tirto.id - Kamis, 21 April 2016, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah rumah mewah milik Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi di kawasan elite Hang Lekir, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Penyidik KPK mengamankan uang mencapai Rp1,7 miliar dan sejumlah dokumen. Sore harinya, KPK mencegah Nurhadi bepergian ke luar negeri selama 6 bulan ke depan.
Penggeledahan itu merupakan tindak lanjut dari operasi tangkap tangan (OTT) panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution oleh komisi antirasuah. Edy ditangkap KPK bersama seorang swasta Doddy Aryanto Supeno yang diduga sebagai penyuap. Kini, keduanya mendekam di rutan KPK.
OTT itu dilakukan seusai Doddy memberikan uang Rp50 juta kepada Edy dari komitmen seluruhnya Rp500 juta terkait pengurusan perkara Peninjauan Kembali (PK) di PN Jakpus. Dalam pemeriksaan keduanya, penyidik menemukan indikasi keterlibatan Nurhadi. Pria kelahiran 30 September 1969 itu juga sudah berkali-kali diperiksa sebagai saksi dalam kasus suap ini.
Sosok Nurhadi memang kontroversial. Sejak dilantik sebagai Sekretaris MA pada 22 Desember 2011 silam, banyak tindakannya yang mengundang kontroversi. Misalnya, ia menggelar pementasan wayang kulit semalam suntuk pada September 2012. Nurhadi dalam tasyakuran itu bahkan dikabarkan memborong sejumlah hotel bintang lima di Semarang, serta menyewa 4 helikopter dari Semarang-Kudus yang diperuntukkan bagi undangan khusus yang diterbangkan dari Jakarta.
Nurhadi kembali mempertontonkan tindakan kontroversialnya saat menggelar resepsi pernikahan anaknya pada Maret 2014 lalu. Pesta pernikahan yang diselenggarakan di Hotel Mulia, Jakarta itu menyediakan souvenir berupa alat pemutar musik iPod shuffle versi 2 GB dan penginapan buat tamunya di hotel yang sama.
Buntut dari souvenir iPod itu, Koalisi Masyarakat Sipil meminta MA agar mencopot Nurhadi dari jabatannya sebagai sekretaris. Sebab, pesta pernikahan putri Nurhadi digelar secara mewah dan para tamu yang hadir dikasih souvenir berupa iPod. Koalisi Masyarakat Sipil menilai hal tersebut sebagai bentuk gratifikasi.
Perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil yang juga peneliti Indonesia Legal Rountable (ILR), Erwin Natosmal Oemar mengatakan, jika dikaitkan dengan profil Nurhadi sebagai pegawai negeri sipil (PNS), pernikahan mewah tersebut di luar nalar akal sehat. Hal itu tidak berbanding dengan penghasilannya sebagai PNS dan biaya resepsi pernikahan mewah yang mencapai Rp10 miliar. “Dari mana Nurhadi mendapatkan uang untuk membiayai semua pengeluaran itu?” ujarnya seperti dilansir laman hukumonline.com, 20 Maret 2014 silam.
Saat itu, KPK juga tidak tinggal diam. Juru bicara KPK Johan Budi meminta agar para pejabat yang menerima iPod di pernikahan anak Nurhadi melapor ke KPK. Menurut Johan, penerimaan iPod tersebut dapat digolongkan sebagai gratifikasi.
Namun, Nurhadi mendapat pembelaan dari Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi). Mereka menilai pemberian iPod Shuffle oleh Nurhadi kepada hakim dan pejabat MA bukan sebagai gratifikasi. Alasannya, harga iPod tersebut saat dibeli tidak mencapai Rp500 ribu. Karena itu, Ketua Ikahi cabang MA yang juga Hakim Agung Gayus Lumbuun mengatakan, pihaknya berpendapat hakim yang menerima iPod itu tak perlu melapor dan menyerahkannya ke komisi antirasuah. Dasar keputusan ini adalah nota pembelian iPod, di mana dalam nota, iPod itu dihargai Rp480 ribu per unit. Keputusan ini juga yang menyelamatkan Nurhadi dari jerat gratifikasi.
Good Boy and Bad Boy
Publik, khususnya para penggiat antikorupsi boleh saja mencemooh MA karena sosok Nurhadi yang dinilai jauh dari harapan pemberantasan korupsi. Namun, para aktivis antikorupsi menjadi lega ketika melihat MA juga memiliki sosok yang tak kalah kontroversialnya, yaitu Hakim Agung Artidjo Alkostar.
Hakim yang dikenal “kiler” bagi terdakwa korupsi itu seolah-olah menjadi antitesa dari sosok Nurhadi. Komitmen dan sikap Artidjo terhadap pemberantasan korupsi sudah tak terbantahkan dari putusan-putusannya. Beberapa putusan kasasi yang diajukan oleh sejumlah pejabat publik yang korup, Artidjo selalu mengganjarnya dengan hukuman berat.
Tak tanggung-tanggung, pria yang ikut membidani lahirnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta ini dijuluki si “Hakim Gila” karena putusan-putusannya yang memberatkan koruptor. Misalnya, Angelina Sondakh dari 4 tahun penjara menjadi 12 tahun, Lutfi Hasan Ishaq dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara, Anas Urbaningrum dari 8 tahun menjadi 14 tahun penjara, dan masih banyak putusan lainnya yang dianggap berani dan kontroversial.
Melihat track record dua aktor MA yang bertolak belakang itu, publik bebas menilai dengan kacamata masing-masing. Jika Nurhadi ibarat bad boy di MA, maka Artidjo patut menyandang julukan sebagai good boy dalam komitmen pemberantasan korupsi.
Kalau diilustrasikan, institusi MA di mata publik mendadak suram saat melihat track record Nurhadi, namun berubah menjadi cerah ketika melihat sosok Artidjo Alkostar yang berani dan tanpa kompromi dalam memberikan hukuman berat bagai para koruptor, meskipun ada sebagian pihak yang mempersoalkan putusan Artidjo tersebut.
Perbedaan antara Nurhadi dan Artidjo memang cukup mencolok. Jika Artidjo berjuang mengangkat nama baik institusi MA sebagai lembaga yang “agung”, maka seolah-olah kasus OTT KPK terhadap panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution yang ikut menyeret nama Nurhadi mencoreng reputasi MA sebagai lembaga hukum tertinggi.
Reputasi MA yang dibangun Artidjo dan hakim agung lainnya seolah-olah tenggelam oleh track record Nurhadi. Situasi ini tepat digambarkan dalam sebuah ungkapan “nila setitik rusak susu sebelanga” karena kesalahan yang sedikit, kebaikan yang banyak terhapuskan”.
Perlu Pembenahan
MA boleh berbangga diri memiliki Hakim Agung seperti Artidjo Alkostar yang sepak terjangnya membuat para koruptor keder. Namun, kalau secara kelembagaan tidak berbenah, maka kepercayaan publik lambat laun akan semakin menipis, sebab track record seseorang tidak bisa jadi ukuran, seperti kalimat bijak “kebaikan yang tidak terorganisir dengan baik akan dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir”. Karena itu, pembenahan institusi dan penguatan sistem menjadi penting.
Mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) Eman Suparman mengatakan, MA sudah saatnya melakukan reformasi internal, karena lembaga itu dinilai banyak pihak gagal dalam melakukan pembinaan, rotasi dan rekrutmen para hakim. Dalam konteks ini, Presiden Joko Widodo perlu turun tangan segera membantu mereformasi kelembagaan MA.
Menurut Eman, banyaknya hakim dan panitera yang ditangkap dalam operasi tangkap tangan oleh KPK, termasuk Sekretaris MA Nurhadi yang diduga terlibat dalam suap yang menyeret panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution, menunjukkan terjadi kegagalan lembaga tinggi di bidang peradilan itu.
“Jangan bermimpi ada seorang hakim yang tidak punya koneksi dengan para hakim agung di MA akan mendapatkan posisi baik, meskipun mereka itu sudah mengabdikan dirinya dengan baik puluhan tahun,” kata Eman seperti dikutip Antara.
Dosen Universitas Padjajaran itu menambahkan, rotasi dan promosi para hakim harus didasarkan atas kinerja yang dilihat dari output putusan dan rekam jejaknya, jangan sampai rotasi dan promosi para hakim itu karena kedekatan dengan pejabat. Karena itu, kata kuncinya adalah MA harus berbenah.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti