tirto.id - Dalam Pangeran Mingguan, sebuah program talkshow yang dipandu Pangeran Siahaan, publik bisa melihat bagaimana debat politik bisa dikemas dengan asyik dan serupa dengan mendengar obrolan di kedai kopi. Meja kecil, dua orang yang punya pilihan politik berbeda duduk berhadapan, dan ngobrol santai sambil sesekali tertawa.
Di salah satu episodenya, Pangeran Mingguan menampilkan Rian Ernest, juru bicara bidang hukum Partai Solidaritas Indonesia, dan Faldo Maldini, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional. Dalam program itu mereka diminta saling menyuarakan pendapat tentang program dua calon presiden 2019. Ada kalanya Pangeran meminta opini mereka terkait permasalahan di dalam negeri.
Pada momen itu, persepsi umum tentang penampilan dan cara bicara para politisi yang biasanya terkesan rapi, resmi, dan tertata; runtuh seketika. Rian dan Faldo bicara menggunakan bahasa sehari-hari. Dua pria tersebut tidak menggunakan kata ‘Saya’ dan ‘Anda’, melainkan ‘Gue’, ‘Lo’, dan ‘Bro’.
Bukan hanya bahasa yang terkesan santai. Pakaian mereka pun demikian. Faldo mengenakan kaus polos abu-abu yang dipadankan dengan celana hitam serta sneakers. Sedangkan Rian mengenakan kaus oblong Burgerkill, band metal asal Bandung, yang berpadu serasi dengan celana jeans. Keduanya lebih nampak sebagai mahasiswa ketimbang politisi.
Sebelum terjun ke dunia politik, Rian sempat bekerja sebagai model saat masih jadi mahasiswa fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pada 2015, pria yang sempat jadi staf khusus Basuki Tjahaja Purnama ini bahkan jadi finalis CLEO Most Eligible Bachelor, sebuah kompetisi pemilihan pria tampan dan berprestasi yang diselenggarakan majalah gaya hidup CLEO.
Peran sebagai model peragaan busana rasanya turut memengaruhi cara Rian berpakaian. Ia tahu bagaimana harus berpenampilan di berbagai situasi. Saat bicara dengan Pangeran, ia tampil apa adanya karena tahu segmen penonton acara ini adalah anak muda dan kaum milenial yang lebih suka tampil kasual. Para anak muda ini yang ditargetkan jadi calon pemilihnya.
Ketika blusukan ke berbagai pelosok daerah untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat dan mengenalkan program, Rian berupaya tampil lebih rapi tanpa mengorbankan kenyamanan. Kesan tersebut diwujudkan dengan mengenakan kemeja berbagai warna dan bahan, celana khaki, serta sepatu jenis boots. Ia tidak terpatok pada tren tertentu seperti penggunaan kemeja putih atau jaket partai. Jaket tersebut baru ia kenakan dalam acara yang lebih resmi seperti saat tampil di stasiun televisi nasional atau di forum partai. Bentuk jaket pun disesuaikan dengan mayoritas para anggota partai yang merupakan kaum muda. Jenis jaket yang dipilih ialah bomber jacket, model jaket yang awalnya dibuat untuk kebutuhan para tentara di dekade 1950-an. Seiring waktu, model jaket tersebut digemari orang sipil karena modelnya yang apik dan berbahan kuat.
Serupa dengan Rian, Faldo pun kerap tampil kasual. Ketika berbicara dengan anak-anak muda di daerah, pria lulusan Imperial College London dari jurusan Plastic Electronics ini mengenakan kaus oblong hitam dan celana khaki. Ini membuat politisi kelahiran tahun 1990 tersebut tampak menyatu dengan massa yang hadir saat itu.
Pada acara yang lebih resmi, ia memilih mengenakan kemeja lengan panjang dengan lengan kemeja digulung. Seperti Rian, Faldo tidak menyematkan ciri khas partai semisal warna dalam gaya busananya. Baju-baju yang dikenakan terlihat layaknya busana yang biasa ia pakai sehari-hari.
Rian, Faldo, dan sejumlah politisi muda di Indonesia lain seperti Giring Ganesha, Grace Natalie, Tsamara Amany; bisa dikatakan telah jadi bagian dalam arah baru gaya busana para politisi. The New York Times pernah menulis bahwa para politisi muda ini lebih mengutamakan karakter diri dan kenyamanan dalam berbusana. Pakem-pakem seperti penggunaan stelan jas atau busana formal lain mulai ditinggalkan.
Di dunia Barat, perubahan tersebut paling nampak terjadi pada politisi wanita. Mereka tidak lagi berupaya tampil profesional menggunakan pantsuit. Terusan ketat tanpa lengan atau terusan berkerah rendah dengan warna-warna mencolok mulai terlihat. Sharice Davids, politisi gay pertama yang berhasil jadi anggota kongres di Amerika Serikat mengenakan terusan merah ketat tanpa lengan pada hari kemenangannya.
Alexandria Ocasio-Cortez, anggota kongres Amerika Serikat termuda yang berasal dari Bronx, New York, sempat mengenakan jenis busana serupa ketika diwawancara oleh Steven Colbert. Kepada Elle, wanita yang pernah bekerja sebagai bartender ini mengakui bahwa dirinya merasa perlu untuk menunjukkan karakter feminim lewat gaya busana. Penampilan Cortez menuai protes dari kalangan politisi konservatif dan sejumlah kalangan masyarakat. Ia menanggapi protes itu dengan dingin dan tetap berpegang pada prinsipnya.
“Jangan percaya pada perkataan orang lain yang bilang bahwa mengekspresikan diri bukan hal penting. Pakailah rok, boots, atau sobek jeans Anda apabila hal itu memang mencerminkan diri Anda. Satu-satunya cara agar kita bisa maju adalah dengan jadi diri sendiri,” kata Cortez.
Di ranah politik, gaya busana berbeda yang liyan memang bisa mengundang protes. Ini pernah terjadi pada 1982 di Jerman. DW mengisahkan Joschka Fisher yang mengenakan sepatu tenis dan celana jeans ketika disumpah sebagai Menteri Lingkungan Hidup, pernah dikritik karena dianggap tidak sopan. Sekitar 10 tahun setelahnya, kanselir Jerman Helmut Kohl mengenakan kardigan berkerah ‘V’ ketika melakukan kunjungan kenegaraan. Dua orang ini nantinya dianggap sebagai pembawa angin segar dalam gaya berbusana para politisi Jerman.
Pada akhirnya, gaya busana itu bisa mencerminkan kebaruan yang hendak dihadirkan dalam ranah politik. Mulai dari usia politisi yang muda, latar belakang yang baru, rencana-rencana baru, hingga target massa baru.
Editor: Nuran Wibisono