tirto.id - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui hasil tes Polymerase Chain Reaction (PCR) COVID-19 bisa saja salah. Ia menekankan bahwa tidak ada alat yang 100 persen akurat guna mendeteksi COVID-19.
"Tidak ada tes PCR yang 100 persen sempurna karena baik dari sensivitas maupun spesifisitasnya itu kisarannya antara 95 sampai 99 persen," kata Budi dalam keterangan secara daring, Senin (7/2/2022).
Beberapa waktu lalu marak pertanyaan soal adanya sejumlah masyarakat yang tes COVID berstatus negatif, tetapi di laboratorium lain berstatus positif. Hal tersebut diungkapkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno saat menerima laporan adanya wisatawan asing dengan hasil tes COVID-19 berbeda. (https://www.instagram.com/p/CZbv1Cxpi_s/) (https://www.instagram.com/p/CZT4wzrJjPQ/).
Selain itu ada juga keluhan seorang warga sudah dinyatakan positif COVID-19 di salah satu laboratorium, padahal ia belum melakukan tes PCR.
Budi lantas mengakui bahwa angka tes cOVID-19 yang diterima bisa saja salah. Ia mengakui bahwa ada 5.000 hasil tes dengan hasil false positive saat angka tes Indonesia sempat 500 ribu tes per hari.
"Jadi kalau kita tesnya kemarin sempet 500 ribu tes sehari ada 1 persen itu 5 ribu yang bisa miss. Tidak ada tes PCR di mana pun di dunia ini yang 100 persen," tutur Budi.
Oleh karena itu, pemerintah, kata Budi, membolehkan adanya tes pembanding. Hal tersebut juga sebagai upaya pemerintah menghadapi polemik hasil tes warga luar negeri yang berstatus negatif di luar negeri tetapi positif di dalam negeri.
Pemerintah membolehkan peserta melakukan tes pembanding di dua laboratorium lain yang terakreditasi pemerintah.
"Kalau 2 dari 3 bilang positif, itu positif," kata Budi.
"Jadi yang pertama tidak ada di manapun di dunia 100 persen PCR tepat. Selalu ada selisihnya dan kami memberikan kesempatan kalau misalnya ada yang datang kemudian dia ragu dia bisa tes banding," lanjutnya.
Selain itu, pemerintah juga menjawab soal kemunculan reagen khusus tes COVID-19 varian Omicron. Dulu, pemerintah mengakui bahwa perlu reagen khusus untuk mendeteksi varian Omicron, tetapi sudah tidak menjadi persoalan lagi.
"Reagen khusus itu memang dibutuhkan untuk identifikasi Omicron tapi sekarang karena sebagian besar saya rasa di seluruh Indonesia sudah Omicron ya tidak terlalu diperlukan lagi karena kita hanya perlu hitung untuk melihat deteksi penyebarannya seperti apa," tutur Budi.
Budi juga menjawab soal kesulitan sejumlah klinik untuk memasukkan informasi hasil tes ke PeduliLindungi. Ia mengaku angka tes yang dilaporkan ke PeduliLindungi rerata 250-300 ribu tes, tetapi per kemarin sudah mulai naik di angka 500 ribu.
Budi mengaku data yang masuk bisa keliru lantaran petugas melakukan kesalahan. Hal tersebut diakibatkan beban data yang perlu diinput tidak seimbang dengan jumlah sumber daya manusia (SDM).
"Kami menyadari itu sekarang kami sudah melakukan koneksi online antara lab-lab besar ini," kata Budi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto