tirto.id - “Ponsel perkasa untuk pengguna setia,” ucap DJ Koh, pimpinan eksekutif Divisi Mobile Communication Samsung Electronic, memperkenalkan produk terbaru Samsung Note 10.
Note 10, seturut ucapan Koh, memang gahar. Lihatlah spesifikasinya. Ponsel pintar yang mempopulerkan konsep “phablet” ini mengusung System-on-Chip Exynos 9825, yang baru dari Samsung. Atau, untuk wilayah Amerika Serikat dan Cina, ia menggunakan Qualcomm Snapdragon 855. Ponsel ini juga ia menggunakan layar Dynamic AMOLED, versi terbaru varian OLED yang sanggup memproses 16 juta warna. Kemudian, Note 10 didukung dengan RAM sebesar 8 gigabita dan media penyimpanan internal sebesar 256 gigabita. Pada versi “Plus”, sang ponsel bahkan memiliki RAM sebesar 12 gigabita, dengan media penyimpanan internal hingga 512.
Note 10 dilengkapi sistem tiga kamera: dua unit 12 megapiksel dan satu unit 16 megapiksel. Ini lantas dilengkapi tiga varian lensa, 27 milimeter (untuk lensa lebar), 52 milimeter (untuk lensa tele), dan 12 milimeter (untuk lensa sangat lebar).
Di bagian depan, ada modul kamera beresolusi 10 megapiksel yang dapat memanjakan selfie penggunanya.
“Sejak awal, Galaxy Note telah dikenal sebagai perangkat dengan teknologi dan fitur terbaik,” kata Koh. “Galaxy Note 10 membawa kembali janji ini untuk para penggemarnya yang modern, yang menggunakan ponsel pintar untuk meningkatkan produktivitas dan kreativitas.”
Menakjubkan, bukan? Tapi, tunggu dulu. Lihat versi sebelumnya, Note 9. Ponsel setingkat di bawah Note 10 ini mengusung SoC Exynos 9810 (atau Snapdragon 845), yang merupakan varian paling cadas ketika ponsel dirilis. Note 9 didukung layar Super AMOLED, dengan RAM sebesar 6 atau 8 gigabita. Ada pula media penyimpanan internal dengan kapasitas 128 dan 512 gigabita.
Jika ditelaah, tidak ada perbedaan yang berarti antara Note 10 dengan pendahulunya. Selain meningkatkan kekuatan, Samsung hanya memoles dengan tampilan baru, misalnya, layar yang semakin 'tumpah' hingga penempatan modul kamera depan yang semakin tak hemat tempat.
Inovasi smartphone telah berhenti dan bukan Samsung yang satu-satunya mandeg. Lihatlah OPPO, Vivo, dan OnePlus, tiga merek yang digenggam BBK Electronics. Pada ketiganya, pembaruan seputar kamera, misalnya OnePlus 7 Pro, F11 Pro, V15 Pro, yang menghadirkan kamera bersistem pop-out, atau Reno yang berkonsep slide-out.
Ini terjadi pada Pixel keluaran Google yang berkutat menyematkan chip kamera khusus untuk mengolah foto dengan 8 inti pemrosesan. Itulah Google Visual Core yang di dalamnya tertanam teknologi HDR+ dan RAISR (Rapid and Accurate Image Super-Resolution).
Sederhananya, rilis terbaru ponsel pintar hanya berkutat pada soal menjernihkan serta memperlebar layar, mengutak-atik kamera agar sekelas DSLR serta mengakali penempatannya, entah pada “jambul” yang berada di bagian atas tengah, atau menyembunyikannya di balik layar.
“Saya baru saja berada di mobil dengan kepala teknisi, lalu membaca spesifikasi salah satu ponsel yang diluncurkan di sini dan rasanya. Saya bertanya, 'Apa bedanya?,” ucap Rick Osterloh, chief operating officerMotorola, ketika Samsung merilis Galaxy S7.
Salah satu tanda berakhirnya inovasi pada smartphone, menurut kolumnis Financial TimesDaniel Thomas, dapat disaksikan di Mobile World Congress 2018. Bukan smartphone canggih yang jadi primadona hajatan adu gengsi dunia ponsel itu, melainkan Nokia 8810, ponsel jadul yang dilahirkan ulang HMD Global.
Matt Hamblen, editor senior pada Computerworld menyatakan bahwa “pada tahun-tahun terakhir, telah terjadi penurunan nyata dalam inovasi di smartphone baru, baik dari sisi software maupun hardware.” Ia merujuk riset IDC yang menyatakan bahwa “telah diakui secara luas bahwa laju inovasi pada ponsel pintar telah melambat, yang karena (inovasi di bidang ini) telah mencapai dataran tinggi. Memang, banyak inovasi baru yang diluncurkan, tapi tampaknya hanya merupakan peningkatan bertahap pada suatu tema.”
Lantas, ke mana sesungguhnya arah pembaruan dunia smartphone?
Merujuk IDC, ponsel nantinya akan menjadi pusat alias hub bagi berbagai perangkat digital, mulai dari pengendali jam pintar, gelang pintar, perkakas rumah tangga pintar, mobil pintar, dan segala bentuk Internet of Things.
IDC menyerukan untuk menjadikan smartphone pusat inovasi ke perangkat lain dan tidak karenanya, ponsel tidak harus terus-terusan berinovasi. Smartphone kemudian, bertindak sebagai kendali jarak jauh.
Selain itu, perusahaan-perusahaan pembuat smartphone bergerak menjadi perusahaan jasa. Apple pun melakukannya.
Selepas mencapai titik tertinggi penjualan iPhone dalam sejarah (78,29 juta unit pada kuartal 1-2017), performa jualan utama Apple tersebut terus melorot. Dalam laporan kinerja Apple pada kuartal 2-2019, iPhone menyumbang pendapatan sebesar $31 miliar bagi Apple, turun 18 persen dari perolehan kuartal yang sama setahun sebelumnya, $38 miliar.
Kinerja buruk iPhone berimbas pada kinerja Apple secara keseluruhan. Saat ini, Apple hanya mampu memperoleh pendapatan sebesar $54,77 miliar. Turun lima persen dibandingkan performa di kuartal yang sama setahun sebelumnya, yakni $61,1 miliar.
Setelah gagal mengandalkan iPhone, juga lini Mac, iPod, dan iPad, salah satu harapan terbaik Apple kini adalah App Store. Secara global masyarakat memang sedang keranjingan aplikasi. Bloombergmemperkirakan masyarakat merogoh kocek hingga $101 miliar untuk segala sesuatu terkait aplikasi pada 2018. Nilai itu meningkat dari $82 miliar setahun sebelumnya.
Meraup laba dari App Store tentu berbeda dari berjualan iPhone atau Mac. Kasus Netflix bisa menjadi contoh yang menarik. Pada 2018, Netflix memperoleh pendapatan senilai $853 juta, hanya dari aplikasi berbasis iOS-nya. Dengan skema 70-30, artinya Apple memperoleh sekitar $256 juta dari Netflix tanpa melakukan banyak hal.
Editor: Windu Jusuf