Menuju konten utama
Periksa Data

Gelembung Start-Up Bocor di Tengah Tren Positif Ekonomi Digital?

Gelombang PHK masif dilakukan beberapa start-up, apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana skena start-up Indonesia?

Gelembung Start-Up Bocor di Tengah Tren Positif Ekonomi Digital?
Header Periksa Data Gelembung Start-up Bocor di Tengah Tren Positif Ekonomi Digital. tirto.id/Quita

tirto.id - Fenomena ledakan gelembung atau bubble burst dalam dunia start-up, atau perusahaan rintisan, tengah menjadi wacana publik. Hal ini dipantik oleh Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang terjadi belakangan. Dalam sepekan saja, sekira 3 perusahaan rintisan melakukan PHK terhadap karyawannya, dimulai dari layanan keuangan digital LinkAja, disusul start-up teknologi edukasi Zenius dan e-commerceJD.ID.

Dilansir CNN Indonesia, LinkAja berdalih bahwa alasan PHK dilakukan untuk efisiensi sumber daya manusia (SDM) dan fokus pada bisnis perusahaan saat ini. Sementara manajemen Zenius, yang melakukan PHK terhadap 25 persen karyawannya atau setara lebih dari 200 orang, mengaku perusahaannya sedang mengalami kondisi makro ekonomi terburuk dalam beberapa dekade terakhir, seperti diberitakan Kompas, Rabu (25/5/2022).

Kasus PHK start-up juga marak terjadi di berbagai negara, termasuk perusahaan rintisan pembayaran daring yang berbasis di Amerika Serikat (AS) Bolt dan unicorn di sektor permainan dan olahraga elektronik (e-sport) Mobile Premier League (MPL).

MPL yang berbasis di India baru-baru ini dikabarkan telah memberhentikan 100 karyawan, di mana jumlah tersebut mewakili 10 persen dari total tenaga kerja di perusahaannya. MPL juga dikabarkan akan menutup operasinya di Indonesia. Ironisnya, pemberhentian karyawan ini terjadi hanya delapan bulan setelah MPL mengumpulkan tak kurang dari 150 juta dolar AS dalam seri pendanaan yang membuatnya masuk ke jajaran unicorn asal India.

Lantas, benarkah terjadi bubble burst di skena start-up Indonesia? Bagaimana skena start-up Indonesia sehingga dapat terbentuk bubble? Bagaimana kondisi ekonomi digital dan proyeksi pertumbuhan start-up ke depan?

Valuasi Ekonomi Digital Naik, Pendanaan Melorot?

Bisnis start-up memang terbilang menjamur secara global. Berdasarkan data Startup Ranking per 3 Juni 2022, AS menjadi negara dengan start-up terbanyak di dunia, yakni mencapai 72.123 perusahaan rintisan. Selanjutnya India dan Britania Raya menduduki urutan kedua dan ketiga dengan jumlah masing-masing sebesar 13.644 dan 6.348 start-up.

Sementara Indonesia sendiri menempati posisi kelima yang mencatat total 2.383 perusahaan rintisan dalam negeri. Merujuk data Startup Ranking pada tahun sebelumnya, angka tersebut naik dari 2021 sebanyak 2.305 start-up.

Indonesia hingga kini memiliki 5 start-up berstatus unicorn menurut data CB Insights, di antaranya Traveloka, Akulaku, Xendit, Ajaib, dan Kopi Kenangan. Unicorn adalah sebutan untuk perusahaan rintisan dengan valuasi di atas 1 miliar dolar AS. Di sisi lain ada juga Gojek dan J&T Express yang tergolong decacorn lantaran valuasinya yang mencapai lebih dari 10 miliar dolar AS atau setara Rp 140 triliun.

Google, Temasek, dan Bain & Company dalam laporan e-Conomy SEA 2021 juga menunjukkan ekonomi digital Indonesia berkembang pesat di 3 tahun terakhir, dengan nilai gross merchandise value (GMV) yang mencapai 70 miliar dolar AS pada 2021, naik 49 persen dari tahun sebelumnya sebesar 47 miliar dolar AS pada 2020. Angka itu mencatat rekor nilai ekonomi digital tertinggi se-Asia Tenggara.

Nilai ekonomi digital Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam bahkan tidak menyentuh separuh nilai Indonesia sepanjang 2019-2021. Nilai ekonomi digital Indonesia tersebut diperkirakan terus meroket hingga 146 miliar dolar AS pada 2025. Artinya, prospek yang cerah akan terus menggaet minat investor untuk mencari perusahaan teknologi baru di Indonesia.

Tren positif pertumbuhan ekonomi digital ini selaras dengan perkembangan investasi sepanjang 2021. Studi e-Conomy SEA yang sama menyatakan investasi ekonomi digital Indonesia melesat naik dari 202 transaksi pada semester I 2020 menjadi 300 transaksi pada semester I 2021. Nilai investasi pada paruh pertama 2021 menyentuh angka 4,7 miliar dolar AS dan telah melampaui nilai tertinggi selama 4 tahun terakhir, sehingga Indonesia disebut sebagai “kawasan dengan destinasi investasi terpanas.”

Kendati begitu, pendanaan ventura secara global pada kuartal I tahun ini susut sekitar 19 persen dibanding kuartal IV 2021, yakni dari 9.256 transaksi dengan nilai 177,98 miliar dolar AS menjadi hanya 8.835 transaksi bernilai total investasi 143,9 miliar dolar AS, mengacu pada data CB Insight.

CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro pun mengungkap hal senada bahwa pendanaan investor ke perusahaan rintisan Indonesia diramal melandai tahun ini. Ia bilang kepada Katadata, Kamis (26/5/2022), para investor, utamanya investor luar negeri, kini mengurangi porsi pendanaan karena berkurangnya likuiditas.

Y Combinator (YC) sebagai salah satu investor terkemuka Silicon Valley juga menyarankan agar start-up memangkas pengeluaran mereka dan fokus untuk memperpanjang jumlah waktu yang dimiliki sebelum kehabisan uang (runway) dalam 30 hari ke depan, seperti dikutip dari Tech Crunch, Kamis (19/5/2022). Sebagai informasi, unicorn asal Indonesia Xendit dan Ajaib merupakan alumni program akselerator yang pernah digelar YC.

Gelembung Bocor: Bergantung pada Mitra

Bubble adalah siklus ekonomi yang ditandai dengan kenaikan nilai pasar yang sangat cepat, terutama harga aset. Ketika terjadi bubble, harga aset biasanya melebihi nilai intrinsik dari aset tersebut, yang bahkan tidak sesuai dengan fundamentalnya, seperti dikutip dari Investopedia.Inflasi yang agresif ini diikuti oleh penurunan nilai yang menukik tajam dan cepat, atau kontraksi, yang kadang-kadang disebut sebagai "crash" atau pecahnya gelembung/bubble burst.

Dalam laporan e-Conomy SEA 2020, investor memang disebut kian selektif dalam menggelontorkan pendanaan. Jadi, alih-alih mengutamakan pencapaian skala masif dalam waktu cepat seperti yang dilakukan di tahun-tahun sebelumnya, mereka sekarang menarget pertumbuhan yang berkelanjutan dan menguntungkan. Dengan demikian, mengutip laporan tersebut, profitabilitas menjadi poin penting dan mendesak bagi bisnis start-up.

Laporan e-Conomy SEA juga menyebut beberapa unicorn Asia Tenggara termasuk Bukalapak mulai berfokus pada jalur menuju profitabilitas. Merujuk laporan keuangan teranyar emiten e-commerce PT Bukalapak.com Tbk (BUKA), perusahan itu mencetak laba sebesar Rp 14,55 triliun per 31 Maret 2022 setelah membukukan rugi sekira Rp 323,25 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Pasalnya, pencapaian tersebut bukan berasal dari lini bisnis utama BUKA, melainkan hasil investasi Bukalapak di PT Allo Bank Tbk (BBHI), seperti dinukil dari Kontan.

Di sisi lain, GOTO sebagai gabungan dari Gojek dan Tokopedia justru mencatat kondisi yang sebaliknya pada kuartal I 2022. Decacorn yang sahamnya juga masuk di Bursa Efek Indonesia (BEI) itu mengalami pembengkakan kerugian lebih dari 3 kali lipat menjadi Rp 6,47 triliun dari 1,81 triliun pada 31 Maret 2021. Penting menjadi catatan bahwa pada kuartal I 2022 ekosistem GoJek dan Tokopedia belum terbentuk, sehingga pencapaian per 31 Maret 2021 merupakan laporan tunggal dari GoJek.

Sebenarnya, pendapatan GOTO diketahui melambung dari Rp 904 miliar pada triwulan 1 2021 ke Rp 1,49 triliun pada 3 bulan pertama tahun ini. Namun, kenaikan sekitar 65 persen itu dibarengi pula dengan membengkaknya beban-beban GOTO.

Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi berpendapat, start-up harus melakukan metode bakar uang untuk meraih pengguna sementara pendanaan kian hari kian sulit, apalagi untuk layanan yang sudah melewati fase pertumbuhannya.

“Saat ini, memang banyak start-up sudah membuktikan keuntungan konsisten, tapi memang perjalanan masih berat karena ada pengembalian pendanaan investor,” tukas Heru saat dihubungi Tirto, Selasa (31/5/2022).

Heru juga bilang bahwa sejak awal bisnis start-up memang bisa disebut bubble di mana aset start-up hanyalah mitra. Dengan demikian start-up yang tidak diminati masyarakat atau masyarakat tidak menjadi bagian dari mitra yang kuat pasti akan rontok. Lagipula, kata Heru, start-up banyak melakukan pencitraan seperti besarnya gaji karyawan dan fasilitas kantor yang mewah.

“Kalau mendapat pendanaan besar tidak masalah, tapi kalau pendanaan tidak besar, jadi pemborosan. Kalau saya melihat ini bukan pecahnya gelembung, tapi gelembung mulai bocor,” timpal Heru.

Senada, Ketua Dewan Pengawas Asosiasi Fintech Indonesia Rudiantara mengatakan fenomena PHK di perusahaan rintisan bukan menggambarkan sebuah kondisi bubble burst atau ledakan.

“Mungkin lebih pas dibilang terjadi riak-riak atau letupan kegagalan digital start-up, namun tidak bubble burst (ledakan),” kata Rudiantara seperti dikutip Tempo (26/5/2022).

Menurutnya, orientasi investor telah beralih dari sebelumnya berfokus pada traction, yakni jumlah pengunduh aplikasi dan jumlah transaksi alias bakar uang, menjadi EBITDA atau road to profitability.

Akan Ada Lebih Banyak PHK?

Heru memperkirakan nantinya hanya akan ada 3-4 pemain utama di masing-masing layanan. Misalnya Gojek dan Grab yang menguasai sektor transportasi daring dan Gopay di sektor pembayaran digital. Menurutnya, pemain baru di bidang yang sama akan mengalami tantangan berat, kecuali ada keuangan yang relatif kuat atau solusi layanan baru yang berbeda.

“Kalau saya melihat jika dalam 1-2 tahun ini tidak survive atau menjadi unicorn, maka start-up level menengah bersiap untuk rontok. Sehingga, gelombang PHK start-up dalam skala besar maupun kecil akan sering kita lihat dalam beberapa waktu ke depan.” tukasnya kepada Tirto, Selasa (31/5/2022).

Melihat fenomena PHK yang terjadi di beberapa start-up Indonesia, Heru beranggapan LinkAja dan Zenius memang cukup berat lantaran pemain utama di sektornya sudah berada jauh di depan. “Kalau mau maju, harus kuat bakar uang, sehingga reorganisasi jadi pilihan dan salah satu solusi,” timpalnya.

Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan Dita Indah Sari juga mengingatkan pendiri start-up untuk lebih meningkatkan produktivitas dan bukan hanya bertumpu pada dana investor. Sub-sektor start-up dinilai Dita memiliki kompetisi yang cukup ketat sehingga untuk bisa bertahan harus memiliki produktivitas tinggi supaya efisien, mengutip Kompas, Senin (30/5/2022).

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Bisnis
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty