tirto.id - Sinta baru saja membeli satu unit apartemen di Jalan Pramuka, Jakarta Pusat awal 2017 lalu dengan fasilitas kredit pemilikan apartemen (KPA). Pertimbangan wanita asal Bandung ini karena selain dekat dengan tempat kerja, apartemen dianggap lebih terjangkau daripada rumah tapak.
“Saya sebenarnya ingin beli rumah tapak. Siapa yang enggak mau. Tapi, harganya mahal. Harga rumah di daerah pinggiran saja sudah di atas Rp600 juta. Ada sih yang murah, tapi lokasinya itu lho, jauh banget,” katanya kepada Tirto.
Harga rumah tapak di Jakarta Selatan seperti Kebagusan, Jagakarsa dan sekitarnya sudah berada di atas Rp1,5 miliar. Di perbatasan seperti Bintaro Jakarta dan Tangerang Selata, harga jual rumah tapak sudah di kisaran Rp600-Rp800 juta.
Sedangkan harga apartemen menengah di Jakarta Selatan dalam rentang Rp350-Rp800 juta. Di Pancoran, Kalibata, dan Kebagusan, apartemen dengan dua kamar tidur hanya Rp350 juta-Rp460 juta dan tiga kamar tidur sekitar Rp700 juta.
Peminat hunian vertikal di kota-kota besar seperti Jakarta bukan hanya Sinta saja. Berdasarkan Survei Rumah.comProperty Affordability Sentiment Index H2-2017 ada 57 persen dari 1.020 responden di Indonesia memilih apartemen sebagai tipe hunian yang akan dibeli. Padahal tahun lalu pada survei yang sama peminatnya masih 35 persen.
Lokasi apartemen yang dekat dengan pusat perkantoran, transportasi, dan bisnis memang jadi daya pikat bagi konsumen untuk memilikinya, terutama dengan cara mencicil. Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia September 2017 (hal 139), penyaluran kredit perbankan untuk apartemen per September 2017 naik 12 persen menjadi Rp14,24 triliun dari September 2016.
Angka pertumbuhan kredit pemilikan apartemen (KPA) September merupakan yang tertinggi. Tren penyaluran KPA terus tumbuh sepanjang tahun ini, pada Januari 2017 masih Rp12,8 triliun, dan Maret naik jadi Rp13 triliun. Kenaikan penyaluran kredit ini menunjukkan ada geliat permintaan hunian vertikal khususnya apartemen.
Baca juga: Mencari Rumah Rp350 juta di Jakarta, Antara Ada dan Tiada
Berkah Bagi Emiten Properti
Membaiknya permintaan hunian, terutama apartemen menjadi berkah bagi sebagian emiten properti. Dari delapan emiten yang memiliki market cap terbesar, empat perusahaan properti di antaranya mencatatkan kinerja pendapatan positif sepanjang Januari-September 2017.
Baca juga: Trend Positif Bisnis Properti Diperkirakan Terus Berlanjut
PT Bumi Serpong Damai Tbk. (BSDE) menjadi perusahaan properti yang paling bersinar. BSD mencatatkan kenaikan pendapatan sebesar 37 persen menjadi Rp5,82 triliun dari periode yang sama tahun lalu.
Pendapatan BSD didorong dari penjualan tanah dan bangunan yang naik 42 persen menjadi Rp4,24 triliun. Selain itu, pendapatan perseroan juga ditopang dari penjualan tanah dan bangunan strata title atau bangunan bertingkat sebesar Rp590,8 miliar, atau naik 74 persen. Dari capaian itu, laba bersih yang diraup mencapai Rp2,45 triliun, tumbuh 88 persen.
Selanjutnya PT Pakuwon Jati Tbk (PWON). Perusahaan yang sudah berdiri sejak 1982 itu berhasil memperoleh pendapatan senilai Rp4,39 triliun, tumbuh 21 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Hampir seluruh lini pendapatan perseroan mencatatkan kenaikan, seperti pendapatan sewa, jasa pemeliharaan, hotel, penjualan kondominium, kantor dan lainnya. Hanya penjualan tanah dan bangunan saja yang mengalami koreksi.
Penjualan kondominium dan kantor menjadi lini pendapatan paling cemerlang dengan meraup Rp1,62 triliun, naik 54 persen. Dari capaian itu, laba bersih Pakuwon menembus Rp1,54 triliun, naik 10 persen.
Emiten lainnya yang mendapatkan untung dari penjualan apartemen adalah PT PP Properti Tbk. (PPRO). Anak usaha PT Pembangunan Perumahan Tbk. (PTPP) ini berhasil meraup penjualan apartemen senilai Rp1,7 triliun, naik 16 persen dari Rp1,46 triliun.
Dengan penjualan apartemen tersebut, total pendapatan yang diperoleh PP Properti mencapai Rp1,79 triliun, tumbuh 15 persen dari Rp1,56 triliun. Dari hasil itu, laba bersih yang didapat mencapai Rp274,91 miliar, naik 6 persen.
Terakhir, PT Summarecon Agung Tbk. (SMRA). Perusahaan yang merupakan pioner dalam pengembangan Kelapa Gading, Jakarta ini, juga merasakan gurihnya penjualan apartemen, yakni sebesar Rp1,49 triliun, naik 42 persen dari Rp1,05 triliun
Sayangnya, penjualan yang melesat itu tidak diikuti dengan penjualan dari rumah. Tercatat, penjualan rumah merosot hingga 37 persen menjadi Rp751,01 miliar. Meski total pendapatan perseroan tumbuh 11 persen menjadi Rp3,99 triliun, laba bersih Summarecon terkoreksi menjadi Rp238,75 miliar, turun 5 persen.
Sementara itu, kinerja pendapatan 4 emiten lainnya justru terkoreksi. Empat emiten itu yakni PT Plaza Indonesia Realty Tbk. (PLIN), PT Jaya Real Property Tbk. (JRPT), PT Ciputra Development Tbk. (CTRA) dan PT Metropolitan Kentjana Tbk. (MKPI).
Jaya Real Property mencatatkan hasil yang bagus dari penjualan kondominium dengan meraup penjualan sebesar Rp166,56 miliar, naik 88 persen. Sayangnya, penjualan kavling dan bangunan anjlok cukup dalam, sehingga total pendapatan emiten terperosok 6 persen menjadi Rp1,61 triliun.
Hal yang berbeda terjadi di Ciputra Development, penjualan apartemen Ciputra justru anjlok 34 persen menjadi Rp421,69 miliar. Kondisi ini juga diperparah dengan penjualan hunian dan ruko yang turun 5 persen menjadi Rp2,31 triliun.
Beruntung, kinerja pendapatan berulang atau recurring income Ciputra cukup positif, tumbuh 7 persen menjadi Rp1,2 triliun. Secara total, pendapatan Ciputra hanya terkoreksi 2 persen menjadi Rp4,35 triliun.
Direktur Investa Saran Mandiri Yohanis Hans Kwee menilai kondisi demikian karena harga rumah tapak yang sudah terlampau tinggi, sehingga mendorong masyarakat untuk mencari alternatif hunian lain.
“Daya beli masyarakat saat ini memang terbatas. Konsumsi dikurangi, namun demand untuk rumah tinggal itu masih ada. Harga apartemen saat ini bervariasi, tapi masih terjangkau,” katanya kepada Tirto.
Baca juga: Properti Kian Tidak Terbeli
Pandangan yang sama juga diutarakan oleh Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Hari Gani. Menurutnya, tantangan untuk membangun rumah tapak khususnya untuk yang bersubsidi oleh pengembang semakin besar. Harga tanah yang naik setiap tahunnya tanpa terkendali jadi masalah besar. Imbasnya, margin keuntungan pengembang dalam membangun rumah bersubsidi semakin kecil. Pengembang mencoba memaksimalkan pendapatan dari hunian vertikal dengan lahan yang terbatas dan harganya yang terus naik.
“Memang kenaikan harga tanah itu hantu yang sangat mengganggu kami dari sektor properti. Kenaikan harga tanah itu jauh dari pergerakan inflasi. Lama-lama REI makin berat bangun rumah murah," tuturnya kepada Tirto.
Di negara-negara maju, industri properti memang mengarah ke bangunan vertikal. Di kota-kota besar di Jakarta tren ini perlahan mulai terjadi saat hunian vertikal yang dekat pusat kota dengan harga terjangkau akhirnya jadi pilihan.Namun, sayangnya regulasi soal hunian vertikal di Indonesia masih belum maksimal melindungi konsumen, kasus-kasus sengketa konsumen dan pengembang kerap mewarnai geliat properti rumah bertingkat.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra