tirto.id - Apabila boleh digambarkan dengan sebuah film mengenai hubungan antara sepasang kekasih, hubungan antara Indonesia dengan Australia mungkin dapat menjadi sebuah drama yang menarik. Plotnya akan rumit, diiringi dengan bumbu-bumbu kecurigaan yang tidak beralasan.
Konflik terus menerus muncul – biasanya dipicu oleh isu terorisme, imigran, serta paranoia kosong – tapi pada akhirnya keduanya akan selalu rujuk.
Kedua negara sadar betul mereka saling membutuhkan, tidak hanya di bidang politik dan bisnis, tetapi juga pendidikan dan pariwisata. Letak geografisnya yang saling berdekatan menjadi satu dari beberapa alasan utama mengapa meskipun sering berkonflik, keduanya selalu balik kucing.
Terlepas dari naik-turunnya hubungan kedua negara, di mana akhir-akhir ini pemerintah kedua negara – berikut para politisinya – mengklaim kedekatan keduanya, hasil penelitian terbaru menunjukkan sebuah fakta yang menarik akan pandangan masyarakat Indonesia terhadap Australia, begitu pun sebaliknya.
Fakta mengatakan, masyarakat Indonesia relatif respek terhadap Australia, namun sayang beribu sayang, perasaan itu tidak berbalas.
Pada 15 Agustus lalu, menjelang hari Kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus, sebuah penelitian yang dilakukan oleh EY Sweeney untuk Australia-Indonesia Centre (AIC) dirilis. Penelitian berjudul "Australia Indonesia Perceptions Report 2016" itu merupakan penelitian terbesar mengenai hubungan Australia dengan Indonesia, dengan melibatkan lebih dari 4.000 wawancara dan 24 focus group di kedua negara.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan lebih dari 80 persen dari 2.103 responden Indonesia melihat Australia dengan kacamata yang positif. Mereka menilai Australia merupakan negara yang progresif, indah, berpendidikan tinggi, bersih, maju serta sejahtera. Apabila dilihat secara menyeluruh, hanya kurang dari 5 persen responden yang menyatakan tidak setuju terhadap masing-masing dari pernyataan tersebut.
Persepsi tersebut tidak mengherankan, terutama karena sudah menjadi pengetahuan umum bahwa banyak dari mahasiswa asal Indonesia yang belajar di Negeri Kangguru itu. Dengan sejumlah universitas yang mampu menembus peringkat 50 besar dunia, hal tersebut bukanlah sesuatu yang mengherankan.
Sekitar 13.000 mahasiswa Indonesia terdaftar di lebih dari 17.100 program pendidikan pada 2013 di universitas-universitas Australia, menjadikan Indonesia sebagai sumber terbesar ketujuh dari siswa internasional di negeri tersebut.
Sebaliknya, sebesar 54 persen dari 2.008 responden Australia mengatakan Indonesia bukanlah negara yang bersih. Selain itu, sebesar 53 persen memandang Indonesia sebagai negara yang tidak aman, 44 persen melihat Indonesia bukanlah negara yang dapat dipercaya, dan 49 persen memiliki persepsi masyarakat Indonesia tidak memiliki pemikiran yang terbuka.
Sebuah fakta memilukan, mengingat banyaknya masyarakat Indonesia yang belajar di Australia.
Tidak semuanya buruk memang. Sebab, sebesar 45 persen responden Australia melihat Indonesia sebagai sebuah negara yang indah. Sebanyak 68 persen responden Australia juga memandang masyarakat Indonesia religius, meskipun citra religius masih sangat terbuka untuk diperdebatkan sebagai sebuah citra positif atau negatif. Sebagai catatan, dengan persentase sedemikian besar, citra religius sangat mendominasi citra Indonesia di mata Australia.
Hal yang cukup menenangkan adalah, citra tersebut muncul karena masih sedikitnya masyarakat Australia yang mengerti Indonesia dengan baik. Hanya 19 persen responden mengatakan mereka memiliki pemahaman yang baik mengenai Indonesia.
Angka tersebut cukup jauh jika dibandingkan dengan angka yang muncul dari responden Indonesia ketika mereka dihadapkan pada pertanyaan yang sama. Sebanyak 43 persen responden Indonesia menyatakan mereka memiliki pemahaman yang baik terhadap Australia.
Figur tersebut ironis mengingat, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, hampir separuh responden Australia mengatakan masyarakat Indonesia tidak memiliki pemikiran yang terbuka. Hal ini berlanjut pada fakta lain yang cukup lucu, di mana sebanyak 39 persen responden Australia mengatakan mereka ingin belajar lebih banyak mengenai Indonesia, namun sebesar 42 persen mengatakan tidak tertarik.
Seperti dikutip dari The Sydney Morning Herald, "Riset tersebut telah menunjukkan bahwa jarak yang harus ditempuh untuk membangun hubungan yang lebih dekat antara kedua negara masih sangat signifikan – terutama dari pihak Australia."
Indonesia dan Australia hingga saat ini masih memiliki sejumlah masalah yang harus diselesaikan hingga akarnya, terutama pada isu imigran gelap dan pengungsi, dalam hal ini boat people, serta masalah hukuman mati yang diterapkan di Indonesia.
Meski demikian, di sektor perdagangan sudah menunjukkan arah yang lebih positif. Hal itu ditunjukkan melalui komitmen yang ditunjukkan oleh kedua negara untuk menyelesaikan kesepakatan mengenai perdagangan bebas (Free Trade Agreement) dalam tempo satu setengah tahun ke depan.
Sebagian besar responden, baik itu Australia (50 persen) maupun Indonesia (39 persen) juga sepakat bahwa sektor perdagangan antar kedua negara perlu untuk lebih ditingkatkan.
Bidang pariwisata pun menunjukkan hubungan yang positif pula. Dalam rilis yang dikeluarkan oleh Kedutaan Besar Australia di Indonesia, masyarakat Australia nyatanya lebih memilih Indonesia dibandingkan Selandia Baru untuk destinasi wisata nomor satunya pada bulan Juni kemarin.
Pada bulan tersebut, sebanyak 116.000 warga Australia berkunjung ke Tanah Air, sebuah rekor angka tertinggi dalam sejarah. Penelitian AIC sendiri menyatakan sebanyak 72 persen responden Australia sangat tertarik dengan budaya Indonesia, 58 persen tertarik dengan sejarah, serta 50 persen tertarik untuk belajar mengenai makanan Indonesia.
Direktur AIC Paul Ramadge menegaskan, tujuan dari penelitian yang itu adalah untuk memulai diskusi tentang bagaimana meningkatkan hubungan kedua negara.
"Temuan tersebut menunjukkan, sekarang saatnya bagi warga Australia untuk mempelajari kembali Indonesia dan berpikir tentang peluang akan kesadaran budaya bersama, program pendidikan dan pertukaran mahasiswa seperti New Colombo Plan, kemitraan bisnis dan wisata dua arah selain Bali dan tujuan wisata tradisional di Australia," tulis Ramadge dan peneliti utama dari penelitian tersebut, Marc L'Huillier.
Dengan bibit-bibit ketertarikan positif yang telah ada tersebut, semoga ke depan Indonesia tidak lagi menjadi pihak yang bertepuk sebelah tangan dengan Australia. Sebab bertepuk sebelah tangan itu perih bung!
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti