tirto.id - Sutradara senior Garin Nugroho berharap ada sineas Papua yang membuat film yang bercerita tentang Yogyakarta. Ia tertarik dengan tafsir yang akan muncul lewat karya yang dihasilkan oleh orang dari luar Jawa itu. Ia pun yakin usaha tersebut akan memperkaya khasanah kebudayaan kontemporer, sebab wajah provinsi yang dijejali oleh banyak mahasiswa asal Papua itu akan tersaji dalam sudut pandang yang berbeda.
“Itu lah yang bikin dunia terlihat menarik. Ada banyak tafsir baru yang muncul. Jadi, alih-alih dibatasi, kesempatan untuk menciptakan tafsir lewat film itu justru harus dibuka seluas-luasnya,” kata Garin dalam diskusi dan pemutaran filmnya yang berjudul Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2002) yang diselenggarakan Forum Film Fisipol (FFF) UGM di selasar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM, Sabtu (12/11/2016) malam.
Atas cita-citanya, Garin pun menekankan bahwa tak ada tafsir yang paling benar. Ia sendiri tak bisa mengklaim tafsir atas kehidupan sosial-kultural-politik masyarakat Papua di filmnya itu 100% sempurna. Ia hanya ingin bertutur lewat lewat perspektifnya sendiri. Meski demikian, ia sangat serius dalam riset saat pra-produksi. Sesuatu yang menurutnya jarang dilakukan sineas lain kala membuat film dengan lokasi pembuatan di luar Jawa.
Film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja berkisah tentang pemuda lokal Papua bernama Arnold (Octavianus Rysiat Maubuay) yang bersimpati dengan seorang perempuan berperawakan Jawa yang sedang berkunjung ke desa tempat Arnold tinggal. Perempuan yang diperankan aktris Lulu Tobing itu digambarkan sedang dalam duka yang mendalam, sering terlihat menangis sendiri, dan membuat Arnold terobsesi untuk menciumnya. Arnold ingin menghapus kesedihannya.
Pada saat yang bersamaan, gejolak politik di Papua sedang menghangat sebagai akibat dari penahanan Theys H. Eluay, Ketua Dewan Presidium Papua, dan teror pembunuhan kepada aktivis kemerdekaan Papua Barat lainnya. Salah satu aktivis yang diburu adalah ayah dari Arnold sendiri, Bertold, yang berprofesi sebagai instruktur tari Kasuari. Ia mesti mengamankan diri dengan bersembunyi di sebuah bukit dengan menyamar sebagai burung Kasuari. Menurut Garin, adegan ini terinspirasi dari kisah nyata.
Film yang kaya akan simbol tentang Papua dan hubungannya dengan pemerintah Indonesia ini tak didistribusikan lewat bioskop dan hanya diputar oleh komunitas kalangan tertentu saja. Garin mengaku tak tahu mengapa hal tersebut terjadi. Ditengarai karena film itu menampilkan banyak bendera maupun nyanyian khas pejuang kemerdekaan Papua sehingga secara sangat sensitif secara politis.
Meski demikian, film ini sangat diapresiasi oleh penonton di luar negeri, terutama di Eropa. Film dengan judul internasional “Bird-Man Tale” ini bahkan mampu meraih sejumlah penghargaan. Salah satunya adalah Netpac Award – Special Mention di ajang Berlin International Film Festival 2003, sebagai film yang berhasil melakukan pendekatan yang seimbang untuk menarasikan aspirasi sosial-politik masyarakat Papua.
Forum Film Fisipol adalah ajang pemutaran dan diskusi film yang baru pertama kali diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan Dies Natalies Fisipol UGM. Rencananya FFF akan digelar tiap tahun. Sabtu (12/11/2016) menjadi hari terakhir pemutaran film dengan tema “Biar Papua Bicara”. Aku Ingin Menciummu Sekali Saja diputar sebagai penutup. Sebelumnya, sejak siang hingga sore, telah diputar 8 film pendek yang dibuat oleh anak-anak muda dari Papua.
Pada Kamis (10/11/2016), atau di hari pertama pemutaran film, tema yang diangkat adalah “Mendedah SARA”. Pada hari kedua, Jum'at (11/11/2011), tema yang diangkat adalah “Tanah dan Rupa Konfliknya”. Melalui tema besar “Kita Berhak Damai”, panitia FFF ingin memberikan ruang alternatif bagi film-film yang tidak mendapatkan ruang di layar utama.
“Selama tiga hari pengunjung festival akan disuguhi film-film terpilih yang mengangkat persoalan etnisitas, ras, seksualitas, tanah dan tapal batas yang merentang dari Indonesia hingga Suriah. Ini karena sinema senantiasa mampu menyalakan pijar perdamaian serta menyentuh sensibilitas kemanusiaan kita lewat kekuatan audio visualnya”, ujar Dr. Budi Irawanto selaku kurator FFF.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Akhmad Muawal Hasan