi memonopoli. Untuk kamera aksi, produk-produk GoPro harus bersikutan dengan produk serupa dengan harga lebih murah. Mulai dari TomTom, Olympus, Xiaomi, Sony, juga Garmin. Produk-produk itu perlahan memamah kue yang sebelumnya hanya dinikmati oleh GoPro.

Sedangkan di pasar drone, Karma jelas kena gebuk oleh produk dari perusahaan drone Cina, Dji. Saat ini, Dji adalah penguasa 85 persen pasar drone dunia. Perusahaan dengan valuasi $8 miliar ini punya produk andalan bernama Phantom yang saat ini sudah mencapai generasi keempat. Kesalahan GoPro, kata Craig Elder, adalah ambisi untuk turut bermain di pasar drone.

"Seperti kebanyakan orang," kata mantan direktur piranti lunak di perusahaan 3D Robotics ini, "GoPro meremehkan kesulitan untuk menciptakan mesin otonomus."

Baca juga: Drone, Antara Mainan dan Senjata Mematikan

Infografik GoPro

Bulan Januari 2018, keadaan GoPro tak bertambah baik. Mereka memberhentikan 200 hingga 300 pegawai. Perusahaan ini juga memangkas gaji Nick. Tahun ini ia hanya akan menerima $1, alias Rp13 ribu, dari yang awalnya $800 ribu plus $300 ribu bonus.

CNBC melaporkan bahwa GoPro menunjuk perusahaan finansial J.P Morgan Chase untuk mencari investor yang tertarik membeli perusahaan. Sebelumnya, J.P Morgan Chase adalah pihak yang membantu GoPro untuk melantai di bursa saham.

"Kalau ada kesempatan bagi kami untuk bergabung dengan perusahaan yang lebih besar dan membuat GoPro lebih besar, itu hal yang kami cari," kata Nick seperti dikutip CNBC.

Belum ada yang tahu bagaimana nasib GoPro selanjutnya. Jika ada pembeli yang tertarik untuk mengakuisisi GoPro, perusahaan ini masih bisa bernapas lebih panjang. Tapi kalau nihil, perjuangan GoPro akan semakin berat. Apalagi para pesaingnya jelas tak mau mengendurkan tuas gas setelah mendengar kesulitan yang dialami GoPro.

Baca juga artikel terkait GOPRO atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Bisnis
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani