Menuju konten utama
Periksa Data

Gejolak Harga Pangan Selama Pandemi & Ancaman La Nina di 2022

Beberapa harga pangan telah bergeliat di tengah pandemi COVID-19. Bagaimana dengan 2022 saat menghadapi penghujung La Nina?

Gejolak Harga Pangan Selama Pandemi & Ancaman La Nina di 2022
Header Periksa Data Gejolak Harga Pangan Selama Pandemi & Ancaman La Nina di 2022. (tirto.id/Rangga)

tirto.id - Indonesia sebentar lagi akan menyambut Natal dan Tahun Baru. Artinya, Indonesia harus menyambut pula kenaikan harga yang biasanya selalu terjadi pada akhir tahun.

Siaran pers Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) yang diterima Tirto pada hari Senin (13/12/2021) menyebut bahwa peningkatan permintaan lebih tinggi dari biasanya pada momen Natal dan libur akhir tahun mendasari tingginya harga beberapa komoditas pangan hingga akhir 2021.

Kenaikan harga ini berpotensi akan berlanjut hingga 2022, salah satunya karena faktor alam. Mengutip siaran pers terpisah, CIPS mengungkap bahwa pandemi COVID-19 yang masih berlangsung dan fenomena La Nina, yang menyebabkan ketidakpastian musim tanam dan musim panen, berpotensi meningkatkan harga berbagai komoditas pangan di Indonesia tahun depan.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan dalam situsnya bahwa La Nina adalah kondisi ketika suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian tengah mengalami pendinginan di bawah kondisi normalnya, yang pada akhirnya meningkatkan curah hujan di Indonesia secara umum.

BMKG dalam keterangannya juga menyebut bahwa La Nina diperkirakan terjadi pada periode Oktober 2021 hingga Februari 2022. Peningkatan akumulasi curah hujan bulanan di Indonesia bisa mencapai 20 persen hingga 70 persen kondisi normal, menurut Deputi Bidang Pencegahan BNPB Prasinta Dewi (20/10/2021), menurut keterangan tersebut.

Terpisah, BMKG juga menyebut bahwa fenomena La Nina akan mengancam ketahanan pangan. Dua sektor yang dinilai akan sangat berdampak yaitu sektor pertanian dan perikanan, seperti dinukil dari Media Indonesia.

“Krisis iklim telah menjadi salah satu tantangan dalam kelangsungan sektor pertanian dalam menjalankan fungsinya menyediakan pangan bagi seluruh dunia. Dalam konteks Indonesia, ketidakpastian musim tanam dan panen semakin menambah tantangan petani kita dalam memproduksi pangan dan memenuhi kesejahteraannya,” terang peneliti CIPS Indra Setiawan.

Menimbang risiko tersebut, bagaimana kondisi harga pangan sejak 2020 dan apa saja yang menyebabkan naik-turunnya harga? Bagaimana perkiraan pemerintah terkait ketersediaan pangan beberapa bulan ke depan dan apa saja intervensi yang dilakukan untuk menstabilkan harga pangan? Kemudian, langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi gejolak harga di kemudian hari?

Harga Naik-Turun?

Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional per 13 Desember 2021 menunjukkan bahwa beberapa harga komoditas mengalami naik-turun pada periode-periode tertentu sepanjang 2020 dan 2021 yang dilatarbelakangi berbagai kejadian.

Harga ayam, misalnya, sempat anjlok ke level Rp 29.250 per kilogram (kg) pada April 2020 karena adanya pengurangan permintaan akibat pandemi, sedangkan para pemasok memperbanyak stok untuk Lebaran, jelas Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah kepada Tirto, Kamis (15/12/2021).

Menurunnya permintaan tersebut yang mendongkrak harga terjadi pada telur pula tahun 2021 akibat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3 dan 4 yang diterapkan pada berbagai wilayah di Indonesia untuk mencegah penyebaran COVID-19.

“Penurunan harga bukan karena, quote and quote, pemerintah berhasil mengendalikan harga, tetapi karena permintaannya turun,” tegas Rusli.

Adapun harga komoditas yang naik, contohnya harga daging yang sempat naik menjelang April-Mei 2021, terjadi karena adanya gangguan pasokan impor dari Australia, jelas Rusli. Gangguan ini merupakan imbas dari kebakaran hutan yang terjadi pada 2019 silam.

Harga cabai rawit pun naik tajam mulai November 2020 dan mencapai puncaknya pada Maret 2021, yakni seharga Rp 77.000 per kg atau sekitar 2 kali lipat harga rata-rata dalam 2 tahun terakhir. Harga cabai rawit naik kembali pada akhir tahun 2021. Rusli menjelaskan, harga cabai biasanya naik pada musim hujan karena kualitas panen yang menurun.

Adapun harga beras relatif stabil, berkisar di antara Rp 11.650 per kg dan Rp 11.900 per kg sejak awal 2020. Namun, ada perbedaan harga di beberapa daerah. Beras kualitas Medium II, misalnya, berada di kisaran harga Rp 10.250 di Papua dan Rp 10.850 di Jawa Barat per 16 Desember 2021.

Menekan harga-harga pangan penting untuk menjaga daya beli masyarakat dan mencegah lonjakan inflasi. Rusli menjelaskan, bahan makanan yang volatil (volatile food) mengambil porsi 40 persen dalam Indeks Harga Konsumen (IHK). Secara historis, kenaikan harga pangan biasanya memicu kenaikan inflasi secara umum.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat inflasi terakhir pada November 2021 sebesar 0,37 persen secara bulanan dan 1,75 persen secara tahunan (year-on-year). Ini lebih tinggi dari Oktober yang tercatat sebesar 0,2 persen secara bulanan dan 1,66 persen secara tahunan.

Inflasi inti juga tercatat meningkat menjadi 1,44 persen year-on-year pada November 2021, dari 1,33 persen di Oktober 2021.

Rusli memperkirakan inflasi pada Desember 2021 sebesar 2 persen, sehingga target inflasi tahunan pemerintah sekitar 3 persen (kurang atau lebih 1 persen dari 3 persen) masih bisa tercapai. Namun, ia mengingatkan bahwa inflasi yang rendah ini karena daya beli melemah saat pandemi COVID-19.

Mengutip Kontan, Bank Indonesia (BI) memperkirakan tingkat inflasi di tahun 2021 masih akan berada di bawah kisaran sasaran yang sebesar 3 persen. BI memperkirakan pula bahwa kenaikan harga cabai dan minyak goreng akan jadi penyumbang terbesar inflasi pada Desember 2021.

Antisipasi Kenaikan 2022?

Rusli mengatakan bahwa meskipun La Nina tidak terlalu mengancam komoditas pangan karena surplus pada 2020 dan perkiraan surplus pada 2021, pemerintah perlu mengantisipasi banjir akibat La Nina pada 2022 yang dapat mengganggu panen padi dan cabai.

Hal ini kurang lebih senada dengan peringatan CIPS dan BMKG yang memperingatkan soal dampak La Nina terhadap pertanian dan musim panen, dan harga pangan.

Rusli menambahkan bahwa mengantisipasi hal tersebut menjadi penting ketika ekonomi sudah mulai bergeliat dan semakin banyak masyarakat yang telah divaksinasi tahun depan. Jika terjadi kenaikan permintaan pangan pada awal tahun sementara pasokan pangan terganggu, harga pangan akan naik dan mendongkrak inflasi pada 2022.

Tak hanya perkara pangan, perkiraan kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat tahun depan akan menyebabkan kenaikan suku bunga di Indonesia, sehingga akan mendongkrak lebih lanjut tingkat inflasi pada 2022.

“[Risikonya] recovery kita akan terhambat. Dalam artian orang sudah mulai mau bangkit, sudah mulai bergerak, eh harga naik, sehingga kita harus membayar lebih. Nah, padahal itu menjadi beban bagi masyarakat,” kata Rusli.

Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah untuk memperhatikan dan memitigasi sentra-sentra produsen padi yang terdampak akan La Nina. Selain itu, pemerintah perlu mengantisipasi daerah-daerah yang berpotensi mengalami kenaikan permintaan, baik selama Natal dan Tahun Baru maupun pada awal tahun 2022.

Selain menjamin ketersediaan, pemerintah perlu mengantisipasi kendala distribusi pangan yang menyebabkan kenaikan harga di beberapa daerah. Terkadang, bahan pangannya sudah tersedia namun distribusinya terhambat, misalnya karena pengirim merasa daerah penerima belum mengalami pemulihan ekonomi, cerita Rusli.

Mencukupi Hingga 2022?

Kementerian Pertanian pada 5 November 2021 mengatakan, ketersediaan seluruh komoditas pangan pokok strategis diperkirakan aman hingga akhir tahun 2021 dan mencukupi 1-3 bulan di awal tahun 2022, berdasarkan neraca pangan strategis nasional periode Januari-Desember 2021, mengutip siaran pers.

Kepala Pusat Distribusi dan Akses Pangan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Risfaheri mengklaim bahwa terjadinya La Nina di akhir tahun 2021 diperkirakan tidak terlalu berdampak signifikan terhadap produksi komoditas pangan. Pemerintah telah memperhitungkan kemungkinan koreksi 4 persen dari potensi produksi gabah kering giling Oktober-Desember 2021 yang dilaporkan BPS, yang mencerminkan kehilangan produksi akibat banjir dan organisme pengganggu tanaman.

"Pada umumnya produksi pangan diperkirakan aman untuk memenuhi kebutuhan masyarakat," kata Risfaheri dalam siaran pers yang sama.

Risfaheri memperkirakan, neraca beras nasional sampai akhir Desember 2021 surplus 1,99 juta ton pada tahun berjalan dan surplus 9,3 juta ton bila memperhitungkan carryover surplus tahun sebelumnya. Jagung, bawang putih, bawang merah, daging ayam, gula, minyak goreng serta daging sapi dan kerbau juga mengalami surplus serupa.

Kenaikan harga yang terpantau saat ini, sebut siaran pers tersebut, ada di komoditas cabai merah dan cabai rawit dan minyak goreng curah. Menurut data PIHPS per 16 Desember 2021, cabai rawit merah telah mencapai Rp 86.500 per kilogram di rata-rata nasional, naik sekitar 13 persen dari Rp 76.100 per 10 Desember 2021.

Sementara minyak goreng curah juga tercatat di angka Rp 18.150, naik tipis dari Rp 18.000 di 10 Desember 2021.

"Kenaikan harga komoditas hortikultura terutama cabai-cabaian saat ini dipicu oleh produksi turun di sejumlah wilayah sentra, karena musim panen yang mulai berakhir serta di adanya peningkatan kebutuhan menjelang Natal dan tahun 2021," ujarnya.

Sementara kenaikan harga minyak goreng saat ini didorong oleh harga crude palm oil (CPO) global yang terus meningkat, sebut siaran pers tersebut.

Pelaksana Tugas Kepala BKP Sarwo Edhy menjelaskan dalam siaran pers yang sama bahwa pihaknya melakukan perhitungan neraca dan perkiraan harga pangan strategis nasional untuk memperkiraan neraca dan harga pangan per bulannya. Intervensi ini dilakukan untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan pangan secara terukur.

"Untuk menstabilkan pasokan dan harga, pasti kami lakukan intervensi pasar, antara lain dengan memberikan fasilitasi biaya untuk pendistribusian dari wilayah surplus ke wilayah defisit, dan melakukan gelar pangan murah melalui Pasar Mitra Tani yang tersebar di daerah," ujar Sarwo.

Sarwo menambahkan, pihaknya telah berkoordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan untuk memetakan sebaran stok minyak goreng antar wilayah serta mendorong para pelaku distribusi untuk mendukung stabilisasi pasokan. BKP juga telah berkoordinasi bersama pihak terkait untuk mendorong peningkatan produksi dan ketersediaan komoditas hortikultura hingga akhir tahun.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Made Anthony Iswara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Made Anthony Iswara
Editor: Farida Susanty