Menuju konten utama

Geng Motor Jepang Beraksi di Depok, Bagaimana Menyikapinya?

Anak-anak dan remaja yang melakukan kejahatan mesti diperlakukan sebagai korban.

Geng Motor Jepang Beraksi di Depok, Bagaimana Menyikapinya?
Polisi melakukan olah TKP seusai penjarahan yang dilakukan sekelompok pemuda diduga geng motor di toko pakaian kawasan Jalan Sentosa Raya, Sukmajaya, Depok, Jawa Barat, Minggu (24/12/2017). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

tirto.id - Waktu masih menunjukkan pukul 04.42 saat puluhan remaja bermotor menyatroni toko Fernando Store di Jalan Sentosa Raya Kota Depok pada Sabtu (24/12) lalu. Bermodalkan senjata tajam dan keberanian bermental keroyokan, mereka menggasak puluhan pakaian yang ditotal senilai Rp13.100.000.

Tak lebih dari 24 jam aparat kepolisian dari Polres Depok sudah berhasil menciduk 26 pelaku. Tiga di antara mereka adalah perempuan dan beberapa lainnya anak di bawah umur serta remaja. Polisi mengindentifikasi para pelaku sebagai anggota Geng Motor Jepang akronim dari Jembatan Mampang, RBR, dan Matador.

Aksi kriminal oleh geng motor bukan baru kali ini terjadi. Dalam sejumlah kasus para anggota geng motor bahkan tak segan melukai korbannya seperti yang dilakukan geng motor Moonraker (Kabupaten Bogor), geng motor di Jalan Salemba Raya (Jakarta Pusat), geng motor Anak Stres 378 (Bekasi), geng motor Kancil (Depok), geng motor Tangki (Bekasi), geng motor Brigez, Moonracer, XTC (Bekasi), geng motor Buster (Bekasi).

Ironisnya, aksi-aksi kriminal oleh geng motor tidak sedikit melibatkan para remaja. Bagaimana cara menyikapinya?

Pemerhati sosial dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati mengatakan geng motor menjadi magnet bagi remaja yang sedang mencari jati diri. Hal ini karena geng motor menyediakan kehangatan yang tidak terdapat dalam keluarga.

“Geng motor menyediakan kehangatan keluarga berupa pertemanan dan persahabatan,” kata Devie kepada Tirto.

Devie melihat motivasi para remaja bergabung ke geng motor juga untuk mendapatkan pengakuan diri. Ia menjelaskan geng motor menyediakan semacam kesuksesan yang tidak didapat para remaja di sekolah, rumah, dan lingkungan sekitar. Kesuksesan dalam geng motor ditentukan oleh tingkat keberanian dalam mengambil risiko.

“Ini menjelaskan aksi perampokan yang mereka lakukan bukan semata urusan ekonomi tapi untuk membentuk eksistensi identitas: ‘saya bisa’,” ujar peraih gelar doktor bidang komunikasi dari Universitas Swansea ini.

Pengakuan atas kesuksesan menurut Devie merupakan aspek yang paling dicari para remaja. Persoalannya, masyarakat cenderung mempersempit makna kesuksesan. Ia mencontohkan seorang remaja atau anak dianggap sukses hanya apabila berprestasi di sekolah dan ekstrakurikuler tertentu seperti olimpiade, basket, futsal, kesenian. Sementara keahlian remaja seperti memodifikasi motor dan mengedit video tidak dianggap sebagai prestasi.

“Artinya, anak-anak itu [tidak] diberi ruang mengidentifikasi diri mereka seperti apa,” katanya.

Infografik Catatan Kriminal Geng Motor

Kriminolog Universitas Indonesia Iqrak Sulhin membedakan geng dalam tiga tipologi: geng kekerasan, geng kriminal, dan geng retreatist. Ia menjelaskan geng kekerasan beroperasi dengan tujuan untuk menegaskan teritori dan wilayah kekuasaan. Misalnya merusak kendaraan atau properti orang lain tanpa maksud merampas.

Selanjutnya adalah geng kriminal yang menjalankan aktivitasnya dengan motif ekonomi seperti kelompok preman. Terakhir geng retreatist yakni geng yang terbentuk karena kegagalan menjadi geng kriminal atau geng kekerasan. Biasanya aktivitas mereka mengkonsumsi minuman keras atau narkoba.

“Kalau [penjarahan toko pakaian di Depok] spontan, masuk geng kekerasan. Untuk menegaskan eksistensi dan tidak berniat menguasai properti atau motif ekonomi,” ujarnya.

Sulhin mengatakan biasanya remaja yang bergabung menjadi anggota geng motor tidak memiliki orientasi kriminal. Kalau pun pada akhirnya mereka terlibat dalam tindakan kriminal hal itu merupakan reaksi dari lemahnya peran keluarga dalam membangun sistem kendali.

“Pendidikan anak mengandalkan sekolah, namun tentu sekolah tidak akan dapat berperan maksimal,” katanya.

Penjarahan toko pakaian di Depok oleh geng motor menurut Sulhi tidak berarti kepolisian kecolongan. Namun, ia meminta polisi lebih aktif membangun kerjasama dengan masyarakat untuk melakukan deteksi dini atas persoalan serupa.

“Saya kira bukan tidak terdeteksi, namun lebih disebabkan karena memang sifat geng untuk merahasiakan diri,” katanya.

Sulhi juga berharap polisi melakukan pendekatan-pendekatan hukum nonformal dalam upaya mengatasi geng motor remaja. Ia khawatir pendekatan hukum formal malah akan membuat para remaja mendapatkan role model kejahatan baru saat di penjara. Sulhi menyarankan agar polisi atau balai pemasyarakatan memfasilitasi masyarakat untuk memusyawarahkan perlakuan terbaik bagi mereka.

“Anak-anak yang terlibat kejahatan mesti diposisikan sebagai korban dari situasi yang melingkupi dirinya terlebih dahulu,” kata Sulhin.

Psikolog Elizabeth Santosa menyebut remaja usia 12 tahun hingga 18 tahun merupakan masa-masa transisi dari remaja menuju dewasa. Rentang usia tersebut menurut Eliza merupakan masa-masa pencarian jati diri. Sehingga mereka amat mudah dipengaruhi faktor lingkungan dan pergaulan. “Biasanya mereka mengobservasi sekeliling. Mencontoh teman-teman. Ini biasanya kalau salah arah bisa terperosok,” ujar dosen paruh waktu di Swiss German University ini.

Orang tua, kata Elizabeth, berperan penting dalam mensupervisi pembentukan jati diri anak dari remaja menuju dewasa. Sayangnya tak semua orang tua mampu memainkan peran itu secara optimal. Elizabeth mencontohkan banyak orang tua cenderung bersikap otoriter saat menyampaikan suatu larangan. Mereka tidak bisa membangun komunikasi yang argumentatif agar larangannya dipatuhi. Padahal meski belum bisa berpikir matang, remaja sudah memiliki sikap kritis.

“Orangtua perlu bijak dalam melarang. Karena remaja memang tidak mudah diajak komunikasi,” kata penulis buku Raising Children in Digital Era ini.

Namun begitu, Elizabeth menyadari fenomena kekerasan geng motor yang melibatkan remaja bukan tanggung jawab orangtua semata. Persoalan ini menurutnya merupakan bentuk buruknya sistem pendidikan terhadap anak. Ia meminta negara melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dasar, Kementerian Perlindungan Anak dan Perempuan, dan bahkan Kementerian Kesehatan melakukan langkah-langkah komprehensif untuk membentuk kepribadian anak ke arah yang positif.

“Ini PR besar kita semua,” ujarnya.

==========

HAK JAWAB:

Kami menginformasikan bahwa pemberitaan ini ada kesalahan infografik soal "Catatan Kriminal Geng Motor" yang melibatkan nama organisasi kami. Sampai saat ini, pemberitaan mengenai catatan kriminal Moonraker yang telah diberitakan di Tirto ataupun media-media lain itu adalah hoax dan tidak mendasarkan diri pada aturan organisasi kami. Karena itu kami perlu menyampaikan:

1. MOONRAKER INDONESIA adalah bentuk perkumpulan berbadan hukum dengan SK KEMENKUMHAM NO. AHU-0034827.AH.01.07 Tahun 2015 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Moonraker yang harus dijaga keberadaan dan fungsinya.

2. Keberadaan DPP MOONRAKER beserta DPC/PAC/Ranting sudah ditetapkan oleh SK Dewan Pimpinan Pusat MOONRAKER Nomor. 001/DPP-MISC/11/2017 tanggal 24 November 2017.

3. Dalam mengelola organisasi, kami mengacu pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Moonraker Indonesia yang ditetapkan di Bandung, 5 September 2015.

4. Maka, dalam rangka menjaga/mengamankan aset pemuda-pemudi Indonesia yang tergabung dalam Organisasi Komunitas Moonraker Indonesia Sport Club, kami mohon agar tidak memberitakan Moonraker sebagai geng motor kriminal.

Demikian kami sampaikan. Terima kasih.

Yunarko, A.Md

Badan Promosi dan Publikasi Moonraker Indonesia

Baca juga artikel terkait GENG MOTOR atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Maulida Sri Handayani