tirto.id - Makam bukan sekadar situs penyimpanan manusia-manusia yang telah mati. Ia juga dibentuk dan dikelola untuk menandai kuasa suatu kelompok terhadap kelompok lain. Dengan begitu, siapa yang bisa dimakamkan dan bagaimana bentuk makamnya ditentukan oleh kelompok penguasa.
Pemotongan nisan salib di makam Purbayan, Kotagede, Yogyakarta boleh jadi menggambarkan pernyataan di atas. Nisan itu berada di makam Albertus Slamet Sugihardi, seorang Katolik yang tinggal di RW 13, Purbayan. Warga RT 53 RW 13 Purbayan memotong nisan itu pada Senin (17/12/2018).
Berdasarkan statusnya di Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (DPUPKP) Yogyakarta, makam yang bersangkutan bukan Tempat Pemakaman Umum yang disediakan untuk setiap orang tanpa membedakan agama dan golongan; bukan pula tempat pemakaman "bukan umum" yang dikelola badan sosial atau badan keagamaan.
Ketua RW 13 Selamet Riyadi mengklaim makam itu sebagai makam Muslim karena mayoritas warga sekitar beragama Islam dan belum pernah ada non-Muslim yang dimakamkan di sana. "Itu kesepakatan lokal, namanya kearifan lokal ada yang tertulis ada yang tidak. Mungkin dengan adanya kejadian ini akan diformalkan oleh warga makam itu sebagai makam apa," ujarnya.
Menurut Selamet, pemotongan salib dilakukan karena jenazah yang dimakamkan di situ seluruhnya Muslim. Menurutnya, warga menginginkan tidak ada simbol agama lain, termasuk salib, ada di tempat pemakaman itu.
"[Itu pemakaman] umum. Tapi kebetulan di sini mayoritas Muslim. Kebetulan warga kita yang di RW 13/RT 53 itu kan pendatang. [Ada] tiga KK termasuk almarhum itu non-Muslim," kata Selamet.
Dari Yogyakarta, mari kita kita ke Medan, sembilan puluh enam tahun lalu. Ceritanya mirip: jenazah seorang "Batak" tidak boleh dikuburkan di tanah yang diaku sebagai makam "Mandailing".
Orang "Batak" Tak Boleh Dikubur
Tanah itu dinamakan Pekuburan Sungai Mati. Letaknya tidak jauh dari istana Kesultanan Deli. Ia dibeli pedagang-pedagang Mandailing kampung Kesawan dari seorang bangsawan Melayu. Kemudian, ia menjadi tanah wakaf dan digunakan sebagai makam sejak 1889.
Pada April 1922, pengurus pekuburan menetapkan setiap jenazah harus mendapatkan izin sebelum dikuburkan. Mereka berdalih pekuburan dikhususkan untuk mengubur orang "Mandailing". Pengurus juga melarang orang "Batak" menguburkan jenazah yang tidak diakui sebagai orang Mandailing.
Tetapi, orang-orang "Batak" dari Sipirok menggali kubur di Sungai Mati pada Agustus 1922. Tidak menerima itu, Haji Ibrahim, Mohammad Noech (Direktur Sjarikat Mandailing), dan Haji Hoesin (penghulu pekuburan) melapor kepada Tengku Besar, pemimpin Melayu. Dia pun mengirim utusannya ke pekuburan untuk melarang orang-orang Batak itu. Mereka tidak mau dilarang. Tengku Besar lalu mendatangkan Haji Abdul Majid, tetua penggali kubur.
Abdul Majid bersikeras keluarganya berhak dikuburkan di sana sejak berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Tengku Besar menawarkan opsi pekuburan lain di Medan dan berjanji berjanji memeriksa surat-surat tanah wakaf Sungai Mati sebelum pergi ke sana untuk melarang langsung penguburan. Abdul Majid membalas dengan mengatakan bangsa "Mandailing" tidak ada. Baginya, Mandailing ialah "bangsa" baru yang hanya ada di Medan. Namun, Tengku Besar tetap melarang.
Sore hari, sekitar seribu orang Mandailing berkumpul di Sungai Mati untuk mencegah penguburan "Batak". Sekembalinya ke Istana, Tengku Besar menegaskan lagi titahnya soal larangan orang Batak dikuburkan di Sungai Mati. Akhirnya, jenazah "Batak" itu dikuburkan di luar pekuburan, dekat Sungai Kerah.
Ketika "Batak" Ditanggalkan
Daniel Perret menuliskan dalam Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut (2010) bahwa penolakan jenazah "Batak" di pekuburan Sungai Mati ialah salah satu peristiwa penting dalam pembentukan etnisitas Mandailing.
Pada dekade pertama abad ke-20, satu per satu orang bagian selatan Tapanuli yang merantau ke pesisir timur laut Sumatra mulai mengidentifikasi dirinya sebagai Mandailing. Sebelumnya, mereka dianggap "Batak" oleh pemerintah kolonial. Sebagian besar orang Mandailing beragama Islam dan sebagian lagi lulusan sekolah misi Kristen.
“Mengenai sebabnya barangkali dapat diajukan kemungkinan bahwa pada saat itu kalangan elit yang mendapat pendidikan Barat di bagian selatan Tapanuli sudah dapat membaca publikasi dan hasil penelitian orang Barat yang tidak memberikan gambaran menguntungkan mengenai ‘suku Batak’,” sebut Perret.
Salah satu rumor yang berkembang dan dipercaya hingga sekarang ialah Batak bangsa kanibal. Hasil penelitian Perret menunjukkan kanibalisme menjadi faktor yang digunakan para pembuat kategori etnis untuk membedakan, pertama, Batak dan Melayu.
“Jadi kami beranggapan bahwa sebutan ‘Batak’ tidak muncul dengan sendirinya, tetapi dari pertentangan dengan identitas Melayu. Seluruh penduduk pedalaman dimasukkan dalam kategori ‘Batak’ yang merujuk pada orang-orang pedalaman, bukan Melayu, bukan Islam,” ujar Perret.
Cerita-cerita ini berkembang dari catatan penjelajah (Eropa, Timur Tengah, atau Cina) yang singgah di Sumatra bagian utara pada beberapa abad sebelumnya. Namun, dalam "European Travelers and Local Informants in the Making of the Image of “Cannibalism” (2005), Masashi Hirosue menunjukkan rumor itu diciptakan penguasa pesisir agar orang asing tidak kontak langsung dengan orang pedalaman yang kerap disebut Batak.
Menyandang identias "Batak", waktu itu, artinya juga mesti siap dipandang rendah bangsa-bangsa lain. Dalam artikel yang dimuat Pewarta Deli edisi 21 Oktober 1918, misalnya. Artikel yang sudah diterbitkan Java Bode dan diperkirakan ditulis seorang Jawa dari Yogyakarta itu menyebutkan, "Negeri jang beloem dikenal. Tapanuli [...] Disana, sebelah barat poelaoe Soematra ada satoe ketoeroenan bangsa jang liar, jang dinamai bangsa Batak."
Sebelum Diaku Makam Mandailing
Sebelum Pekuburan Sungai Mati ditetapkan sebagai makam Mandailing, sebuah rapat diadakan di Medan untuk membahas masalah-masalah adat "bangsa Batak" pada akhir 1919. Berita Pewarta Deli yang dicatat Perret menyebutkan orang Mandailing menolak ikut rapat itu. Mereka menyatakan pertemuan itu tidak berkaitan adat dan bangsa Mandailing.
Pada 1921, orang-orang Mandailing mendirikan Sjarikat Mandailing. Awalnya, mereka tergabung dalam Sjarikat Tapanuli. Salah satu produk Sjarikat Tapanuli ialah Pewarta Deli. Dalam suatu rapat pemungutan suara Sjarikat Tapanuli, para pemegang saham "Batak" memberikan suara cuma ke orang-orang Batak, sementara para pemegang saham "Mandailing" memberikan suara kepada orang-orang Batak dan Mandailing. Orang-orang Mandailing kecewa, lalu, bikin Sjarikat Mandailing.
Sjarikat Mandailing melarang orang non-Mandailing menjadi anggotanya. Akibatnya, catat Perret, penduduk Sipirok, Angkola, dan Padang Lawas mesti memilih identitas "Mandailing" atau "Batak". Pada Februari 1922, mereka menyatakan diri sebagai "Batak".
Perpecahan Sjarikat Tapanuli tidak berhenti di situ. Di rapat tahunan, Maret 1922, anggota-anggota Mandailing hanya memberikan suara untuk calon-calon Mandailing. Alhasil, hanya orang Mandailing yang terpilih sebagai dewan pimpinan Sjarikat karena mayoritas anggota berlatar belakang Mandailing.
Orang "Batak" akhirnya bikin perusahaan dagang sendiri, Handel Maatschappij Batak (HMB), pada beberapa pekan setelahnya. HMB diketuai Haji Muhammad Tahir. Perusahaan itu bikin surat kabar Pancaran Berita.
Setelah Jenazah "Batak" Ditolak
Ditolaknya jenazah "Batak" di Sungai Mati menimbulkan perselisihan lain dan hanya memperuncing pengkutuban "Batak" versus "Mandailing" yang sudah ada. Masih di Agustus 1922, Pewarta Deli melansir seorang perempuan Mandailing datang ke kerapatan (semacam lembaga peradilan) untuk minta cerai. Sebabnya bukan hanya si suami tidak lagi memenuhi nafkah, tetapi juga mengaku sebagai "Batak". Saat berkenalan, si suami mendaku sebagai Mandailing.
Pada Oktober 1922, Pewarta Deli memuat artikel yang mengemukakan kemajuan bangsa "Batak". Artikel itu menyebut banyak orang Batak lebih rajin daripada Mandailing, menduduki jabatan tinggi dan gaji besar di perusahaan swasta dan kantor pemerintah.
Untuk memecahkan persoalan Pekuburan Sungai Mati, gubernur Pesisir Timur membentuk sebuah komisi pada November 1922. Komisi ini diketuai Sultan Deli dan beranggotakan lima orang: wakil pemerintah, Sultan Deli, wakil Mandailing, wakil Batak, dan seorang lagi yang dipilih empat orang tersebut.
Keputusan komisi itu membenarkan tindakan orang-orang Mandailing. Catatan pejabat kolonial yang termaktub dalam Memories van OvergaveDeli-Serdang1925 yang dikutip Perret menyebutkan di luar orang yang mengaku Mandailing hanya orang asal Sipirok yang boleh dikuburkan di Sungai Mati.
Setelah itu, sejumlah kerusuhan pecah lagi saat acara penguburan seorang "Batak" pengawal gubernur di Sungai Mati. Orang "Batak" mengajukan masalah kuburan ini ke gubernur jenderal. Kasus itu pun dibawa ke landraad Medan. Keputusan lembaga itu menguntungkan orang Batak. Tidak terima, orang Mandailing mengajukan banding ke Raad van Justitie. Lembaga itu memenangkan orang Mandailing.
Putusan itu diterima orang-orang Batak. Mereka akhirnya mendapat tanah pemakaman tersendiri. Namun, friksi antara "Batak" dan "Mandailing" terlanjur subur. Pewarta Deli edisi 22 Desember 1922 melaporkan seorang pemimpin "Batak" datang dari Pematang Siantar untuk mencela orang Mandailing di Batubara, suatu wilayah di luar Medan.
Riwayat Tanah Wakaf Bangsa Mandailing di Sungai Mati yang ditulis pada 1926 oleh Mangaraja Ihoetan (pemimpin redaksi Pewarta Deli) dan Abdoellah Loebis meringkas posisi superior Mandailing atas Batak.
Dua tahun berikutnya, seorang "Batak" anggota Nederlansch-Indonersisch Verbond (Ikatan Belanda-Indonesia) menyatakan istilah "Batak" selalu dikaitkan dengan sikap merendahkan dan dipandang sebagai hinaan. Akibatnya, orang "Batak" memilih menyebutkan daerah asalnya seperti Mandailing, Angkola, atau Toba.
Akhirnya, orang Mandailing membentuk Comité Kebangsaan Mandailing. Tujuannya memperoleh pengakuan sebagai "bangsa" kepada pemerintah. Namun, pemerintah menolaknya.
Dalam sensus 1930, orang yang mengaku Mandailing dikategorikan sebagai "Batak Mandailing". Orang-orang Mandailing protes dan mengirim utusannya ke Batavia. Mereka juga protes ketika pemerintah menyusun dasar-dasar Batakraad untuk memerintah pada 1939. Mereka menolak digolongkan sebagai orang Batak.
Pelajaran bagi Yogyakarta
Kasus Pekuburan Sungai Mati ialah pedoman bagi Yogyakarta. Kasus penolakan jenazah "Batak" di makam "Mandailing" hanya satu gejala menguatnya politik identitas "Mandailing" waktu itu. Mandailing mengaku lebih unggul dari Batak, begitu pun sebaliknya.
Penanganan kasus Sungai Mati melibatkan orang-orang pusat di Batavia. Itu pun tidak lantas menahan friksi antara "Batak" dan "Mandailing".
Tudingan intoleran kepada warga Purbayan kemungkinan hanya akan menambah satu atribusi kepada Muslim Purbayan dan bukan usaha untuk meninjau kasus secara lebih mendalam.
Seperti yang dikatakan tokoh masyarakat Purbayan, Bejo Mulyono, "Ya monggo-lah [disebut intoleran], yang jelas kesepakatan seperti itu. Kami sebagai pelaksana, pengurus minta seperti itu ya kami ikuti saja. Saya rasa kami sudah cukup toleran."
Dekonstruksi kategori Muslim (Purbayan-Kotagede) dan non-Muslim tampaknya menjadi penting untuk dilakukan.
Editor: Ivan Aulia Ahsan